Part 6
"Pergiiii...!!"Aku terhenyak mendengar teriakan ibu. Si kecil Rezapun kaget, dan menangis karenanya."Baik, Bu. Kami beres-beres dulu," jawab mas Aris lagi. Kami langsung masuk ke kamar karena tak ingin mendengar teriakan ibu. Sementara ibu masih duduk mematung di tempatnya, memijat pelipisnya sendiriz entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini. Apakah dia akan kembali berpikir kalau kami anak-anak yang durhaka? ***Di dalam kamar, situsasi udah tidak karuan.Aku membereskan baju-baju kami semua, Mas Aris dengan cekatan membantuku, memasukkannya ke dalam tas ransel. Kembali meneliti supaya tak ada satupun barang yang tertinggal."Kamu lihat sendiri kan mas? Sikap ibu? Dia setiap hari seperti itu padaku. Aku tak pernah dianggapnya ada. Padahal aku juga capek, mencuci, masak, nyapu aku membersihkan semuanya sendiri. Tapi....""Iya, dek..." sahut Mas Arin dengan nada suara pelan."Aku sudah gak tahan, mas..." isakku.Air mataku tumpah lagi, tak henti-hentinya kuseka bulir-bulir bening ini."Iya, dek. Sabar ya sabar..." Mas Aris kembali menenangkanku. Dia merangkul pundakku dan menghapus jejak air mata yang turun.Setelah selesai, mas Aris membawa tas ransel itu. kami pun keluar dari kamar untuk berpamitan.Di ruang tamu, rupanya ada keluarga mbak Ayu. Sepertinya mereka baru pulang, habis jalan-jalan. Anaknya berlarian kesana kemari dengan ceria. Berbeda dengan Aryan, dia berdiri dengan tenang di sampingku. Sesekali dia mebdongak melihat ke arahku dan lain kesempatan ia memandang saudara sepupunya yang jelalatan loncat loncat di atas sofa. Berpindah dari satu tempat dudum ke tempat duduk yang lain. Aryan sekarang menjadi lebih pendiam, ia tahu manakala tengah dimarahi oleh neneknya. Ya, kadang kala bocah kecil itupun sering kena omelan neneknya. Dia jadi pendiam seperti ini dan tidak pecicilan lagi. Mungkin dalam hatinya pun tak ingin membuat ibunya kesusahan."Lho kalian mau kemana? Kok bawa tas segala?" tanya mbak Ayu penasaran."Emmh... begini mbak, mas, kami pamit mau mengontrak diluar, yang dekat dengan tempat kerjaku," jawab mas Aris."Bu, ibu ngizinin mereka pergi, Bu?" tanya mbak Ayu pada ibu."Ya, biarkan saja itukan keinginan mereka," jawab ibu dengan ekspresi datar."Tapi, Bu. Mereka kan be...""Tidak apa-apa, mbak. Kami ingin belajar mandiri," sahut mas Aris masih sambil tersenyum. Ia tahu Mbak Ayu pasti ingin mengatakan kalau uang kami tak cukup kalau harus mengontrak di luar rumah."Oh, kalian ngontrak disebelah mana? Kami antar ya...." Mbak Ayu menawarkan bantuan. Mungkin juva cuma sekedar basa basi saja."Ayuuu!! Biarkan saja mereka, kau tidak usah peduli. Paling juga kalau tidak punya uang mereka akan kembali!" teriak ibu lagi."Ibu, ibu kok ngomong gitu sih?" tanya Mbak Ayu."Ya kenyataannya seperti itu."Nyeri sekali rasanya mendengar pernyataan ibu. Sebenarnya kami salah apa Bu? Kenapa begitu besar rasa bencimu terhadap kami? Kenapa ibu belum juga memaafkan kami? Apakah selamanya ibu takkan pernah memaafkan kamu? Dan mendoakan yang terbaik untuk kami?"Ya sudah Bu, mbak, mas, kami pamit..." Aku dan mas Aris bergantian menyalami mereka."Kalian hati-hati ya..." sahut Mbak Ayu dan juga Mas Bagas.Baru sampai di depan pintu, kami bertemu dengan Dani dan Arin. Dani, adik laki-lakiku baru pulang bekerja. Sedangkan Arin, mungkin dia habis pergi main dengan temannya. Entahlah gadis itu kadang kala suka menguji kesabaran karena pergaulannya yang entah bagaimana."Mas, mbak, kalian mau kemana?" tanya Dani kebingungan."Oh iya dek, kami