Ayun langkah Lulu menuruni anak tangga berselisih dengan hentakan tungkai panjang milik Zeino yang setengah tergesa menaiki tangga. Tatapan mereka bertemu. Sambil mendongakan kepala pemuda yang sedang menggenggam sebuah gawai di tangannya itu menyampaikan tanya pada pemilik rumah.
“Zee ada di mana, Lu?” tanya Zeino pada gadis yang berpapasan dengannya itu.
“Masih di kamar. Lagi mandi,” jawab Lulu sambil menolehkan leher menunjuk arah kamarnya.
“Ini, dia dicariin Bunda,” jelas Zeino sambil menunjukan telepon genggam Zee yang ada di tangannya.
“Oh, ya udah sana aja, Kak. Kali aja udah selesai.” Perkataan Lulu seperti ijin untuk Zeino meneruskan niatnya.
Keduanya lalu melanjutkan langkah masing-masing. Mereka sama-sama bergegas menuju arah yang berbeda. Zeino langsung mengetuk pintu sesampai di depan kamar Lulu.
“Iya, ini gue udah kelar!” ujar Zefanya dari dalam kamar.
Alunan suara yang dibarengi sembulan kepala dari daun pintu yang terkuak menjadi pemandangan yang terpampang di hadapan Zeino.
“Eh, Kak Zeino. Maaf kukira Lulu. Dari tadi dia minta buru-buru aja,” ujar gadis yang terlihat santai setelah berganti pakaian. Ia lalu melangkah kel luar kamar sambil menutup kembali daun pintu yang menganga.
“Kenapa?” Zee berkata sambil merapikan helain rambutnya.
“Ini tadi handphone kamu bunyi. Kayaknya bunda nyariin.” Tangan Zeino terjulur dengan sebuah telepon genggam di sana.
“Hmm kenapa ya? Tadi pas di mobil aku udah kirim pesan ke bunda, kalo pulang kerja langsung ke sini,” ujar Zee dengan nada heran.
Benda pipih itu pun berpindah tangan. Belum merubah posisi masing-masing yang masih berdiri di depan kamar Lulu, Zefanya mencoba menghubungi kembali nomor yang telah masuk ke dalam daftar missed call.
Tak membutuhkan waktu lama setelah telepon pintar itu menempel di telinga kiri Zefanya, gadis itu langsung mendengar sapaan dari sang ibunda.
“Iya Bun. Uhum. Ga usah, Bun. Ini lagi mau barbeque di rumah Lulu. Iya, nanti sama Kak Zeino. Baik, Bun. Iya, hati-hati di jalan, Bunda. Love you.”
Sambil menekan tanda telepon berwarna merah di layar untuk mematikan sambungan, Zefanya berkata,”salam dari Bunda.”
Sepasang netra hitam itu bertemu. Zeino membalas salam yang disampaikan Zefanya dengan senyum tipis.
“Bunda lagi di jalan mau pulang. Nanyain mau beliin makan malam, apa ga,” lanjut gadis itu lebih jauh.
Sambil menaruh telepon genggam ke dalam kantong celana panjang yang dikenakannya, Zefanya beranjak mengikuti langkah Zeino yang telah terlebih dahulu menuju tangga. Keduanya terlihat turun beriringan dan langsung bergabung dengan pasangan lain yang berada di samping rumah.
Zefanya mendekatkan diri pada gadis-gadis yang tengah mengerumuni cemilan dan minuman. Sepertinya malam ini para pria yang bertugas membakar, mereka terlihat sibuk di panggangan. Zeino pun turut berbagi peran dengan yang lain.
Di sela-sela tangannya yang sibuk mengipasi dan membolak-balik potongan daging yang telah ditusuk, Zeino kerap mencuri pandang ke arah para gadis yang mengelilingi meja bundar. Tak perlu dicari tahu ke mana arah lirikan sepasang netra hitam itu. Bidikan retinanya itu menangkap gerak-gerik gadisnya yang terlihat bercengkrama tanpa beban. Bahunya berguncang setiap kali terbahak disertai garis matanya yang menyipit. Tak jarang gadis itu menutup mulut dengan telapak tangan menahan tawa.
Pemuda itu menyadari akhir-akhir ini mereka sering berselisih paham. Bahkan untuk hal yang sebetulnya tidak terlalu penting. Semuanya berawal dari kesibukan Zefanya dengan pekerjaan barunya yang memiliki jadwal yang tak menentu, hal itu membuat mereka berulang kali harus mengatur ulang janji untuk bertemu.
"Kalo gini caranya bisa hangus semua nih!” celetuk Dito yang mendapati sedari tadi Zeino sedang melamun.
