"Alina, buka pintunya, Lin! Apa itu kamu?" tanya Rossa yang mendengar suara tangisan itu.Tak ada jawaban yang terdengar dari dalam toilet. Rossa terus mengetuk pintu toilet tersebut seraya memanggil nama Alina."Ada apa dengan Alina?" Aldo masuk ke dalam kamar mandi siswi itu bersama dua guru pembina Pak Hadi dan Pak Toto."Enggak tau, tadi aku denger ada yang nangis di dalam sini, aku takutnya Alina. Tapi aku ketok-ketok nggak ada jawaban dari Alina. Aku takutnya dia pingsan," ucap Rossa dengan nada cemas."Kita dobrak aja ya, Pak?" pinta Aldo."Iya, Do."Kedua pria itu akhirnya mendobrak paksa pintu bilik kamar mandi itu. Benar saja dugaan Rossa, tubuh Alina sudah terbaring tak sadarkan diri di lantai kamar mandi dengan kepala berada di atas kloset.Aldo dan Pak Toto lantas membopong tubuh Alina menuju aula sekolah tempat para pelajar putri menginap malam itu."Alina kenapa, Pak?" tanya Mia si ketua OSIS periode sebelumnya."Nggak tau nih, pas kita dobrak dia udah pingsan di dalam
Tiga jam berlalu, Alina akhirnya terbangun dan mulai mengamati sekitarnya. Kepala gadis itu masih terasa pusing. Ia menatap ke arah dokter wanita yang sedang bertugas di ruang usaha kesehatan sekolah tersebut."Halo, nama saya Arini! Nama kamu siapa?" sapa sang dokter kala melihat kedua mata gadis itu sudah terbuka dan menatapnya."Nama saya Alina, saya sudah berapa lama pingsan, Dok?""Hampir tiga jam, kayaknya kamu sekalian lanjut tidur deh, hihihi." Dokter Arini tertawa seraya melirik waktu yang berdetak di arloji bertali rantai di tangan kirinya."Kamu sakit, ya? Apa kamu belum sarapan?" tanya Dokter itu."Saya sudah sarapan, Dok. Tapi, saya...""Kamu kenapa? Jangan-jangan kamu habis melihat sesuatu, seperti hantu ya?" tanya Dokter Arini."Bagaimana dokter bisa tau?" Alina balik bertanya."Kamu pucat banget, tapi semua kondisi kamu baik-baik aja seperti ketakutan gitu, terlihat sekali lho di muka kamu kayak anak murid sini kalau habis lihat hantu. Ummm... kata temen kamu, kamu jug
Dokter Arini menuju sedan civic putih yang terparkir di halaman SMA Angkasa setelah mendapat telepon dari ibunya."Mau ke mana, Bu?" tanya penjaga sekolah yang sedang melihat dan menyapa Dokter Arini."Eh, Pak Dirman! Saya mau ke atm, Pak, ibu saya minta kirim uang.""Lho, nggak pakai hape gitu kirim uangnya kan sekarang zaman canggih?" tanya pria berkumis tebal itu sambil tertawa."Hape saya yang bisa mobile banking rusak, Pak, ini lagi bawa hape jadul," ucap Dokter Arini seraya tersenyum."Oh, begitu... ya udah Bu hati-hati ya," ucap Pak Dirman."Terima kasih, Pak. Mari saya jalan dulu."Arini lalu melangkah ke lahan parkir mobil yang berada di samping gedung sekolah. Ia lantas melajukan mobilnya menuju sebuah mini market yang terdapat mesin anjungan tunai mandiri yang akan ia gunakan.Namun, sesuatu yang keji terjadi pada Arini saat berada di sebuah taman yang sepi menuju ke arah mini market."Hentikan mobil ini!" Suara berat dan parau terdengar penuh ancaman. Apalagi ujung senjata
"Serius, Do?" tanya Rossa."Serius, Sa! Tadi yang aku tahu dari Pak Dirman kalau dia kan izin tuh pas sebelum jam istirahat barusan, katanya mau ada perlu ke atm, kata satpam nih. Nah, taunya dia itu kerampokan di taman yang di belakang sekolah itu," jawab Aldo menjelaskan apa yang ia tahu."Kok, bisa sih kerampokan di taman belakang? Ini kan masih siang gini," ucap Alina."Tapi, Lin, emang taman belakang situ tuh sepi banget tau," sahut Rossa."Pokoknya ya, dia itu kan dapat telepon tuh, terus izin ke luar, eh katanya dirampok."Aldo tak fokus sampai ia mengulangi lagi ucapannya kembali."Siang-siang gini, dirampok?" tanya Rossa."Iya, yang aku denger kabarnya gitu, mana tuh taman sepi banget, tubuhnya penuh tikaman senjata tajam, berarti kan dirampok," ucap Aldo seraya menarik lengan kedua gadis itu untuk mengikutinya.Alina tak habis pikir, barusan ia kira kematian Dokter Arini hanyalah mimpi. Akan tetapi, kenapa wanita itu ternyata meninggal sungguhan. Tubuhnya bergidik ngeri memb