pamit ya. Kami mau mengontrak di luar," sahut mas Aris sambil tersenyum dan menyalami kedua adik iparnya."Mbak, aku antar kalian..." jawab Dani sambil mengikuti kami di belakang. Dia membawakan salah satu ransel kami."Dani! Mau kemana kamu? Biarkan mereka pergi!" hardik ibu seakan tak suka."Iya bu, aku cuma ingin mengantar mereka sampai ujung gang saja," jawab Dani yang tak peduli omelan ibu. Dani tetap menemaniku.Mas Aris menjalankan motornya dengan pelan, ia ada di motor bersama Aryan. Sedangkan aku dan Dani berjalan kaki sampai ujung gang yang tidak terlalu jauh."Mbak hati-hati ya. Maafin aku kalau selama ini selalu merepotkan mbak. Kemarin Reza sakit juga aku belum sempat menggendongnya. Pekerjaanku lagi sibuk banget mba, untung saja hari ini bisa pulang cepat. Mbak tahu sendiri kan biasanya aku pulang jam sembilan malam?" ucap Dani penuh penyesalan. Dari kedua adikku, hanya Dani yang cukup peka. Tapi hidupnya juga dikekang oleh ibu. Yang kutahu, semua gaji yang ia dapatkan dari bekerja di Pabrik, semua diambil alih oleh ibu."Iya dek, gak apa-apa. Semoga pekerjaanmu lancar ya..." sahutku."Aamiin. Ini mbak, buat tambah-tambah. Gak banyak sih. Mbak juga tahu sendiri kan, uang gajiku ibu yang ngelola, aku hanya di jatah 600 ribu untuk bensin dan uang jajanku selama sebulan," sahut Dani sambil memberiku uang dua lembar seratus ribuan. Entah kenapa mendadak mataku berkaca kaca."Iya dek, terima kasih banyak..." jawabku.Sungguh, aku terharu. Adik laki-lakiku yang terkesan cuek justru disaat seperti ini dia mau membantuku. Uang tambahan dari Dani sekiranya cukup untuk makan kami berempat nanti selama sepekan ke depan."Dek, tolong jaga ibu. Jangan bikin ibu marah-marah terus," lanjutku kemudian."Yaah, kalau aku sih gak ada di rumah mbak. Paling si Arin noh yang gak mau diatur." Dani menimpali dengan nada sedikit bergurau."Iya, sering-seringlah nasehati Arin. Kami permisi ya... Ingat jaga ibu."Ya, bagaimanapun juga, meski ibu seringkali menyakiti hati tapi ia tetap ibuku, orang yang pernah mengandung dan melahirkanku ke dunia ini. Jadi walaupun sikap ibu sangat keras, bukankah sebagai anak kita harus tetap menghormatinya? Ya... walau itu terasa berat."Iya, mbak dan keluarga juga harus jaga kesehatan ya. Semoga baik-baik saja di tempat yang baru," sahut Dani sambil tersenyum."Iya, Dek. Mbak berangkat ya. Kapan-kapan main ya ke kontrakannya Mbak. Biar mbak gak kayak orang hilang. Hahah.""Haha iya, beres Mbak. Kalau ada waktu libur nanti aku sempatkan main. Alamatnya mana Mbak?""Dekat kok sama tempat kerjanya Mas Aris. Di kontrakannya Haji Herman.""Baik, Mbak. Hei jagoan, cepat sembuh ya. Nanti Om akan datang ke rumah kalian," ujar Dani. Dia mengecup kening Reza.Dani menyalami tanganku dengan takdzim. Lalu tersenyum melihatku pergi. "Hati hati di jalan ya Mbak.""Ayo dek, naik, mumpung belum maghrib, jangan sampai kita kepentok maghrib di jalan!" tegur Mas Aris."Iya, Mas." Aku langsung naik ke boncengan motornya. Aku menoleh sejenak menatap lingkungan tempatku dibesarkan kini harus kutinggalkan.Part 7Aku dan Mas Aris sudah sampai di kontrakan. Tak banyak yang kami bawa, hanya baju-baju untuk ganti. Sesulit inikah hidup sebagai orang tak punya? Hingga dibenci sama ibu sendiri? Atau... Adakah alasan yang lainnya yang tidak kumengerti?Rasanya hari hari kulalui begitu berat. Tapi bukankah kita harus bersabar?Aku membaringkan Reza di kasur lantai. Tangan dan pundak terasa begitu pegal karena hampir seharian menggendong si bungsu. Aryan pun berbaring di sampingnya. "Maafin kami ya, Nak. Kalian harus tidur hanya beralaskan kasur lantai yang tipis," ujarku dengan nada tertahan.Air mataku terus saja mengalir, enggan untuk berhenti walau aku menyekanya berkali-kali."Dek, udah jangan menangis terus. Istirahatlah," ucap mas Aris. Dia mengisik bahuku dengan pelan."Sekarang mandilah dulu, biar badanmu segar. Kita gantian, Mas juga mau mandi seharian rasanya begitu lelah."Aku mengangguk, bangkit dari duduk dan meraih handuk dalam tas ransel. Gegas masuk ke dalam kamar mandi, menyal