Menyadari bahwasannya telah tertangkap basah, Zeino kembali menundukkan pandangannya pada panggangan. Dia tak menghiraukan sindirin Dito yang disambut gelak tawa Shandy dan Jeromy.
“Ada yang lagi bercabang pikirannya,” pancing Shandy.
Liukan anyaman bambu yang menjadi alat mengipas panggangan semakin kencang. Zeino sengaja berpura-pura sibuk tak mengubris celotehan teman – temannya itu.
"Shan, elo pilih mana? Cewek yang cerdas, mandiri atau yang manja dan imut gitu?” Dito meneruskan aksi untuk menggoda Zeino.
“Ya gue tetep pilih Rayesalah, mau dipiting gue ntar berani macem-macem ma dia.”
“Ah bilang aja, cuma Rayesa yang mau jadi pacar elo!” Cibiran Dito tertuju pada Shandy yang memang tak berkutik menghadapi pacarnya yang pernah ikut karate itu.
“Iyalah, kalah gue dari temen kita yang bisa gandeng kanan kiri,” seloroh Shandy yang tentunya tertuju pada pemuda yang kepanasan, sepanas bakaran di depannya.
“Bacot elo pada ya!”
Zeino melemparkan kipas sate pada kedua temannya yang masih terpingkal. Sayangnya anyaman bambu yang diberi tangkai itu mengenai Jeromy yang sedari tadi diam tak ikut menimpali, karena Shandy dan Dito dengan sigap mengelak.
“Lah, gue ga ngapa-ngapin malah ketiban pulung, sih!” Pemuda berkaca mata itu mengusap dahi tempat mendaratnya kipas sate tadi. Sementara Zeino hanya melengos pergi tanpa minta maaf. Ia lalu mengangkat potongan daging tusuk yang telah matang ke dalam piring.
Pemuda yang terlihat masih kesal itu berjalan menjauh dari candaan ketiga laki-laki yang membuatnya jengah. Menyeret langkah, ia mendekati Zefanya yang masih asyik bersenda gurau.
“Zee, ini makan dulu! Kamu lapar, kan?”
Tawa gadis itu terhenti saat melihat uluran piring berisi sate daging yang telah diberi bumbu kecap lengkap dengan irisan cabe rawit, mentimun dan tomat serta potongan lontong. Piring itupun berpindah tangan. Namun belum sempat ia mengucapkan terima kasih pada Zeino, pemuda itu telah beranjak menjauh. Tertangkap raut kesal di wajahnya.
Rayesa dan Lampita meyenggol lengan Zefanya yang sedang mereka apit. Mereka memberi isyarat seakan bertanya apa yang sedang menimpa pemuda yang sekarang sedang duduk sendirian di kursi taman. Sama halnya dengan Lulu yang kemudian memberi kode agar Zee menyusul Zeino.
“Biar aja, mau sebat kali.” Zefanya terlihat cuek mengira Zeino sedang ingin merokok.
“Ih, ga peka banget sih. Ayo sana! Ngapain kek. Makan berdua gitu. Gemes deh liat kalian!” Lulu memaksa temannya yang menurutnya tidak bisa membaca situasi itu.
Sikut-sikutan terjadi. Zefanya yang sudah biasa melihat Zeino dalam keadaan seperti itu tak terlalu ambil pusing dengan sikap pacarnya itu. Tapi karena ketiga temannya tak henti mendorongnya, akhirnya gadis itu pun beranjak. Dia mengikuti saran Lulu dengan membawa serta piring makan malamnya yang telah disiapkan Zeino beserta dua kaleng soft drink.
Kepulan asap rokok menyambut kedatangan Zefanya. Gadis itu menarik kursi yang tersusun berhadapan setelah tangannya bebas dari barang bawaan. Seiring hempasan tubuhnya di kursi kayu itu, Zeino menyudahi kegiatannya membakar lintingan tembakau yang baru saja dihisapnya beberapa kali. Lalu ia mengibas - ngibaskan tangan agar asap yang masih tersisa tak mendekati wajah gadis yang telah duduk di hadapannya.
“Kak Zeino makan ya, ini kebanyakan. Tadi aku nyemil pizza juga.”
Zeino memilih untuk meneguk isi kaleng soft drink sebelum mengambil garpu. Sedangkan Zefanya telah mengambil satu tusuk daging untuk mencicipi menu makan malamnya itu.
Dari kejauhan ketiga pasang muda-mudi lainnya melihat pasangan berinisial nama sama itu makan perlahan dalam sunyi. Lulu yang penasaran atas perubahan sikap Zeino berhasil mengorek kejadian di area panggangan beberapa saat yang lalu.
