Share

Akibat Sumpah Sebelum Menikah
Akibat Sumpah Sebelum Menikah
Penulis: Dwrite

Akhir Sebuah Penantian

"Kalau dalam kurun waktu satu tahun dia masih belum juga datang, Suci janji bakal nerima siapa pun yang datang melamar."

Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Nazar yang terucap setahun silam malah berubah menjadi bumerang yang menghadang, kala satu-satunya lelaki yang menjanjikan surga di ujung penantian, justru tak kunjung datang. Harapan yang berkian tahun kugantungkan pada akhirnya berakhir kekecewaan.

Di sisi pembaringan, dari balik jendela kenangan. Wajah teduhnya masih lekat dalam ingatan, suara beratnya masih terngiang memintaku menunggu untuk sebuah kepastian. Kepastian yang berubah menjadi ketidakpastian, ketidakpastian yang berakhir menjadi perpisahan paling menyakitkan.

Hari telah berganti pekan, pekan berganti bulan, sampai tak terasa lima tahun penantian umurku sudah menginjak dua puluh delapan. Entah sudah berapa banyak lelaki yang datang, entah sudah berapa kali berbagai macam bentuk pinangan kuurungkan. Sampai hari itu akhirnya tiba, hari di mana ikatan yang berkian tahun membelenggu, mampu untuk dilepaskan.

"Nduk, Keluarga H. Jamal udah datang!"

Suara Ibu menarikku dari lamunan. Ia melangkah perlahan menghampiri, lalu duduk tepat di sampingku. "Ibu yakin keputusan ini pasti berat bagimu, tapi inilah jalan yang telah kamu pilih. Cobalah untuk melupakannya." Kalimat itu terdengar pasti, tapi sulit untuk diikuti. Melupakan jelas tak semudah memulainya. Bagaimana pun situasinya sekarang, lelaki itu pernah meninggalkan kesan yang amat mendalam dan cukup sulit untuk dienyahkan.

"Siapa aja yang datang?" Pertanyaan itu terlontar. Kutatap Ibu dengan ekspresi datar. Berharap raut wajah itu mampu menutup kenyataan bahwa sejak pinangan ini kuterima, sudah membuktikan bahwa aku adalah seorang wanita yang menyedihkan.

"Calon suamimu, Bapak, Ibu, dan adiknya."

"Berarti dia juga datang?!"

" .... "

Tak ada jawaban, kuanggap diamnya Ibu sebagai bentuk pernyataan. Bahwa hari ini, aku harus siap dihadapkan dengan masa lalu dan masa depan.

***

Dengan enggan, kuseret langkah keluar dari kamar, meneguhkan diri agar hati dan pikiranku sejalan untuk bertemu dengan lelaki yang akan menjadi sosok calon imam. Calon Imam yang tak pernah kuharapkan, calon imam yang kebetulan datang saat perasaanku benar-benar berantakan.

Anak sulung H. Jamal, lelaki berusia tiga puluh dua tahun dengan kepribdian yang sama sekali tak bisa kudeskripsikan. Kabarnya dia pernah kabur saat akan dimasukan ke pesantren, ikut balapan motor liar, bahkan masuk penjara karena memukuli orang dalam keadaan tak sadar atau dipengaruhi minuman. Entah apa yang ada di pikiranku saat memilih dia di antara dua kandidat lainnya. Mungkin karena sifatnya berbanding terbalik dengan lelaki nyaris sempurna yang berhasil menorehkan luka. Atau mungkin karena dia kakak dari istri lelaki yang amat kucinta.

Kudongakkan dagu, ketika Ibu menuntunku duduk di hadapan para tamu. Menguatkan mental ketika memerhatikan pasangan suami istri yang terlihat sangat bahagia dengan putra kecil mereka, dan calon anak kedua yang ada di kandungan wanita itu. Lima tahun lalu lelaki itu milikku, tapi sekarang ia milik wanita lain. Wanita yang tak pernah tahu bahwa posisi yang dia tempati seharusnya milikku.

Dirasa perih mulai menjalar kala memerhatikan keduanya, kualihkan pandangan pada lelaki yang duduk tepat di hadapan. Berbeda nyaris 90° dari sang ipar. Calon suamiku berperawakan lebih tinggi dan lebih besar, bahkan terkesan agak sangar. Rambutnya panjang terikat dengan potongan mohak di samping kiri-kanan. Rahangnya dipenuhi rambut-rambut halus yang kuyakin bila disentuh akan terasa kasar. Meskipun pakaiannya sopan, tapi penampilannya sudah cukup menggambarkan bahwa ia lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan.

