AKU ANAK ORANG KAYA, MAS!
"Mas, belikan aku baju bagus, ya! Please," rayuku dengan manjanya. Namun, rayuan berjuta kali pun tak membuat hati Mas Zaki iba."Apa, Dek? Kamu tuh kan nggak ke mana-mana, ngapain pakai baju bagus?" tanyanya dengan muka nyolot. Memang aku tak pernah ke mana-mana, tapi kan setiap kali hendak pergi sibuk sendiri memakai baju apa? Sedangkan baju yang kupunya hanya itu-itu saja.
Kubuang baju yang tak enak dipandang. Baju lusuh dan sobek sudah setahun lamanya. Masa iya istri dari pemilik bengkel besar hanya memakai daster setiap harinya?
"Loh, kok dibuang?" tanya mertuaku yang tiba-tiba datang menyusup ke kamar. Astaga, ia datang di saat yang tidak tepat. Di saat aku ingin ngambek, merajuk agar dirayu oleh Mas Zaki. Ia malah muncul dan menanyakan baju yang kubuang.
Aku bergeming, tak menjawab apapun yang ia tanya. Sembari kulihat mertuaku itu meraih kembali baju-baju yang telah kubuang.
"Istri nggak ada rasa syukur! Kamu bisanya menggerogoti suami saja," tekannya. Ada rasa nyeri di dada menusuk sedikit hati yang telah lama luka.
Ini luka lama, tertoreh kembali olehnya. Kesekian kalinya ia ikut campur masalah rumah tangga kami yang baru berumur setahun.
Hanya gara-gara hal sepele kadang kami ribut besar, itu dikarenakan mertua yang tiba-tiba datang dan mencoba mencuci otak Mas Zaki.
Aku berlalu pergi dari kamar. Kemudian menepi di halaman depan. Sejenak aku berpikir untuk balas rasa sakit hati ini terhadap suami dan mertuaku. Namun, aku hanya bisa apa? Orang tuaku sudah tak mempedulikanku juga.
Menikah dengan Mas Zaki dengan restu terpaksa dari papa. Setelah ia menikahkanku, sudah putus hubungan kami sebagai anak dan orang tua. Aku pikir, pilihan yang aku ambil adalah benar. Namun, kenyataannya seiring waktu berjalan, terkuak semuanya sifat dan tingkah laku Mas Zaki beserta keluarganya.
Ingin cantik saja sulit sekali, padahal kulihat adiknya Mas Zaki terlihat menor saat ingin kuliah. Sedangkan aku, harus mengemis untuk dapat terlihat cantik di matanya.
Tidak lama kemudian, ada telepon masuk datang dari nomor yang tidak dikenal. Lalu aku angkat, khawatir ini penting.
"Selamat sore, dengan Mbak Ana Melissa?" tanya si penelepon di seberang sana.
"Betul, ini dengan siapa?" tanyaku.
"Saya orang kepercayaan Pak Ardi Dinata, ingin menjelaskan perihal perusahaan yang Pak Ardi berikan pada Mbak Ana, bisa kita ketemu?" tanyanya membuatku sontak kegirangan. Ada angin apa papa berubah pikiran memintaku untuk mengambil alih perusahaannya?
"Bisa, kapan kita bertemu?"
"Besok bisa, Mbak?"
"Tentu saja, besok jam 9 pagi di cafe Ceria aku tunggu," sahutku kemudian memutuskan teleponnya.
Tidak kusangka hati papa yang sekeras batu itu bisa hancur seketika. Perusahaan yang tidak pernah aku harapkan kini akan diberikan olehku.
Menikah dengan Mas Zaki adalah pilihanku sendiri. Memang ada rasa menyesal saat ini memilihnya sebagai suami. Namun, ini sudah menjadi pilihan, makanya aku tak pernah keluhkan ini pada keluarga besar.
Mas Zaki yang sudah tahu aku ngambek pun datang menghampiri, pasti ia ingin merayu dan berbaikan kembali.
"Dek, maafkan Mama, ya." Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya. Kutepis dan tak melirik ke arahnya sedikit pun.
"Pergi sana, aku tak mau dekat kamu!" tegasku dengan mata menyipit tapi memalingkan wajah dari Mas Zaki.
"Dek, mau beli baju apa? Ayo kita beli sekarang, ya." Ia merayuku dengan mengiming-imingi baju. Aku sudah tidak tertarik lagi. Lihat saja nanti, uangku akan lebih banyak dari uangmu, Mas!
Jiwaku mulai bergejolak, ingin membalas rasa sakit hati yang telah ia torehkan selama ini. Begitu pun dengan mertuaku dan adiknya, Yuni, yang selalu saja meremehkan aku yang tidak berpenghasilan. Menurut mereka, aku tidak bekerja ya tidak boleh dandan mempercantik diri.