“Nyari gara-gara deh. Udah tau mereka lagi kurang akur, ini malah ngomporin,” protes Lulu setelah mendengar cerita Dito.
“Tau nih, kalo sampai Zee dengar trus salah sangka gimana?” Rayesa ikut menimpali.
“Zee udah tau kayaknya. Mereka pernah kegep lagi di kafe berdua. Tapi Zee biasa aja. Ga marah ga cemburu tuh.” Shandy membela Dito.
“Lagi pada ngomongin siapa, sih?” Dengan lugunya Lampita bertanya.
Lulu lalu membisikan sesuatu di telinga Lampita. Gadis itu terlihat mengangguk pelan sambil membulatkan bibirnya.
“Oh, anak maba yang keganjenan itu?”
Ssstt!!
Lulu dan Rayesa serentak meletakan telunjuk di bibir mereka.
Zefanya, gadis yang telah berganti tampilan itu kembali menjadi penumpang. Ia duduk tenang di sebelah Zeino yang sedang mengendarai mobilnya. Perjalanan sunyi tanpa kata memaksa lantunan suara merdu penyanyi dari playlist yang diputar merajai ruang itu. Kesal di dada yang memaksa Zeino untuk memilih memulangkan Zefanya lebih awal dari waktu yang diperkirakan.Candaan Dito yang mengungkit kebersamaannya dengan seorang mahasiswa baru beberapa waktu yang lalu membangkitkan emosi Zeino. Dia seakan dijadikan terdakwa atas tuduhan mendua. Padahal Zefanya sendiri mengetahui dan tidak pernah membesarkan masalah itu. Pacarnya itu cukup mengerti dengan penjelasan singkat yang ia sampaikan. Jika dia dan Talita, juniornya di kampus, hanya kebetulan bertemu. Lagi pula gadis yang baru memulai perkuliahan itu adalah anak dari kolega orang tuanya. Sehingga tak heran jika mereka sudah terlihat akrab.“Ayo habiskan. Setelah itu kita pulang.&rdq
Lampu penerangan di sepanjang jalan yang menjadi jalur lintas Zefanya menuju tempat kerjanya masih menyala. Jam digital di pergelangan tangan kirinya menunjukan angka lima menit sebelum jam enam pagi, ketika gadis dalam balutan jaket berbahan jeans itu berpamitan pada ibundanya untuk berangkat kerja. Temaram suasana kota menjelang kehadiran sang surya di ufuk timur. Semringah raut wajah gadis yang dipenuhi semangat untuk menunaikan kewajibannya.Suatu hal tak pernah disesali oleh Zefanya dalam dua bulan belakangan ini, keputusannya menerima perkerjaan yang membuat pola hidupnya berubah. Seperti saat ini, ketika hari Minggu kebanyakan penduduk bumi bermalasan untuk membuka mata, ia sudah berada di atas motor matic-nya untuk mengais rejeki. Ketika sekelompok remaja melintas sambil berlari bersama di hari libur, Zee akan menjadikan tugasnya sebagai GRO yang akan mondar-mandir di lobby hotel sebagai sarana olah raganya. Gadis itu tak akan menaruh c
Tubuh Zefanya masih terpaku di depan kanopi kafe. Kebingungan atas kehadiran Zeino di depannya membuatnya salah tingkah. Apa lagi tatapan pemuda itu terlihat sangat tidak bersahabat memandang ke arah Sammy yang sedari tadi berada di dekatnya.Belum hilang keterkejutannya, seorang pemuda lain yang baru keluar dari arah kafe semakin membuat Zefanya terpana.“Kak Jeromy!” sapa Zee yang hampir tak percaya melihat pacar Lampita itu.“Eh, Zee. Kebelet tadi, numpang ke toilet.” Dengan wajah cengengesan pemuda berkaca mata itu berkata sambil menggaruk rambutnya.“Hmm, Bang Sammy duluan aja, ya. Aku mau ketemu temen dulu,” ujar Zee pada Sammy.Tentu saja gadis itu tak ingin berlama dengan pria yang pasti akan dipertanyakan oleh Zeino.“Oh, ya udah. Bye, Zee!” pamit Sammy yang bernama asli Samuel.Tak
Sebuah motor sport berwarna hitam legam meluncur membelah jalan aspal yang menuju area salah satu kampus universitas swasta terkenal di kota. Begitu kuda besi itu berhenti di pelataran parkir, kedua pengendara yang masih mengenakan helm turun bergantian dari sadel. Begitu penutup kepala itu terbuka, terlihat pasangan muda-mudi yang berinisial sama ‘ZA’ itu segera merapikan rambut dan tampilan mereka sebelum melanjutkan langkah ke tujuan.Menepati janjinya, hari Senin ini Zefanya yang sedang libur bekerja menemani Zeino untuk melakukan bimbingan skripsi. Gadis itu memang sengaja mempersembahkan hari libur yang seharusnya untuk beristirahat dari lelah bekerja untuk memperbaiki hubungannya yang sedang kurang harmonis dengan Zeino.Walaupun sebenarnya ia sendri belum mengerti standar harmonis yang seharusnya seperti apa. Karena jika dirunut sejak mereka dijodohkan, hubungan mereka seperti air yang mengalir mengikuti alur yang mereka