Lihatlah bagaimana cara dia memerhatikan sekeliling, sesekali bahkan mengipasi tubuh dengan kerah kemeja yang entah sejak kapan sudah terbuka dua kancing teratasnya.

"Masih lama nggak, sih, Ma? Panas banget di sini. Mana nggak ada AC-nya lagi." Lelaki itu bergumam pada wanita paruh baya berpakaian syar'i di sebelahnya. Yang bodohnya masih bisa kudengar. Bahkan mungkin Ibu dan Bapak juga.

"Fariz!" Hj. Nurul melotot lalu mencubit perut putranya.

"Maaf, ya, Nak Fariz. Saya alergi AC, makanya larang Bapak buat pasang," cetus Ibu menjelaskan dengan keramahtamahan khas orang Desa kebanyakan.

"Nggak apa-apa, Bu. Justru saya yang minta maaf kalau-kalau ucapan Fariz yang terkesan nggak sopan." Hj. Nurul terlihat begitu sungkan, bisa kulihat wanita paruh baya itu mendorong tengkuk dan pundak putranya agar merunduk. Minta maaf.

"I-iya, Bu. Saya yang salah. Maaf," ucapnya kemudian.

"Kalau begitu bisa langsung kita mulai saja, ya!" Bapak mulai angkat bicara. Suaranya yang sangat berwibawa selalu berhasil menjadi pusat perhatian siapa saja. "Saya kenalkan kembali. Mungkin Nak Fariz belum sempat melihatnya saat lamaran pertama diajukan. Putri semata wayang kami. Suci Puspitasari."

"Cakep," gumam lelaki itu sesaat setelah kami berpandangan.

"Riz!" tegur ibunya lagi sembari menyikut lengan Mas Fariz.

"Sebenarnya kami tak menyangka Nak Suci akan menerima pinangan ini setelah mengetahui riwayat hidup Fariz. MasyaAllah, saat Pak Aziz menghubungi kami sangat terkejut sekaligus senang. Kalau bukan sekarang saya tak yakin kapan anak ini akan menikah, dia bahkan sudah dilangkahi adiknya. Farah, dan ini menantu saya Ali."

Senyumku memudar, tanpa perlu menjelaskan kami sudah sangat mengenal siapa Ali Abdullah. Dia yang pernah datang meminta izin pada Bapak untuk menikahiku lima tahun silam, dia yang menjadi alasanku menolak semua lamaran yang datang hingga di-cap sebagai wanita paling jual mahal, dia pula yang telah mencoreng arang di wajah ini saat memilih mengkhianati kepercayaan yang sudah bertahun-tahun kusematkan, setelah kabar tersebar bahwa dia telah menikahi seorang gadis kota. Anak bungsu seorang saudagar, pemilik perkebunan kelapa sawit. H. Jamal.

Lima tahun waktu kuhabiskan dalam penantian, sementara dia menikmati kehidupan pernikahan yang membahagiakan bersama istri cantik dan anak yang lucu. Di mana letak keadilan itu, Tuhan ....

Kuremas kuat gamis yang dikenakan ketika perih yang mati-matian kuredam kembali muncul ke permukaan. Mataku memanas, rahangku mengeras. Semua kecamuk perasaan yang datang bersamaan ini hanya bisa kutahan dalam dada. Aku harus tetap kuat meski dalam keadaan paling hancur sekalipun.

"Jadi, kapan pihak laki-laki siap untuk melangsungkan pernikahan?" Bapak mengajukan pertanyaan untuk mempercepat proses lamaran. Meskipun tegas dan terkadang dingin, beliau yang paling paham tentang perasaanku. Sepanjang prosesi, tangan besarnya bahkan tak henti menggenggam jemari ini.

H. Jamal menoleh pada istri dan anaknya. Meminta pendapat mereka.

"Kalau itu sepertinya kami kembalikan lagi ke pihak perempuan. Siapnya ka--"

"Kalau begitu secepatnya!" tukasku yang membuat semua orang lantas terdiam. Kecuali Mas Fariz yang tiba-tiba nyeletuk santai.

"Ebuset ... rupanya dia udah nggak tahan."

"Fariz!"

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status