Share

Dafa mengamuk

"Pah," panggil Lelaki itu dengan bariton suaranya yang berat.

Akhirnya, aku dan Tuan Besar masuk ke dalam ruangan setelah berdiri diam di depan pintu. Tuan Besar dengan tegas menginstruksikan dua orang pelayan yang berada di sisi Tuan Dafa untuk segera pergi.

Aku menoleh ke kiri dan kanan, kamarnya terlihat begitu gelap. Gorden tidak terbuka, memberikan kesan yang sedikit menyeramkan.

"Cari apa kamu?" tanya Tuan Dafa sembari menatap sinis ke arahku.

Aku langsung menggelengkan kepala sebagai jawaban, kenapa harus keciduk sih.

"Dafa, bagaimana keadaanmu?" tanya Tuan besar.

"Mengapa kalian ada di sini?" tanyanya balik, dengan tatapan tajam menatap kami berdua.

"Dafa, Papah hanya ingin menjengukmu ...."

"Katakan!"

Aku menelan saliva dengan susah payah. Melihat interaksi mereka, aku menyadari bahwa hubungan mereka tidak baik.

"Begini, Dafa. Papah ingin memperkenalkanmu dengan Jingga." Aku melihat Tuan Besar menghela nafas pelan, lelaki itu tampak sangat sulit mengatakannya. "Gadis ini anak yang baik, Papah ingin kamu menikah dengannya."

Brak!

"DAFA!"

Mataku melebar saat Tuan Dafa langsung memukul meja kaca di sisinya hingga pecah. Tangannya terkepal dengan darah yang sudah mengalir dari tangannya.

"SAYA TIDAK MAU MENIKAH, SUDAH SAYA BILANG SAYA TIDAK AKAN MENIKAH!" Matanya memerah memperlihatkan betapa marahnya lelaki itu.

"Dafa ini demi kebaikanmu!"

"Kebaikan apa? Papah mau saya di hina dan menjadi beban seorang istri karna saya cacat?" Gigi lelaki itu bergemeletuk. Ia mencengkram pecahan kaca dengan sangat kuat.

Aku yang melihat hal itu langsung mendekat ke arah Tuan Dafa, lalu mengambil pecahan kaca di genggamannya. Jika dia terus menggenggamnya, tangannya akan tertusuk atau tersayat.

"Tuan, saya mohon lepaskan pecahan kaca ini."

"Gak usah so peduli, bajingan. Menjauh! kalo tidak, pecahan kaca ini akan menancap di kepalamu," gertak Tuan Dafa.

Suara retakan kaca beserta darah mengalir membuatku merasa ngilu. Tidak peduli apa yang dia katakan, aku terus berusaha untuk mengambil pecahan kaca itu.

"JINGGA LEPASIN TANGAN DAFA. NANTI KAMU JUGA AKAN IKUT TERLUKA." Tiba-tiba, Tuan Besar berteriak dengan panik. Segera ia pergi memanggil beberapa orang untuk membantu menenangkan Tuan Dafa. Sementara itu, aku terus mencoba membujuk lelaki tersebut agar melepaskan genggamannya.

"Tuan saya mohon. Nanti tangan anda akan sangat sakit."

"Jangan memberitahu saya soal rasa sakit, saya sudah mati rasa," jawab Tuan Dafa sambil menekan kata mati.

"Argh." Aku meringis saat pecahan kaca itu ikut menancap di tanganku.

"Sakit?" ucapnya pelan. "Jika kamu tidak bisa menahan rasa sakit ini, bagaimana bisa menjadi istri seorang Dafa." Lelaki itu berbicara sembari menyeringai menatapku.

"Urungkan niatmu untuk pura-para ingin menjadi istriku. Lebih baik beritahu sekarang berapa uang yang kau mau. 500 juta, 100 juta atau I milyar?"

"Aa--aku tidak butuh uang, Tuan."

"Munafik!" Wajah Tuan Dafa semakin memerah, sebelah tangannya hampir kembali mengambil pecahan kaca, jika beberapa anak buah Tuan besar tidak datang untuk memegang tangannya.

Seorang dokter laki-laki menyuntikan sesuatu ke bahu Tuan Dafa, membuat lelaki itu tampak tenang lalu memejamkan matanya.

"Akhirnya Dafa kembali tenang," gumam Tuan Besar.

"Maaf Tuan, apa yang kalian bicarakan dengan Tuan Muda hingga membuatnya kembali mengamuk?" tanya salah-seorang seorang lelaki yang memegangi tangan Tuan Dafa.

Saat Tuan Besar akan menjawab, tiba-tiba Dokter berbicara membuat semuanya terlihat melebarkan mata.