Melengkung senyum di wajah Zeino yang telah ditutupi helm ketika sepasang tangan gadis di boncengan merengkuh pinggangnya. Ada rasa yang ingin meledak di hatinya ketika teringat bagaimana reaksi Zefanya ketika melihat Talita berada di dekatnya. Berbeda dengan saat ia dan adik kelasnya itu tak sengaja kedapatan sedang berada di café oleh pacarnya itu, kali ini Zee menampakan rasa memilikinya. Gadis itu tanpa malu-malu bergelayut manja di lengannya dengan tatapan lurus pada perempuan yang menghampiri.“Ternyata kamu bisa cemburu juga ya, Zee,” gumam Zeino.Kuda besi hitam legam itu terus melaju meninggalkan sorak – sorai anggota geng lainnya yang sengaja menjadikan pasangan ZA itu sebagai objek candaan. Kedatangan Zefanya ke kampus yang baru ditinggalkannya beberapa bulan, tentu saja masih mendapat sambutan yang hangat dari teman-temannya yang sedang berusaha merampungkan studinya. Termasuk dari para dosen yan
Kembali Zefanya tak bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi dengan hubungan pertemanannya dengan Zeino. Satu hari yang mereka lewati kemarin tak secara otomatis menjelaskan semuanya. Gadis itu menganggap kebersamaan mereka adalah quality time tanpa meributkan rutinitas keduanya yang sering bertolak – belakang.“Ga ada ngomong serius, Bun. Habis dari kampus, kita pergi ke pantai, makan doang.”Begitu Zefanya menjawab pertanyaan dari ibundanya ketika pagi hari di meja makan. Seperti kebiasaan ibu dan anak itu memulai hari.“Tadinya Zee mau bicara, Bun. Tapi ga jadi, lagi males. Ntar malah bertengkar lagi.” Zefanya bersungut mengakhiri kalimatnya.Ibu Kartika, wanita yang telah menjadi orang tua tunggal bagi kedua anak gadisnya sejak Zefanya anak bungsunya berusia dua bulan itu, hanya melempar senyum. Wanita paruh baya itu memang sangat terbuka dengan kedua anak
Tatapan mata Zefanya dan Zeino bertemu tatkala daun pintu yang memisahkan mereka terkuak. Keduanya menarik garis senyum di wajah mereka.“Kak Zeino duduk dulu ya, aku mau ambil tas.”Seiring anggukan, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang berada di teras rumah. Sementara Zee melangkah masuk untuk meneruskan niatnya. Selang berapa lama kemudian, gadis pemilik rumah yang tampak berpenampilan santai dengan rambut tergerai, menghampiri dengan membawa segelas air minum.“Diminum dulu, Kak.”“Kamu yakin bisa datang ke pestanya itu, Zee?” tanya Zeino setelah menyeruput setengah air di dalam gelas.“Hmm apa maksudnya bertanya seperti itu?” gumam Zee yang mengira ada niat lain dari pertanyaan itu.“Kebetulan hari itu, aku jadwal pagi. Acaranya malam 'kan, ya?”Zei
Permulaan hari telah jauh merangkak sejak kokok pertama ayam jantan terdengar. Geliat anak cucu Adam yang mulai berpencaran di muka bumi untuk mencari rejeki ditemani sang mentari yang menyemangati. Sinar penguasa hari itu turut membias di sela jendela kamar Zeino. Perlahan kelopak mata pemuda yang masih bergelung memeluk guling, mengerjap. Pandangan pertamanya di pagi hari tertuju pada jam bundar kecil yang terletak di atas nakas.Hoam!Seiring hawa napas pagi yang masih menyisakan kantuk, tangan Zeino meraih telepon genggam yang berdampingan dengan jam bekernya. Ia memeriksa aplikasi pesan yang menampilkan notifikasi kabar belum terbaca. Senyum merekah ketika mendapati gadis yang menemaninya menikmati senja di Panorama mengirim sebuah pesan yang tercatat pada pukul enam pagi. Pemuda itu mengabaikan tumpukan pesan lainnya yang juga belum terbaca.Kak Zeino, semangat ya revisinya. Jangan lupa sarapan dulu.