Share

2. Kok kita bisa pacaran, sih?

Di sudut sebuah gerai kopi kekinian yang terletak tak jauh dari pinggiran bangunan hotel megah, duduk seorang pemuda yang terlihat memainkan pemantik api di tangannya. Segelas coffee latte yang dipesannya belum tersentuh sama sekali. Sebatang rokok yang sedari tadi terselip di bibirnya juga belum menyala. Acap kali ujung mata pemuda itu melirik ke arah pintu kafe ketika ada yang mendorong belahan kaca tempered yang menimbulkan bunyi gemerincing itu.

Zeino  telah menunggu kehadiran Zee hampir satu jam lamanya. Pemuda itu mulai terlihat kehilangan kesabaran. Ia kemudian meraih telepon genggam yang tergeletak di meja di sebelah gelas minuman dingin berkafein yang belum dicicipi.

Menekan nama pertama di daftar panggilan keluar, raut wajahnya semakin kusut karena sambungan suaranya tak berbalas. Dalam beberapa kali helaan napas, gawai mahal itu kemudian kembali menjadi teman sebungkus rokok dan segelas coffee latte di meja.

Selang beberapa lama, gemerincing bunyi pintu kafe yang terbuka membawa masuk seorang gadis dalam tampilan celana panjang dan blazer serta rambut yang dicepol ala pramugari. Gadis itu terlihat terburu-buru dengan senyum yang menghias raut wajahnya serta deru napas hasil berjalan setengah berlari masih nampak nyata.

Tanpa basa – basi lalu gadis itu menghempaskan tubuhnya di depan pemuda yang memertahankan tatapan dingin, miskin eskpresi.

“Kak Zeino, maaf aku terlambat,” ujar gadis yang tak lain adalah Zefanya.

“Kalo kamu ga bisa datang, bilang dari awal. Aku ga perlu kayak kambing congek nunggu di sini!” Zeino bersungut.

“Iya, maaf ya, Kak. Penerbangan tamu VIP-nya ditunda, jadi…”

“Ah sudahlah, basi! Selalu saja itu jadi alasan. Semua karena tamu penting. Emang ga ada orang lain. Kayak kamu saja pegawai satu-satunya yang kerja di sana!” Zeino langsung memotong pembelaan diri yang disampaikan oleh Zee.

Tak mau berdebat, Zee memilih bungkam. Gadis itu menata ritme jantungnya sambil merapikan helaian poninya yang terasa telah lepas dari cepolan sambil menunduk. Ia tahu, saat ini percuma memberi alasan apa pun pada Zeino. Pemuda itu tak akan mengerti dan percaya bagaimana tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang Guest Relation Officer di sebuah industri jasa pelayanan yang beroperasional 7 hari seminggu 24 jam sehari. Sebuah industri yang tak pernah mengenal hari libur atau tanggal merah.

Pekerjaan sebagai Guest Relation Officer yang langsung terjun di operasional berbeda dengan bagian kantor dengan jadwal yang kerjanya lebih teratur. Seorang GRO mendapat jadwal shift, sedangkan back office selalu rutin dari jam delapan pagi hingga lima sore dan pasti libur di akhir pekan. Sedangkan bagian operasional termasuk GRO tidak selalu mendapat libur di hari Sabtu dan hari Minggu atau hari libur nasional.

Di bulan pertama Zee bekerja di hotel berbintang itu, Zeino telah menyatakan keberatan dengan jadwal kerjanya tersebut. Bahkan ia meminta kekasihnya itu untuk mengundurkan diri saja. Sebagai ganti, pemuda itu menawarkan Zee untuk bekerja di perusahaan milik orang tuanya.

Tentu saja permintaan Zeino ditolak secara halus oleh Zee. Saat itu gadis yang tengah menikmati atmosfer barunya beralasan jika ia ingin memulai karir dengan usaha sendiri. Mendapatkan pekerjaan itu tanpa tes sebagai imbas dari pencapaian akademisnya yang gemilang adalah sebuah kebanggaan baginya.

Zeino menyeruput coffee latte-nya ketika seorang pelayan mengantarkan pesanan minuman dingin yang lain untuk Zee. Melihat gadis di depannya belum tergerak untuk menyentuh minuman di atas meja, Zeino lalu meraih kaleng soft drink itu. Ia lalu menarik pin untuk membuka kaleng dan menuangkan cairan berwarna cokelat ke gelas transparan di dekatnya. Tak lupa ia menyobek kertas pembungkus sedotan sebelum menaruhnya di dalam gelas.

Tanpa suara Zeino menyodorkan gelas yang terlihat masih berbuih itu ke arah Zee. Gadis itu mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Jemarinya lalu meraih segelas minuman bersoda dari tangan pemuda yang diakuinya sebagai pacar itu.

“Mau makan di sini dulu atau langsung ke rumah Lulu?”