Part 8Flashback ( Masa lalu Aris )Bagian 1"Hei, jangan pergi kalian!" Suara teriakan petugas satpol PP itu mengehenyakkanku. Aku yang tengah mengamen segera berlari menghindar dari amukan. Mereka menendang para pedagang asongan yang masih nekat berjualan di sana di usir dengan membabi buta."Ayo bereskan mereka, jangan sampai ada yang lepas."Aku awalnya bersembunyi dibalik badan seseorang. Tapi rupanya aku salah strategi, mereka para petugas melihatku."Cepat tangkap mereka yang berusaha kabur!" teriak petugas itu lagi membuatjantung berdegup sangat kencang. Semua berlarian, berhambur tak tentu arah tujuan, termasuk aku. Satu hal yang ada di pikiran. Kabur dan jangan sampai tertutup."Itu mereka, kejaaaarr!" Suara gesekan sandal dan sepatu berlarian di jalanan terdengar berdecit.Aku berlari-lari dari kejaran satpol PP yang sedang merazia kami, para anak jalanan. Ya, aku menjadi anak jalanan sejak 5 tahun lalu, saat usiaku menginjak 11 tahun. Kematian kedua orang tuaku membuat
Part 9Hari-hariku berlalu penuh dengan rasa suka cita. Tinggal di lingkungan masjid membuat pribadiku lebih baik lagi. Kini,Sudah 6 tahun semenjak hari itu, hari yang paling bersejarah yang membuatku terdampar di lingkungan yang baik ini. Sejak saat itu aku menjadi giat untuk belajar agama. Hari-hariku dipenuhi oleh ceramah pak ustadz dan juga belajar mengaji. Selain menjadi marbot masjid, aku juga seringkali bekerja sebagai kuli bangunan agar aku tetap bisa melanjutkan hidup. Bukan hanya mengandalkan belas kasih orang, tapi akupun harus berjuang. Pak ustadz tidak keberatan akan hal itu, yang terpenting masjid tetap terjaga kebersihannya. Dan tibalah hari itu, hari dimana untuk pertama kalinya aku bertemu dengan gadis itu. Gadis dengan senyumannya yang manis. Parasnya begitu ayu, bahkan sepertinya ia punya aura tersendiri. Gadis itu yang mampu menarik perhatianku. Aku tak pernah menyadari, sejak kapan benih-benih ini muncul. Yang jelas saat itu, dia hadir di acara santunan anak yat
Part 10Aku sudah menguatkan hatiku, meski kemungkinan terburuk, aku bakal patah hati. Tak apa, aku masih bisa menahannya. Asalkan aku bisa melihat senyuman di wajah cantiknya, itu tak masalah. Hari inipun tiba, hari yang akan menjadi hari sakralmu, melepas lajang dengan seseorang yang tepat. Aku tersenyum membayangkan wajahmu. Semoga kamu bahagia, Dewi. Maaf aku tak datang di hari pernikahanmu. Biarlah hanya doaku saja yang sampai karena aku masih tak bisa bila harus bertatap wajah denganmu.Pagi menjelang siang ini, karena tak ada pekerjaan, aku tengah membersihkan masjid, agar lantainya tetap bersih dan kinclong. Begitu pula kacanya agar bebas dari debu. Aku menyibukkan diri agar tak terlalu kepikiran padanya. Perasaanku ini memanglah salah, muncul begitu saja tanpa bisa kubendung. Aku harus membuang perasaan ini jauh jauh. Aku harus menghapus semuanya.Tiba-tiba aku terperanjat kaget, saat melihat Dewi berlari menuju ke arahku, masih dengan kebaya putih dan hijabnya yang melekat.
