Share

Hubungan Keluarga

Bandara Incheon, Korea Selatan

Author pov

"Bandara ini benar-benar ramai. Seakan tak pernah sepi, malah semakin ramai," gumam seorang gadis berambut hitam sebahu yang berjalan pelan sembari mendorong trolinya. Kepalanya tak berhenti menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat suasana bandara kesayangannya yang selalu ramai.

Bruuukkk!

Tiba-tiba seorang wanita muda tertabrak trolinya yang dipenuhi dua koper ukuran sedang dan dua tas jinjing. Kelihatannya sungguh berat.

"Aw!"

Terdengar suara wanita muda itu mengaduh sakit seraya melihat sikunya yang terasa sakit.

"Maaf, maaf, Nona. Aku sungguh minta maaf."

Park Jiyeon mendongakkan kepalanya, menatap gadis yang tiba-tiba menabraknya dengan troli berat itu. Posisinya yang terjatuh di atas lantai, membuatnya harus mengangkat kepala untuk dapat melihat si pelaku yang sedang meminta maaf.

Gadis berambut hitam itu membuka kacamata hitamnya. Ini merupakan bentuk kesopanan pada orang yang ditabraknya tadi.

"Kau...Yu Nara?" ucap Jiyeon lirih. Ia tak yakin kalau nama yang baru saja diucapkan itu adalah nama gadis yang sepertinya ia kenal.

Gadis penabrak itu mengerutkan keningnya, menyipitkan mata, menajamkan penglihatannya. "Park Jiyeon?"

Jiyeon melongo, heran dan tak percaya. Orang yang menabraknya adalah Yu Nara. Teman SMP nya dulu.

"Ah, maaf, aku benar-benar minta maaf, Jiyeon. Kau tidak apa-apa, kan?" Nara membantu Jiyeon berdiri dan melihat tubuh langsing temannya itu, memeriksa apakah ada luka.

"Aku baik-baik saja. Hanya...sikuku agak linu. Tapi tidak apa-apa." Jiyeon membenahi pakaiannya yang sedikit lusuh akibat terjatuh ke lantai.

Nara mengangkat 2 koper dan 2 tas jinjingnya ke atas troli, menata seperti sedia kala.

"Senang bertemu denganmu lagi, Park Jiyeon. Tapi...maaf karena situasinya benar-benar buruk. Seharusnya kau berhati-hati." Nara masih merasa bersalah pada Jiyeon.

"Ah, tidak apa-apa. Sungguh, tidak ada yang perlu dicemaskan. Tidak ada luka sama sekali." Jiyeon berusaha tersenyum saat bicara pada Yu Nara agar temannya itu tidak terus-menerus merasa bersalah.

Mereka berdua berjalan mencari kolega masing-masing yang mungkin saja sudah sampai di bandara untuk menjemput mereka.

"Yu Nara!"

Terdengar seseorang memanggil Nara dengan suara lantang sekali.

Nara langsung menoleh ke arah sumber suara. "Ish! Kenapa memanggilku dengan suara yang keras sekali," gerutu Nara.

Jiyeon yang mendengarnya terkikik geli. "Itu siapa?"

"Kakakku. Menggelikan sekali dia memanggilku dengan suara seperti itu. Lihatlah! Semua orang menoleh ke arahku." Nara mendengus kesal dan beranjak dari tempatnya pelan-pelan.

Jiyeon mengikuti Nara dari belakang karena mereka belum berpamitan.

Seorang pemuda berbadan jangkung berdiri dengan selembar kertas bertuliskan nama Yu Nara.

"Memalukan!" Nara mengambil kertas itu dan merobeknya. "Suaramu...tak bisakah kau turunkan sedikit volume suaramu, Kak?"

Jiyeon menahan tawa. Ia menutup mulutnya agar tidak kelihatan kalau dirinya menahan tawa.

"Dokter Jiyeon?"

Eh? Jiyeon menatap tak percaya pada kakak Yu Nara. "K, kau...tahu tentang aku?"

"Wah, ternyata benar. Kau sangat cantik dan anggun. Tidak seperti adikku ini." Pemuda jangkung itu melihat Jiyeon dengan ekspresi terpana.

Nara memukul kakaknya. "Hei, apa maksudmu?"

"Kenalkan, aku Yu Hanbin." Kakak Yu Nara mengulurkan tangannya, bermaksud ingin berjabat tangan dengan Jiyeon. "Aku teman Jaehwan."

