Share

Kenangan Masa Lalu

Jiyeon pov

Rumah ini bentuknya memang sama seperti dulu, sebelum aku dan ibu pergi dari sini. Aku berharap suasana di rumah ini tidak sepi seperti makam. Tapi ternyata, aku merasa begitu kesepian di sini. Meskipun ada kak Mina dan bibi Han. Pagi ini bibi Han membuatkan sarapan nasi goreng dengan sosis bakar dilumuri saos sambal dan mayones. Lembut sekali ku rasakan makanan itu di lidahku. Justru makanan masakan bibi Han ini yang membuatku hangat di rumah sebesar istana presiden ini. Mungkin karena dua tahun aku sama sekali tidak merasakan masakan rumah. Ya, sejak ibuku meninggal, aku tidak pernah lagi makan masakan rumah.

Ya Tuhan... Tiba-tiba aku teringat ibu. Masih sangat jelas di ingatanku saat ibu menyiapkan sarapan untukku sewaktu kami di Jerman. Masa-masa itu tidak akan terjadi lagi. Aku...tidak bisa bertemu ibu lagi.

Suasana di ruang makan yang begitu hening membuat lamunanku bebas terbang ke manapun. Memori itu terputar kembali. Ketika ibu memutuskan pergi dari rumah ini dan membawaku pulang ke rumahnya di Jerman. Pertengkaran hebat yang terjadi diantara ayah dan ibu mampu membuat ibu terpuruk dan akhirnya memutuskan hengkang dari rumah ini.

Kenapa mereka harus bertengkar?

Sejak kecil aku sama sekali tidak merasakan kehangatan keluarga yang utuh. Kebahagiaanku terpecah, terbengkalai. Saat aku bahagia bersama ibu, aku juga ingin ada ayahku. Tapi hal itu tidak terjadi.

“Hei, Park Jiyeon!”

Suara itu...

Aku tersadar dari lamunanku. Ku lihat kak Mina sudah duduk di sampingku dengan sebuah ponsel di tangan kanannya. Ia tersenyum nakal padaku.

“A, ada apa, Kak?” tanyaku bingung karena kakakku menatapku tanpa berkedip.

“Lihat ini!”

Tiba-tiba ia menunjukkan video call dengan seseorang padaku.

“A, apa ini?” tanyaku masih bingung.

“Dasar bodoh!” Terdengar suara seseorang yang sangat ku kenal. Aku melirik ke arah ponsel kak Mina yang disodorkan padaku. Mataku melotot melihat seseorang yang mengatakan aku bodoh tadi.

“Kim Jaehwan! Kau! Kurang ajar kau mengataiku lagi, hah?”

Kak Mina tertawa terbahak-bahak mendengar aku dan Jaehwan bertengkar seperti kucing dan tikus.

“Sedang apa kau di ponsel kakakku? Pengganggu!” Aku berteriak kesal melihat pemuda yang ku cintai ada di ponsel kakakku.

Ya, Jaehwan adalah suamiku. Akan tetapi kami benar-benar unik. Terkadang kami mesra, tapi kami sering mengejek satu sama lain. Sering bertengkar dan membuat kesal. Aku dibuat kesal lagi oleh Kim Jaehwan, suamiku tercinta.

Klik!

Aku mematikan panggilan video itu. Sungguh, kesal bercampur rindu melihat paras Jaehwan.

“Kenapa dimatikan?” tanya kak Mina.

“Untuk apa dilanjutkan? Dia akan terus membuatku kesal,” jawabku yang memang sudah merasa kesal.

“Bagaiman kabar Jaehwan di sana? Apakah dia belum menikah?”

Deg!

Aku menoleh ke arah kak Mina. Hatiku bertanya, kenapa dia menanyakan hal itu? “Setahuku belum, Kak. Tapi aku tidak tahu, apakah dia punya kekasih atau tidak.” Hatiku merasa ada yang menusuknya sedikit.

Kak Mina tersenyum. Ia seperti tengah mengingat sesuatu yang indah.

“Kenapa...kakak bertanya seperti itu?”

“Kau tahu, tidak? Jaehwan itu cinta pertamaku.”

Deg!

Kali ini, bukan hanya sedikit. Tapi aku merasa hatiku tertusuk pisau hingga setengah. Aku menelan ludahku pelan. Ya Tuhan... Apakah kak Mina masih mencintai Jaehwan? Tapi dia adalah suamiku.

“Aku sempat syok saat dia memutuskan untuk pindah sekolah ke Jerman. Waktu kau pindah ke sana bersama ibu, aku hampir ingin ikut kalian. Tapi ayah terus saja mempertahankan aku. Ayah tidak ingin aku pergi dari rumah ini bersama kalian.” Panjang lebar Kak Mina menjelaskan padaku. Kini dia tengah mengambil segelas susu dan meminumnya sedikit.