"Bagaimana kita bisa mengeluarkan pecahan kaca ini? Potongan kaca itu menusuk lengan gadis ini dan Tuan Muda."

Aku yang baru menyadarinya ikut melihat ke arah tanganku, benar apa yang dikatakan dokter itu. Pecahan kaca yang lumayan besar itu menusuk tanganku dan tangan Tuan Dafa, membuat tangan kami tampak menyatu.

"Cabut saja," ucapku membuat mereka langsung melotot.

"Tapi ini sangat sakit?" Tuan Besar menatapku dengan khawatir.

"Biar saya yang cabut."

Sekarang tangan tuan Dafa sudah tidak terkepal, aku menggunakan sebelah tanganku untuk mencabut pecahan kaca tersebut.

Aku menggigit bibir, merasakan tangan ini begitu perih.

"Dokter, obatin Dafa. Saya akan membawa Jingga untuk di bawa ke rumah sakit!"

"Baik, Tuan!"

***

"Tidak ada pecahan kaca yang tertinggal di dalam tangannya, tusukannya juga tidak terlalu dalam," ujar sang Dokter. Sekarang kami berada di rumah sakit, Tuan Besar langsung membawaku ke sini karna melihat tanganku yang terus mengeluarkan darah.

"Saya pamit dulu Tuan, saya akan menyiapkan beberapa resep obat untuk di gunakan di rumah." Setelah mengatakan hal itu, Dokter itu lalu keluar. Meninggalkanku dan Tuan besar yang sama-sama hanya diam, larut dalam pikiran masing-masing.

"Jingga, maafkan kesalahan anak saya. Saya tidak menyangka jika Dafa akan melakukan hal ini."

Lelaki yang terkenal tegas itu, menunduk di hadapanku karna ulah anaknya.

"Tidak apa-apa, Tuan," jawabku sembari menyunggingkan senyum. Entah kenapa aku lebih menghawatirkan Tuan Dafa, saat pecahan kaca itu sampai tembus mengenai tanganku tidak kulihat raut wajahnya yang meringis atau kesakitan.

"Jingga, saya tidak akan memaksamu untuk menikahi Dafa. Benar yang dikatakan Tania dan Satria, mungkin anak saya sudah ...."

"Saya akan tetap menikah dengannya Tuan," jawabku dengan mantap.

Aku melihar raut wajah Tuan Besar terkejut, mungkin orang-orang akan mengatakan aku bodoh yang masih mau bersama lelaki seperti itu.

"Jingga, apa kamu serius? Kamu taukan kalo Dafa itu tempramental. Dia bisa menyakitimu," terangnya.

"Tuan tenang saja. Saya sudah biasa mengalami kekerasan dari semenjak saya kecil, kesakitan seperti itu sudah biasa bagi saya."

Tiba-tiba, Tuan Besar memeluk tubuhku. Rasanya kehangatan yang kuat mengalir melalui pelukan ini, aku merasa ini seperti pelukan yang selalu aku rindukan dari sosok yang kuanggap sebagai Bapak. Ternyata seperti ini rasanya, begitu nyaman diselimuti kehangatan di dalam pelukan ini.

"Terimakasih, Jingga. Saya tau kamu satu-satunya gadis yang nantinya bisa membuat Dafa bangkit kembali. Mungkin terdengar seperti candaan saat sedari dulu, saya sudah ingin menjadikanmu istri Dafa, karna melihat betapa gigihnya kamu kerja di warung makan walau kamu masih sekolah SMP. ?" kekehnya. Lalu melepas pelukannya sembari tersenyum tipis.

"Tadinya, saya mengurungkan niat itu karna kamu masih kecil, tidak pantas dengan Dafa yang sudah dewasa. Tapi candaan itu berubah menjadi keinginan besar, setelah beberapa kali saya mencari calon istri, tapi mereka terus menghilang meninggalkan Dafa

Jingga, saya sudah menganggap kamu putri saya sendiri. Apa kamu yakin dengan pernikahan ini? Apa kamu tidak keberatan dengan umur Dafa yang sudah dewasa?"

Aku menyadari bahwa perbedaan usia antara aku dan Tuan Dafa sangat besar. Namun, wajahnya yang tetap terlihat muda, dengan tatapan tajam seperti elang, dan ketampanannya yang diatas rata-rata membuatku tidak merasa terganggu oleh perbedaan ini. Meskipun sebenarnya, keinginanku untuk menikah dengan Tuan Dafa bukanlah semata-mata karena penampilannya yang menarik.

"Saya tidak keberatan, Tuan. Tapi, apakah boleh saya meminta sesuatu?"

"Katakan, apa yang kamu inginkan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status