Part 11Sementara di tempat ibu.Mbak Ayu dan keluarganya bersiap pergi meninggalkan ibu. "Kalian mau kemana?" tanya ibu."Kami pulang dulu, bu." jawab mbak Ayu"Katanya mau menginap disini? Ibu masih kangen sama cucu-cucu ibu..." ujar ibu dengan nada berat."Tidak, Bu. Kapan-kapan saja.""Kenapa?" tanyanya lagi."Tidak apa-apa. Cuma Ayu mau bilang, kali ini ibu sudah keterlaluan sama Dewi. Kasihan Dewi, Bu. Dia juga anak ibu, kenapa ibu terus menerus memarahinya. Kalau aku jadi Dewi mungkin sudah kabur sejak dulu. Sungguh aku tak kuat mendengar omongan ibu yang selalu marah-marah."Ibu terdiam."Sesekali bersikap lembutlah pada Dewi, Bu. Kasihan anak itu, dari dulu dia yang selalu membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Masa hanya gara-gara suaminya miskin ibu terus menerus mencacinya begitu? Rasanya sungguh tidak adil, Bu. Berarti kalau kita miskin, tidak menutup kemungkinan kalau kita juga akan diperlakukan sama seperti Dewi, iya kan bu?" ujar mbak Ayu.Ibu menggeleng. "Tidak n
Part 12Klotak... klotak...Terdengar bunyi berisik di ruang tengah."Bu, Bu.... mana sarapannya? Kok gak ada apa-apa di meja?" teriak Arin. Gadis itu baru keluar dari kamar, masih dengan tanktop dan hotpants yang melekay. Wajah kusut dan rambut berantakan khas orang yang baru bangun tidur.Dia membuka tudung saji di meja makan, tapi tak tersedia makanan apapun. Biasanya, pagi-pagi sekali Dewi sudah mulai memasak untuk orang serumah. Paling sering dia bikin dadar telur dan oreg tempe atau sekadar memasak mie goreng. Ya, Dewi sangat perhatian dengan keluarganya, dia merasa kasihan kalau belum tersedia sarapan di meja. Adiknya yang laki-laki akan berangkat kerja, pasti akan merasa lapar kalau tidak sarapan dulu. Sedangkan Arin, gadis itu dia terbiasa manja dengan apapun. Ia terbiasa semuanya ada yang menyiapkan. Tak pernah ia mau sekedar membantu pekerjaan rumah.Arin kemudian menghampiri ibunya yang sedang beberes di dapur. Wanita paruh baya itu tengah sibuk dengan cucian pirung di wes
Part 13"Mas, Reza panas lagi." ucapku ketika memeriksa suhu badan Reza yang kembali panas. Bahkan kemarin demamnya sudah turun. Entah kenapa sekarang panas lagi, tetapi tubuhnya terlihat menggigil, bibirnya mulai membiru."Kita bawa ke Rumah Sakit saja ya dek..." jawab Mas Aris. "Sudah berapa hari Reza panas, dek?""Empat harian mas..." jawabku penuh rasa khawatir."Ya sudah ayo ke Rumah Sakit, biar jelas." ajak Mas Aris. "Tapi...." aku bimbang, pasalnya kami tak punya uang sama sekali untuk membayar biya perawatannya. Kalau ke Rumah Sakit pasti biayanya akan sangat mahal."Kita ke Rumah Sakit dulu, lainnya kita pikirkan nanti ya," ucap Mas Aris lagi.Aku mengangguk. Kami pergi ke Rumah Sakit, menggunakan motor pak mandor yang masih belum di kembalikan. Untung saja pak mandor baik kepada kami.Sesampainya di Rumah Sakit, dokter memeriksa Reza, dan menyarankan agar dilakukan tes lab pada Reza. Kami mengangguk menyetujuinya.Setelah setengah jam menunggu, hasil tes lab itu keluar. "B
Part 14Ibu terdiam."Bu, Dewi mohon bu... Tolong Dewi sekali iniii saja...""Kenapa? Kamu butuh uang?" tanya ibu kemudian."I-iya bu, Dewi butuh uang buat perawatan Reza.""....""Reza sakit Bu, kena DBD..." jelasku lagi. Berharap ibu akan simpatik dengan kondisiku. Tapi ternyata aku salah. Hati ibu terlalu keras melebih batu."Suruh dong suamimu usaha, nyari pinjaman kemana kek..." jawab ibu masih dengan nada ketus.Aku menggeleng. "Sudah, Bu. Tapi ....""Oh, gak ada yang mau minjamin kalian ya? Benarkan? Itu karena kalian miskin, kalaupun pinjam tak mungkin mampu mengembalikannya...""Kenapa ibu berkata seperti itu?" tanyaku masih dengan sisa air mata yang menggenang."Hah, memang benar kan?" Ibu tampak sinis memandangku. Astaghfirullah, rasanya sakit sekali dihina ibu sendiri.Aku menunduk, air mataku tak terbendung lagi. Iya hatiku benar-benar perih. Ibu yang seharusnya menjadi sandaranku, tapi dia selalu saja begitu... mematahkan hatiku hingga remuk redam. Saki. Sakit sekali."I