Hah!

Kenyataan apa lagi ini? Kenapa jadi seperti ini? Apakah mungkin kalau Jaehwan akan meninggalkanku? Ya Tuhan... Seandainya aku bisa mengatakan yang sebenarnya pada Kak Mina. Apa yang harus aku lakukan? Semoga dia telah melupakan Jaehwan dan tidak mencintainya lagi.

Aku membayangkan Jaehwan meninggalkanku sendiri. Hanya dia yang bisa membuatku tertawa. Akankah Tuhan mengambil orang yang ku cintai satu persatu? Ah, tidak mungkin. Itu tidak mungkin. Jaehwan sangat mencintaiku. Dia bahkan telah menikah denganku. Ya, meskipun secara sembunyi-sembunyi.

“Kau tidak apa-apa, Jiyeon?” Kak Mina menyentuh tanganku yang mengeluarkan keringat dingin.

Sontak aku pun kaget, segera ku buyarkan lamunanku. “Ah, itu...anu... A, aku tidak apa-apa, Kak.” Aku menarik tanganku.

Otakku sedang berpikir sesuatu yang berlebihan. Mengkhayal tentang yang akan terjadi jika Kak Mina mengejar Jaehwan lagi. Aku takut sekali. Tidak bisa, aku tidak bisa berada di tempat ini lebih lama lagi. “Maaf, Kak. Aku ke kamar dulu ya. Ada sesuatu yang harus aku beritahukan pada temanku di Jerman. Jadi...aku akan mengambil ponsel di kamar dulu.” Secepat mungkin aku beranjak dari kursi yang ku duduki. Aku tidak ingin berlama-lama di ruang makan bersama kak Mina. Hatiku sakit.

Author POV

Jiyeon berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua dengan kaki yang lemas, seakan tidak mampu menopang tubuhnya yang langsing itu. Ketika hendak melangkahkan kaki menapaki anak tangga paling bawah, Jiyeon sedikit melamun. Ia berhenti. Lagi-lagi dalam pikirannya, sesuatu yang belum pasti terjadi telah membayang-bayanginya. Ketakutannya kali ini berlebihan. Mungkin karena Jiyeon pernah kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya dan dia tidak ingin kehilangan itu terjadi lagi. Dia tidak ingin kehilangan Jaehwan.

Kaki kanan Jiyeon melangkah tanpa ia sadari.

Dug!

Kakinya tersandung anak tangga pertama yang ada di depannya. Beruntung Jiyeon tidak terjatuh karena tangan kirinya memegang kayu yang menjulur ke atas mengikuti arah tangga itu hingga ke lantai dua. Lamunannya buyar.

“Astaga, apa yang terjadi padaku?” lirihnya pada diri sendiri. Ia baru sadar bahwa sedari tadi dirinya melamun dan menyebabkan kaki kanannya tersandung saat hendak menaiki anak tangga itu. Jiyeon mengusap wajahnya, berusaha sadar terhadap apa yang akan dia lakukan. “Baiklah, fokus. Itu tidak akan terjadi. Jaehwan tidak mungkin pergi.” Kali ini dengan semangat, Jiyeon berjalan di atas tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua, di mana kamar cantiknya berada.

Ceklek!

Knop pintu kamar berhasil dibuka. Jiyeon mendorong benda keras berwarna coklat tua itu kemudian menutupnya kembali setelah dirinya masuk ke dalam kamar. Sebuah kamar yang cantik, secantik si empunya. Sebuah ranjang ukuran king size berada di tengah ruangan. Sprei, bantal, guling, dan selimut berwarna pink. Sedangkan dinding dan lantainya berwarna putih. Perabotan yang berjejer rapi di kamar itu pun berwarna pink dan putih. Ya, warna pink memang sangat disukai oleh perempuan yang feminin seperti Jiyeon.

Jiyeon mencari ponselnya di atas nakas yang terletak dekat ranjang tidurnya.

Ponselnya mati.

“Baterainya habis?” gumam Jiyeon kesal. Kenapa saat dibutuhkan, ponsel ini malah mati karena kehabisan baterai. Akhirnya dengan kesal, ia langsung menge-charge ponsel itu dan merebahkan tubuh kurusnya di atas ranjang. Ia tidak ingin mengingat kata-kata Mina tentang masa lalunya dengan Jaehwan. Mungkin Mina adalah masa lalu Jaehwan. Tetapi sekarang, Jaehwan adalah miliknya. Pemuda itu adalah suaminya.