"Aku sudah tidak mood bicara soal baju, Mas!" ketusku sambil berdiri. Kemudian pergi meninggalkan Mas Zaki di halaman depan.
Saat ingin masuk, berpapasan dengan adik ipar. Ia hendak pergi ke luar, parfum wangi sudah tercium, pasti ia ingin pergi foya-foya dengan teman kuliahnya.
Brak ....
Aku sengaja menabrakan diri pada Yuni, ia tersentak dan melotot ke arahku. Kemudian aku pun pergi tanpa meminta maaf padanya.
"Eh, Kakak ipar sial*n! Nggak minta maaf lagi udah nabrak orang!" pekiknya. Aku tak peduli dengan celotehannya, yang terpenting aku puas menabraknya. Lihat saja nanti, aku akan membuat seisi rumah kaget.
***
Pagi itu, aku pergi diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Setelah Mas Zaki pergi ke bengkel untuk memeriksa karyawan, aku pun pergi diam-diam. Mama Ayu sedang tak ada di rumah. Entah ke mana ia perginya.
Sesampainya di cafe. Sudah ada Pak Gilang sebagai orang yang dipercaya papa untuk bicara denganku.
"Mbak, ini surat dari Pak Ardi Dinata," pungkasnya sambil memberikan secarik kertas.
[Papa tahu hidupmu menderita bersama Zaki. Mungkin selama ini kamu tidak menyangka, bahwa Papa dan Mama selalu mengawasimu. Kini, tindakan mertuamu sungguh keterlaluan, jadi inilah saatnya kamu tunjukkan pada mereka, bahwa mereka salah besar menyia-nyiakanmu! 1 tahun kamu menyimpan ini rapat-rapat. Papa menunggu dari mulutmu untuk kembali ke rumah, tapi kenyataannya Ana Melissa tetap keras kepala. Papa mohon, jadilah wanita tegas. Buatlah mertuamu malu telah menyia-nyiakanmu seperti ini!]
Orang tuaku sudah memintaku untuk membuat keluarga Mas Zaki malu, apakah ini saatnya mereka tahu tentang siapa aku sebenarnya?
Mungkin mereka pikir aku orang susah yang pantas diperlakukan seperti itu. Namun, kenyataannya adalah aku anak orang kaya, Mas!
"Mbak ...." sapa Pak Gilang mengejutkanku. Aku membaca isi surat dari papa hingga tertegun.
"Ya, Pak Gilang, aku nggak ngerti maksud dari Papa. Apakah ia menyuruhku pulang?" tanyaku padanya.
"Nggak, Mbak. Menurut Pak Ardi, Mbak Ana beri pelajaran ke keluarganya dulu," sahutnya.
Aku bergeming, mencerna lagi ucapannya. Apakah Mas Zaki termasuk orang yang harus diberikan pelajaran?
Kemudian, Pak Gilang mengajakku pulang ke rumah Papa untuk melanjutkan bagaimana rencana papa sebenarnya.
Aku ragu, masih ada cinta untuk Mas Zaki di dalam hati ini. Meskipun demikian, ia begitu terhadapku karena pengaruh ibu dan adiknya.
"Ayo, Mbak!" ajaknya sambil bersiap mengeluarkan kunci mobil.
Kemudian aku mengangguk dan mengindahkan ajakannya.
Sepanjang perjalanan, aku masih tidak percaya bahwa papa telah mengintaiku selama ini. Padahal, aku pikir ia tak lagi menganggapku sebagai anak.
Sesampainya di rumah papa, ia menyambutku dengan pelukan hangat. Begitu pun dengan mama. Ia rindu dengan anak pertamanya yang membangkang ini. Aku anak pertama dari dua bersaudara, adikku Sinta sedang belajar di luar negeri. Sedangkan aku, memang paling sulit diatur.
"Gilang, tugasmu sampai sini dulu," ucap papa.
"Baik, Pak." Kemudian Pak Gilang pergi dari rumah, tugasnya sudah selesai untuk saat ini.
Aku memang tak pernah menunjukkan jati diriku pada Mas Zaki dan keluarganya. Itu dikarenakan papa tak menginginkan pernikahanku dengan Mas Zaki. Ia terpaksa menjadi wali nikah karena ancaman yang aku lontarkan pada saat itu.
"Ana, kamu kurus sekarang, Nak. Baju yang kamu kenakan juga, astaga ...." Mama prihatin melihat keadaanku.