Deg!

Teman Jaehwan?

"Benarkah? Kau teman Kim Jaehwan?"

Hanbin tersenyum. "Tentu saja. Aku mengetahui tentangmu dari Jaehwan. Ia banyak cerita padaku. Kalian seperti pasangan, selalu bersama-sama. Tapi...kenapa Jaehwan tidak ikut denganmu?"

Baru kali ini Jiyeon kenal dengan pemuda bernama Yu Hanbin. Dia heran, bagaimana bisa Jaehwan mempunyai teman seperti Hanbin?

"Ah, itu...Dia harus menyelesaikan ujiannya dulu sebelum kembali ke Korsel."

.....

Hanbin mengangguk pelan. “Oh, jadi begitu...”

“Oh ya, bagaimana kalau kami mengantarmu pulang, Jiyeon?” Nara antusias sekali membawa Jiyeon dengan mobil mereka dan mengantarnya pulang.

Hanbin tampak sumringah mendengar ide adiknya. Ia juga setuju pada pendapat Nara. “Sini, kopermu ku masukkan dalam bagasi. Sedangkan koper Nara ku masukkan jok paling belakang.” Hanbin pun semangat mengangkat dan memasukkan koper-koper milik kedua gadis itu ke dalam mobil.

Jiyeon yang merasa sungkan, sungguh, tidak enak rasanya jika harus menyusahkan orang lain seperti saat ini. “Mm...sebaiknya aku menunggu ayah atau kakakku saja. Aku benar-benar tidak ingin menyusahkan kalian.”

“Hei, apa yang kau katakan? Tidak ada yang disusahkan. Anggap saja ini adalah bentuk permintaan maaf dariku karena kejadian tadi.” Nara menjelaskan maksud kebaikannya. Ia yang merasa sangat bersalah karena tadi menabrak Jiyeon dengan troli yang super berat. “Ayolah, Jiyeon. Jika kau menolak, aku tidak akan bisa tidur tiga malam.”

Kedua mata Jiyeon terbelalak mendengar kata-kata Nara. Pikirnya, sungguh, kakak beradik ini membuatnya merasa terhibur. Lucu sekali. “Baiklah. Aku ikut kalian.”

.....

Sebuah mobil berhenti di depan rumah mewah dengan dua orang penjaga berseragam hitam di sisi kanan dan kiri pintu gerbang yang tingginya sekitar lima meter. Pagar besi tinggi itu tampak sedikit menyeramkan. Tak berbeda dengan pagar besi yang ada di lembaga pemasyarakatan alias penjara.

Mobil hitam yang ditumpangi tiga orang dari bandara itu, kini menunggu para penjaga membukakan pintunya.

“Maaf, ada perlu apa?” tanya seorang penjaga, sebelum ia membukakan pintu gerbang itu.

Jiyeon membuka jendela mobil dan melihat penjaga itu. “Permisi, kau mengenalku, tidak?” Ia tak yakin bahwa penjaga itu hafal dengan wajahnya, putri kedua pemilik rumah mewah itu. “Aku Park Jiyeon. Apakah ayah dan kakakku di rumah?”

Setelah mendengar pertanyaan dari Jiyeon, barulah penjaga itu sadar bahwa putri bungsu tuan Park sudah tiba di rumah.

“Baiklah, silahkan masuk.” Sesegera mungkin, penjaga itu membuka pintu gerbang yang terbuat dari besi dan dicat warna hitam bak pagar yang ada di penjara.

Mobil keluarga Yu yang ditumpangi Jiyeon melaju pelan memasuki halaman luas nan indah. Taman bunga menghiasi pandangan mereka sejak masuk melewati pintu gerbang. Rumput-rumput yang telah dipotong rapi menambah indah taman di halaman rumah mewah itu. Beragam jenis bunga ditanam dan tumbuh subur. Terdapat kolam ikan Koi asli Jepang yang terletak di bagian bawah pot-pot bunga mawar.

“Wah, luar biasa. Penataan taman dan halaman yang elegan dan asri. Benar-benar bagus.” Nara kagum melihat taman rumah yang seindah milik keluarga Park. Lahan satu hektar hanya untuk membuat halaman dan taman seindah itu. “Taman di rumahmu bagus sekali, Jiyeon. Benar-benar membuatku takjub.”