Jiyeon merenung, memikirkan apa yang akan ia lakukan besok? Ya, dia harus bicara dengan ayah nya untuk menempatkan dirinya di rumah sakit terbaik di negeri ginseng itu. Kedua tangan Jiyeon terangkat di depan matanya. Ia memperhatikan sepuluh jari-jarinya. Apakah tangan itu sanggup menyembuhkan orang yang memiliki penyakit jantung? Bagaimana jika gagal dan orang-orang meninggal karena dirinya? Ah tidak. Tidak boleh menjadi orang yang pesimis, pikir Jiyeon. Dia adalah dokter yang selalu berusaha membantu kesembuhan pasien. Dokter bukan dewa atau Tuhan. Jadi ketika gagal, itu memang sudah takdir Tuhan. Dia hanya manusia biasa.

.....

Sore hari.

Pukul enam sore, Tuan Park menginjakkan kaki di rumah mewahnya. Setelah dua minggu pria paruh baya itu melakukan perjalanan bisnis, akhirnya sore itu dia bisa pulang ke rumah.

Ketika memasuki ruang tamu, Tuan Park melihat Jiyeon tengah asyik membaca buku kedokteran miliknya. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa ayahnya sudah pulang dari luar kota.

“Kenapa kau tidak menelepon ayah ketika sampai di rumah?” tanya Tuan Park pada putri bungsunya yang masih fokus membaca buku itu.

Jiyeon mendengar pertanyaan Tuan Park dengan jelas. Lalu ia mendongakkan kepalanya, melihat ayahnya sudah berdiri dengan jarak tujuh meter dari tempat duduknya. “Ayah sudah pulang?” Ia beranjak dari tempat duduknya dan segera memeluk ayahnya yang bahkan belum istirahat sama sekali. “Aku sangat merindukan ayah.”

Tuan Park tersenyum. “Aku juga merindukanmu, Putriku.”

“Aku menunggu ayah pulang. Aku kira kalau ayah akan pulang seminggu lagi. Ada yang ingin aku bicarakan dengan ayah. Ini sangat penting.”

“Baiklah. Putri ayah sekarang sudah dewasa sehingga memiliki masalah yang sangat penting untuk dibicarakan dengan ayahnya.”

Jiyeon tersenyum. “Aku akan siapkan air hangat untuk mandi ayah. Ayah bisa makan dulu. Ada Kak Mina di meja makan. Mungkin dia sengaja menunggu ayah di sana.”

Tanpa menjawab, Tuan Park melepas pelukan Jiyeon dengan pelan kemudian berjalan menuju ruang makan. Perutnya terasa lapar sekali karena lelahnya perjalanan jauh.

Sedangkan Jiyeon, segera pergi ke kamar ayahnya untuk menyiapkan air hangat. Hal itu juga sering dilakukan oleh Jiyeon ketika ibunya masih hidup.

FLASHBACK

Tiga tahun yang lalu.

Ceklek!

Seorang wanita paruh baya membuka knop pintu dengan sisa tenaga yang dimiliki. Wanita yang sering dipanggil dengan nama Nyonya Park itu baru saja pulang dari rumah sakit, tempatnya bekerja setiap hari. Ya, Nyonya Park adalah seorang dokter spesialis syaraf yang cukup terkenal di kota Berlin. Kemampuannya membantu kesembuhan pasien berpenyakit kronis tidak bisa disepelekan. Hampir semua diagnosa dan cara ia menangani pasien tepat sasaran. Ratusan orang yang memiliki penyakit syaraf atau yang berhubungan dengan syaraf sudah berhasil ia bantu kesembuhannya.

“Ibu, istirahatlah sebentar. Aku siapkan air hangat untuk Ibu mandi, ya.” Jiyeon memberikan secangkir teh hangat untuk ibunya tersayang. Ia tahu betapa lelahnya sang ibu saat pulang dari rumah sakit. Pekerjaan ibunya bukanlah pekerjaan ringan, bukan pula pekerjaan yang bisa dilakukan dengan sembarangan.

Dengan semangat, Jiyeon menyiapkan air hangat, pasta gigi, hingga handuk untuk ibunya. “Ibu, apakah Ibu juga memerlukan pakaian ganti yang bisa ku siapkan?”

Jiyeon menghentikan langkahnya menuju kamar ibunya. Ia menoleh ke arah wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu.

“Tidak usah. Ibu bisa menyiapkannya sendiri.”

“Baiklah. Air hangat, pasta gigi, dan handuknya sudah siap. Ibu mandilah dulu. Aku akan menyiapkan makan malam untuk Ibu. Kebetulan tadi siang aku belanja bersama Jaehwan untuk membeli keperluan dapur yang habis.” Jiyeon mendekati ibunya dan membantu wanita itu berdiri. “Ayo, Ibu. Malam semakin larut.”

FLASHBACK END

.....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status