Tak terdengar lagi kekesalan dalam irama suara Zeino yang mulai terdengar lembut. Ia menatap Zee yang masih menyeruput minumannya pelan-pelan. Tanya pemuda itu berbalas dengan sepasang bola mata yang mengernyit disertai garis – garis lengkung tipis di dahi gadis yang masih mengulum sedotan di kedua belah bibirnya.

“Lupa? Lulu ngajak kita semua ngumpul di rumahnya malam ini,” jelas Zeino.

“Malam ini?” Terdengar ragu dari suara yang meluncur dari sepasang bibir Zee yang berbalut gincu merah muda.

“Kenapa? Lupa atau belum baca pesan di group?” cecar Zeino lagi.

“Ehmm, ga lupa. Udah baca kok,” jawab Zee sambil mengulum bibirnya.

“Terus, kenapa? Ga bisa?” Tak sabar pemuda itu menunggu jawaban.

Helaan napas panjang membuat bahu Zee bergerak seiring rongga dadanya meraup semua oksigen di sekitarnya. Gadis itu tak langsung memberi jawaban. Otaknya sedang berpikir keras bagaimana cara membuat Zeino mengerti keadaannya. Pertukaran jadwal kerja yang mendadak untuk esok hari, membuatnya harus bekerja di shift pertama pukul 7 pagi. Rekan satu timnya mengalami keadaan darurat yang membuatnya harus menggantikan jadwal kerja tersebut.

“Bisa kok. Cuma ga lama "kan, ya? Hmm besok aku jadwal pagi. Jam 9 malam kita pulang, ya?” Zee berusaha menyampaikan kondisinya dengan sebuah senyum untuk meluluhkan raut wajah Zeino yang mulai kaku.

 “Belum pergi sudah minta pulang!” jawab Zeino sambil melengos.

“Hmm aku….,” Zee berusaha mengeluarkan suaranya. Namun kalimatnya belum tersusun ketika Zeino menyempurnakannya.

“….aku harus menggantikan teman yang sedang sakit!” sela Zeino dengan nada ketus. Pemuda itu kembali menatap lurus tanpa berkedip pada sepasang netra bulat hitam di depannya.

Kejadian ini memang bukan sekali dua kali terjadi terutama sejak Zee bekerja di hotel. Zeino sudah hafal. Sedangkan situasi ini selalu membuat Zee tertekan. Untung saja tak banyak tamu di café itu. Entah di mana ia harus menyembunyikan muka. Orang-orang pasti menggunjingkan mereka. Dan yang jelas, kejadian seperti ini sering menerpa sejak Zee memulai pekerjaan barunya.

“Itu ‘kan alasannya?” cetus Zeino lagi.

“Ya udah, kita berangkat. Ntar kalo kemalaman, aku nginap di rumah Lulu aja.”

Telapak tangan gadis itu kembali merapikan helaian rambut yang tergerai di wajahnya untuk meredam rasa yang berkecamuk di dadanya. Isyarat tubuh sebagai pengalihan yang kerap dilakukannya ketika berdebat dengan pacarnya itu.

Sambil menghela napas Zeino mengangkat tubuhnya dari kursi. Pemuda itu beranjak menuju kasir. Ia terlihat merogoh dompet di saku celana jeans bagian belakang yang ia pakai. Setelah selesai membayar minuman yang mereka pesan, ia lalu mengalihkan tatapannya pada meja tempat Zee menunggu.

Tanpa perlu dijemput dan aba-aba, Zeepun berdiri lalu mengayunkan langkah mendekati Zeino yang sengaja menghentikan gerak kakinya. Gadis itu melepaskan cengkraman tangan kirinya dari tas jinjing yang dibawanya. Ia lalu meraih pergelangan tangan Zeino. Merekapun melangkah bergandengan.

Zeino tak melepaskan tangan kanannya yang mencengkram jemari Zee ketika membuka pintu kafe untuk keluar. Tangan kirinya yang kemudian mengambil alih tugas itu. Tautan kesepuluh jari mereka baru lepas ketika keduanya sampai di samping mobil Zeino yang terparkir di depan kafe. Pemuda itu menekan remote, lalu menarik daun pintu mobil dan memersilakan Zee untuk duduk terlebih dahulu.

Zee menghempaskan tubuhnya di jok. Kedua netra hitamnya melirik sosok Zeino yang sedang melintas di depan mobil dari kaca. Ia sekilas menggelengkan kepala dan tersenyum miris. Gadis itu tak habis pikir bagaimana hubungannya dengan pemuda yang sekarang sering membuatnya kesal dan tertekan, dilain waktu bisa bersikap manis seperti itu, terjalin sudah hampir dua tahun sejak perjodohan antar geng yang diprakarsai oleh Lulu.

Kok kita bisa pacaran, sih?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status