_____
"Mah, Pah, maafkan aku. Dulu membangkang kalian. Sekarang baru tahu, uang mengalahkan segalanya." Aku mengakui kesalahan yang telah aku lakukan."Sudahlah, yang sudah terjadi biarlah, lebih baik sekarang kamu benahi saja, tapi Papa ingin kamu membuat malu mereka," ucapnya."Pah, Mas Zaki tidak akan seperti itu kalau tidak ditekan oleh ibunya," sahutku. Kemudian, papa menatapku sambil tertawa sinis."Kamu akan mengetahui siapa suamimu, dan mertuamu setelah memberikan mereka secuil pelajaran," sahutnya."Maksudnya bagaimana, Pah?" tanyaku.Mama pun datang membawakan minuman dan makanan kesukaanku. Ada rasa rindu dimanjakan oleh mereka berdua."Ini loh, makanan kesukaan kamu, Ana." Mama menyodorkan kebab kesukaanku."Ah Mama membuatku lapar." Dengan lahapnya aku menyantap 2 hingga 3 kebab yang mama sediakan.Mereka berdua memandangku. Mungkin ada rindu juga di hati mereka, atau mungkin kasihan padaku?"Kenapa menatapk
Aku pun keluar dari rumah Mas Zaki, ternyata di depan pintu kamar ada Bu Ayu dan Yuni. Sepertinya mereka telah menguping pembicaraan kami."Huh ... dasar wanita murah*n!" ledek Yuni, aku tetap bergegas pulang ke rumah papa tanpa menjelaskan siapa aku sebenarnya."Ana!" teriak Mas Zaki menyusul. Namun, aku sudah tak peduli dengan panggilannya. Ia sudah menalakku. Semua sudah berakhir, Mas, tanpa kamu tahu kebenarannya lebih dulu. Aku tak habis pikir, kamu tak percaya bahwa aku ini anak orang kaya.Aku setir mobil dengan kecepatan tinggi. Kulajukan ke rumah papa kembali. Tak ada air mata yang menetes di pipi. Entahlah, mungkin air mata ini sudah kering hingga tak lagi berurai.Mas Zaki, pria yang telah memintaku menjadi istrinya setahun lalu. Kini, ia menalakku. Memang baru sekali ia menalakku. Namun, aku tidak bisa kembali dengannya begitu saja, setelah apa yang ia katakan terhadapku tadi.Kata-kata yang ia lontarkan akan menorehkan luka
Bab 5"Lita?" tanyaku keheranan. Wanita cantik berpakaian modis menghampiriku."Kamu, kok tahu rumahku?" tanya Lita balik. Aku bingung kenapa papa menyuruhku memberikan bunga mawar berduri ini kepada Lita."Emm, aku ...." Aku mencari alasan kenapa mengirim bunga ini untuknya."Hei, Ana. Jawab jujur padaku. Kamu tahu alamat ini dari siapa?" tanya Lita. Ia menanyakannya sembari mengelus perutnya yang agak buncit."Kamu sedang hamil? Kapan nikahnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Aku ... iya, sedang hamil 6 bulan!" tukasnya sembari tersenyum."Nih bunganya, aku tidak tahu itu bunga dari siapa? Ada di meja cafe beserta alamat ini. Makanya aku antar ke sini, rupanya rumahmu, Lita." Akhirnya aku mendapatkan alasan mengada-ada pada Lita."Terima kasih, ya. Kamu mau masuk dulu?" tanyanya. Namun, ponselku berdering, papa menghubungiku lagi. Segera aku angkat telepon dari papa."Iya, Pah," jawabku."Pulang, Nak."