Saat berada di pemakaman Dokter Arini, sesuatu menarik kaki kiri Alina secara tiba-tiba. Gadis itu tersentak dan langsung berteriak dengan histeris."Aaaaaa....!"Semua orang yang masih berada di area pemakaman sampai menoleh ke arah Alina. Wajah gadis itu langsung pucat pasi. Ia terlihat sangat ketakutan kala itu."Lin, kamu kenapa?" tanya Rossa. Gadis itu terlihat sangat ingin tau ketika mendengar teriakan sahabatnya itu.Alina menelisik sekitar makam. Ia merasakan ada sesuatu yang menarik kakinya tadi."Tadi aku lihat....""Lihat apa?""Hanya perasaan aku aja," sahut Alina. Rossa menarik lengannya menjauhi makam. Gadis itu masih saja menoleh ke arah makam.Tiba-tiba, Alina melihat sosok Dokter Arini berdiri di samping makam. Tubuh wanita itu bersimbah darah. Bekas luka tusukan yang menghujani tubuh wanita itu sangat jelas terlihat. Tubuh Alina gemetar tetapi terasa kaku. Bahkan ia merasa kedua kaki rampingnya terpaku karena tak bisa digerakkan."Lin, Ayo pulang!" ajak Rossa."A-a-a
Ibu Murni wali kelas dari Alina juga hadir untuk menyimak dan memeriksakan keadaan gadis itu."Pasca dirawat di rumah sakit, Alina memang mengalami trauma setelah ia terbangun dari koma selama satu bulan.""Trauma?" tanya Ibu Murni."Iya, Bu, trauma. Dia itu takut banget kalau mendengar bunyi ponsel berdering," ucap Indra."Memangnya dia dengar suara hape di mana? Di kawasan sekolah kan nggak boleh bawa hape, dan bagi dewan guru juga tidak boleh mengaktifkan nada ponselnya?" "Dia dengar di luar gerbang, Bu.""Oh, begitu." "Jadi, apa itu trauma, apa berhubungan dengan kesehatan mental dia jadinya?" tanya kepala sekolah."Begini, Pak, rtrauma adalah hal sering dikaitkan dengan tekanan emosional dan psikologis yang besar, biasanya karena kejadian yang sangat disayangkan atau pengalaman yang berkaitan dengan kekerasan. Namun, dalam konteks ini, yang dimaksud dengan “trauma” adalah trauma sebagai penyakit atau trauma pada fisik seseorang."Indra berusaha menjelaskan sementara lainnya men
Rossa memandangi gadis yang duduk di sampingnya dalam mobil avanza silver di kursi kedua milik Indra. Alina sedari tadi hanya menatap ke arah luar jendela. Meskipun kendaraan yang lalu lalang itu tetap tak diindahkan. Ia hanya termenung dengan pikiran kosong dan tatapan yang hanya menuju satu titik di tepi jendela mobil itu."Alina, kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Rossa yang akhirnya buka suara.Alina hanya terdiam tak menjawab."Alina sebenarnya kenapa sih, Dok?" tanya Rossa pada Indra yang masih fokus menyetir."Dalam kehidupan sehari-hari, kamu pasti pernah mengalami ketakutan. Itu hal yang manusiawi. Tentu ada berbagai hal yang menyebabkan seseorang merasa takut," jawab Indra."Memangnya apa yang ditakuti Alina?""Ketakutan tersebut ada yang masih dalam batas kewajaran, namun ada pula yang merasa takut akan sesuatu atau seseorang hingga memerlukan bantuan khusus meredakan ketakutan itu. Ia takut pada suara hape, ia merasa jika ada suara hape itu nanti sosok yang ia takuti itu mun
"Oh iya, Lin, yang jalanin perusahaan ayah kamu siapa jadinya, Tante Maya gitu?" "Iya, nanti kalau aku udah lulus sekolah, aku kuliah sama belajar mengelola perusahaan konveksi papi aku." "Aku itu ya jadi karyawan, aku yakin kalau aku nggak bisa kuliah," ucap Rossa yang tau diri dengan keadaan keluarganya yang pas- pasan. Sementara Alina dan Aldo merupakan anak orang kaya yang berkecukupan."Iya, tenang aja.""Wah... makasih Ya Allah, Rossa dikasih sahabat tajir macam Alina dan Aldo."Rossa memeluk sang sahabat seketika. "Mbok Nah juga makasih, Non Rossa." Wanita paruh baya itu mengusap kepala Rossa."Kok, makasih sama aku? Memangnya kenapa, Mbok?" Rossa dan Alina menoleh pada Mbok Nah. "Non itu sahabat yang baik buat Non Alina. Dari kecil Non Alina nggak pernah punya temen, tetapi sejak ketemu Non dari SMP, Non Alina lebih ceria dan akhirnya bisa punya sahabat macam Non." "Ah, Mbok bisa aja. Aku jadi terharu." "Makasih ya, Sa, kamu udah jadi sahabat yang baik buat aku." Alina