Jiyeon hanya tersenyum tipis. Ia juga baru melihatnya. Dulu, halaman rumah keluarganya berbeda sekali dengan yang sekarang. Ia akui, taman di halaman itu sangat bagus. Seandainya dulu halaman itu tampak seperti sekarang, mungkin ia akan lebih betah tinggal di sini. Tidak harus pindah ke Jerman bersama ibunya.

Mobil yang dikendarai Yu Hanbin berhenti 50 meter di depan pintu rumah mewah nan elegan milik keluarga Park. Sejenak, Jiyeon menatap rumah itu sebelum dia turun dari mobil.

“Sudah enam tahun aku tidak pulang ke rumah ini. Ada beberapa perbedaan dengan rumah lama yang ku tinggalkan saat itu,” kata Jiyeon lirih. Kedua bola mata bulat itu mulai berkaca-kaca.

Hanbin dan Nara menatap Jiyeon iba. Merekq tidak menyangka kalau Jiyeon tinggal di Jerman selama enam tahun tanpa pulang ke Korsel satu kali pun.

“Turunlah, aku akan membawakan kopermu,” kata Hanbin, memecah keheningan di dalam mobil mewah miliknya itu. Kemudian ia membuka bagasi dan mengeluarkan koper milik Jiyeon.

Jiyeon dan Nara keluar dari mobil.

“Terimakasih atas tumpangannya. Kalian baik sekali. Maaf kalau merepotkan.” Jiyeon masih merasa sungkan atas tumpangan yang diberikan oleh Nara dan kakaknya.

“Hei, jangan seperti itu. Kita adalah teman. Kau temanku sejak SMP. Kau juga selalu baik padaku, Jiyeon. Jadi sudah seharusnya aku baik padamu.” Nara melempar senyum ramah pada Jiyeon. Sedetik kemudian, gadis itu memeluk Jiyeon sebagai tanda pertemanan. “Masuklah! Aku dan kakakku pamit pulang, ya. Semoga lain waktu kita bisa bertemu lagi.”

Jiyeon membalas senyum Nara dan mengangguk pelan. “Terimakasih untuk kalian. Hati-hati di jalan.”

Nara dan Hanbin kembali ke dalam mobil. Mereka pun melambaikan tangan pada Jiyeon.

.....

Park Jiyeon masih berdiri di depan pintu. Putri tuan Park yang cantik itu masih tak percaya bahwa dirinya kini berada di rumah ayahnya yang sudah lama ia tinggalkan. Jiyeon menarik nafas dalam, memejamkan kedua matanya. Sejurus kemudian, ia melangkahkan kaki mendekati pintu rumah berwarna coklat yang terbuat dari kayu.

Ting tong!

Jiyeon memencet bel rumah. Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu dengan pelan.

Ceklek!

Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya nampak berdiri di balik pintu, menatap Jiyeon dengan mata berbinar-binar.

“Nona Jiyeon?”

Jiyeon tidak menyangka bahwa asisten rumah tangga di rumah ayahnya masih tetap sama seperti dulu. “Bibi Han...” ucap Jiyeon lirih. Dengan sigap, Jiyeon memeluk wanita itu. Ya, wanita yang sudah mengasuhnya, merawatnya sejak ia masih bayi.

“Apa kabar, Bibi Han?” tanya Jiyeon seraya melepaskan pelukannya.

Wanita yang dipanggil dengan nama bibi Han itu mengusap airmatanya. “Baik, baik sekali.” Ia mengusap rambut Jiyeon dan menatap gadis cantik itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Kau sudah dewasa, Nona Jiyeon.”

Jiyeon mengangguk. “Ya, aku sudah dewasa. Kini aku kembali agar bisa berkumpul bersama ayah dan kakak. Oh iya, di mana ayah dan kakak, Bi?” tanya Jiyeon yang mulai melangkahkan kaki menyusuri ruang tamu rumah mewah itu.

“Kau mencariku?”

Jiyeon menoleh ke arah seseorang yang tiba-tiba bertanya padanya. “Kak Mina!” Melihat sang kakak yang siap memeluknya, Jiyeon lari untuk segera memeluk gadis cantik berambut pendek yang ia panggil kakak.

“Adikku sudah dewasa. Ah, aku kalah cantik, nih.” Mina menggoda Jiyeon.

“Bagiku kakak yang tercantik,” kata Jiyeon yang masih nyaman berpelukan dengan sang kakak.

.....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status