"Oh, jadi kamu salah orang? Bagaimana bisa Gilang memberikan informasi yang salah pada Papa!" keluhnya."Pah, kenapa tidak katakan saja padaku, maksud Papa berikan bunga mawar itu pada Lita?" cecarku. Aku jadi penasaran terus dibuatnya."Ana, Papa ingin kamu lihat dengan mata kepala sendiri. Papa juga ingin kamu tahu kebenarannya langsung tepat di matamu, tidak dari mulut Papa." Rupanya ada sesuatu hal yang sedang papa sembunyikan. Apakah Lita itu sebenarnya orang kaya raya? Sama halnya sepertiku yang pernah menyamar sebagai anak jalanan? Kalau iya, kami berdua sama-sama penipu."Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Telepon pun terputus, aku pamit untuk pulang. Setelah ini mengurus gugatan cerai ke pengadilan.Di parkiran mobil, kulihat ada sebuah mobil yang tak asing. Kuperhatikan dengan seksama, kuamati dengan teliti, sepertinya ini mobil Mas Zaki. Kenapa ia berada di rumah sakit? Apa Mas Zaki tengah sakit?Tiba-tiba di pikiranku ada ke
POV Zaki"Mas Zaki, Lita?" Dengan wajah tertegun, ia menatap kami berdua. Aku dan Lita hanya terdiam, ada rasa gemetar dalam dada ini. Namun, ada rasa api cemburu saat melihat laki-laki yang bernama Gilang bersama Ana. Ternyata, laki-laki yang memberikan fasilitas untuk Ana itu adalah Pak Gilang."Silahkan duduk!" Pak Gilang mempersilahkan kami duduk. Memang tidak terlalu tua juga wajahnya. Aku semakin panas melihat Ana kini duduk di sampingnya."Maaf, Pak. Ada apa kami diundang ke sini?" tanya Lita keheranan. Kemudian Pak Gilang mengeluarkan sebuah laptop dan membuka layarnya."Laptop? Untuk apa?" tanyaku."Saya akan memutar video, kalian simak, ya!" tukas Pak Gilang dengan senyuman disertai lesung pipi di sebelah kirinya. Aku pun mengerenyitkan dahi dan menatap wajah Lita, tanda keheranan dengan sikap Pak Gilang yang akan mempertontonkan pada kami sebuah video. Entahlah, video apa yang akan kami lihat?POV AnaSaat aku menoleh ke ar
POV LitaTernyata Pak Gilang adalah selingkuhannya Ana. Astaga, kenapa Ana sampai nekat seperti itu hanya karena ingin hidup yang lebih layak?Mas Zaki tidak memberikan fasilitas kepada Ana dikarenakan Ana hanya anak jalanan. Berbeda denganku, anak dari pemilik PT. Keramik Jaya. Salahnya Mas Zaki kenapa ia menolak perjodohan itu? Kini, ia jadi terjebak cinta dua wanita. Tak mau melepaskan Ana, tapi tetap menginginkan aku juga.Sampai pada akhirnya, aku dan Ana dipertemukan saat pertemuan dengan Pak Gilang. Aku rasa Mas Zaki cemburu, makanya ia mengajakku buru-buru pergi dari restoran tersebut.Di sepanjang jalan, ia emosi dengan Ana. Aku tetap berusaha menenangkan Mas Zaki yang agak keras kepala."Argh ... kesel aku Lit, masa Ana memilih laki-laki semacam Pak Gilang?" tanyanya kesal."Loh, memang kenapa? Bukankah usiamu dengan Pak Gilang hanya beda 2 tahun? Kalau dibandingkan dengan Ana memang agak jauh, tapi tidak ada salahnya dengan
POV AnaAku bergegas pulang ke rumah, ingin segera mengetahui kejutan apa yang telah papa siapkan untukku? Sudah setahun berpisah darinya, kini hari-hariku penuh dengan kejutan-kejutan.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, agar sampai di rumah dengan selamat. Kebetulan jarak dari rumah Lita ke perumahan tempat papa tinggal tidak terlalu jauh.Setibanya di rumah, ternyata kejutan manis itu adalah kedatangan Sinta, adikku. Lama tak jumpa dengannya, kini ia sudah memiliki gelar sarjana."Halo, Kak!" sapanya."Hai, kamu cantik sekali hari ini," sahutku sambil memujinya. Kemudian aku melihat ke sekeliling rumah yang penuh dengan meja dan kursi. Ada persiapan apa ini? Rasanya terlalu berlebihan jika menyambut kedatangan Sinta mengundang orang. Terlihat dari kursi yang dipersiapkan sebegitu banyak."Hari ini akan banyak kejutan untukmu, Sayang. Kedatangan Sinta hanya kejutan kecil yang Papa berikan," sambung papa sembari menghampiriku.
Setelah terjeda beberapa detik, Pak Gilang segera melanjutkan penyambutan orang tuaku. Semua yang menyaksikan tiba-tiba hening, tak ada seorangpun yang bersuara, termasuk Lita dan Mas Zaki.Kemudian, papa dan mama turun dari tangga ke anak tangga lainnya. Semua para tamu undangan seketika menyorot mereka berdua. Terlebih-lebih Mas Zaki dan Lita, mereka mulai saling beradu pandangan. Sedikit-sedikit Mas Zaki menoleh ke arahku. Ada rasa heran terpancar di matanya.Setelah anak tangga terakhir yang orang tuaku injak, Pak Gilang segera mempersilahkan kembali mereka berdua untuk segera menaiki panggung."Marilah kita sambut, Pak Ardi Dinata beserta Bu Fatma Ningtyas. Kepada Pak Ardi dan Bu Fatma, diperkenankan untuk naik ke atas panggung," tutur Pak Gilang mempersilahkan orang tuaku naik ke atas panggung.Aku tersenyum tipis ke arah mereka berdua. Aku rasa di hati mereka sedang bertanya-tanya, untuk apa aku merahasiakan jati diri ini terhadap mer