Pukul 9 malam, suasana RS Diamond Group nampak sepi. Terlebih di lorong lantai satu yang notabennya diisi banyak ruang petinggi RS dan dokter-dokter senior. Seorang wanita bertubuh ideal, langsing dan tinggi semampai, dengan langkah kakinya bak model catwalk terkenal, terlihat lesu dan murung. Lelah, letih, dan kesal, itulah yang dirasakan wanita bernama Park Jiyeon itu.
Langkah gontainya mengundang seorang pemuda yang selalu menjadi prioritas dalam hidupnya, Kim Jaehwan, berlari ke arahnya dan menuntun lengan kurus itu agar Jiyeon bisa berjalan dengan benar.
“Ada apa denganmu?” tanya Jaehwan yang merasa ada sesuatu pada Jiyeon. “Apa yang terjadi di sana?” tanyanya lagi.
Jiyeon hanya menggeleng. Bukan tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi padanya tadi, tapi dia tidak memiliki daya untuk berkata-kata lagi. Wajah cantik itu kini nampak pucat, matanya terlihat cekung, dan terkadang ia memejamkan mata karena lelah.
Melihat kondisi i
Pagi berubah menjadi siang. Suasana sepi yang membosankan membuat Jiyeon harus membolak-balikkan badannya, menemukan posisi tidur yang nyaman untuk tubuhnya. Tidak bisa, dia tidak bisa tidur dengan semudah itu. Pikiran yang masih memikirkan hal-hal lain membuat Jiyeon harus terjaga seorang diri di apartemen Jaehwan.“Aku harus memikirkan cara untuk menghubungi Namju hari ini,” lirihnya. Ia tidak ingin terjebak dalam masalah yang bukan urusannya. Mungkin masalah perusahaan harus didahulukan karena rumah sakit adalah bagian dari perusahaan keluarganya. Jadi, masalah perusahaan adalah prioritasnya saat ini.Baiklah, harus segera selesai, batinnya. Tak lama kemudian, Jiyeon meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas, di samping tempat tidur. Dicarinya nomor ponsel Namju yang sengaja tidak disimpan dalam kontak ponsel itu.Tuuuut! Tuuuut!Jiyeon pun langsung menghubungi Namju dan membuat rencana bertemu dengan laki-laki super licik itu.&l
“Bagaimana rasanya, Kak? Sakit, bukan?” Sebenarnya Jiyeon tidak bermaksud melukai hati Mina. Dia hanya ingin Mina merasakan apa yang saat ini dia rasakan. Kesialan yang menimpa Mina karena perbuatan Namju merupakan kesedihan bagi Jiyeon. Tapi Mina malah memintanya berbaikan dengan Namju dan mendekatinya untuk kepentingan perusahaan. Itu artinya Mina ingin menggali luka lama di hati Jiyeon dengan mempertemukan dirinya dan Lee Namju. Mina hanya memandang ke arah Jiyeon tanpa mengatakan sepatah kata. Dia tahu kalau adiknya juga merasakan sakit yang ia rasakan. Jiyeon adalah satu-satunya adik yang selalu mengerti dirinya. “Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku pamit. Katakan saja padaku kapan dan di mana kalian akan menemui orang itu.” Sesaat kemudian Jiyeon beranjak dari kursi empuk yang didudukinya. Detik terakhir sebelum ia membalikkan badan, dapat dilihatnya ekspresi wajah Mina yang tampak sedih. .... Setelah Jiyeon meninggalkan ruang
“Kafe Lony dekat Busan Tower, jam 10 pagi.”Jiyeon langsung menghentikan langkahnya, menoleh ke arah kanan, mendapati Mina sedang bicara padanya dengan gaya melipat lengan bersilang di depan dada. Ia pun menghela nafas kasar karena di saat lelah malah melihat pemandangan yang membuatnya jenuh.“Tolong, jangan sekarang. Aku sudah lelah,” pinta Jiyeon yang tidak ingin kekesalannya semakin bertambah hanya karena kata-kata Mina. Sejujurnya, ia sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun dan membicarakan apapun karena kondisi tubuh dan psikisnya sedang lemah. “Tolonglah, Kak,” pintanya lagi dengan wajah seperti kertas kusut.Mina melangkah mendekati Jiyeon yang berdiri tepat di depan pintu. “Katakan saja itu pada Lee Namju. Aku akan menunggunya di sana.”Ternyata yang diucapkan Mina tadi adalah lokasi dan waktu yang dia tentukan untuk bertemu dengan Park Siwoo. Jiyeon hanya mengangguk paham dan segera melangkah
Berlin, Jerman 2021 Hari ini bukanlah hari Senin biasa. Seorang wanita muda tengah menunggu hari ini sejak lama, lebih dari tiga tahun. Ya, Park Jiyeon – putri pengusaha kaya asal Korea Selatan telah menyelesaikan kuliahnya di Jerman dengan jurusan kedokteran hingga program S2 Spesialis jantung. Jiyeon merupakan salah satu mahasiswa teladan dengan nilai IP kumulatif Cumlaude yang membuat dirinya menjadi pusat perhatian di saat wisuda kelulusan. Siapa yang tidak mengenalnya? Jiyeon gadis tercantik di jurusan kedokteran dengan kecerdasa di atas rata-rata. Tubuhnya yang langsing, mata khas Asia, hidung mancung, bibir tipis yang seksi, dan rambut panjang berwarna coklat yang sering ia biarkan berjuntai menutupi punggungnya. Ia berdiri di balik jendela apartemennya yang dihiasi tirai berwarna putih transparan. Sembari menikmati pemandangan kota Berlin untuk yang terakhir kalinya, ia menyeruput kopi latte yang dibuatnya sen
Bandara Incheon, Korea Selatan Author pov "Bandara ini benar-benar ramai. Seakan tak pernah sepi, malah semakin ramai," gumam seorang gadis berambut hitam sebahu yang berjalan pelan sembari mendorong trolinya. Kepalanya tak berhenti menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat suasana bandara kesayangannya yang selalu ramai. Bruuukkk! Tiba-tiba seorang wanita muda tertabrak trolinya yang dipenuhi dua koper ukuran sedang dan dua tas jinjing. Kelihatannya sungguh berat. "Aw!" Terdengar suara wanita muda itu mengaduh sakit seraya melihat sikunya yang terasa sakit. "Maaf, maaf, Nona. Aku sungguh minta maaf." Park Jiyeon mendongakkan kepalanya, menatap gadis yang tiba-tiba menabraknya dengan troli berat itu. Posisinya yang terjatuh di atas lantai, membuatnya harus mengangkat kepala untuk dapat melihat si pelaku yang sedang meminta maaf. Gadis berambut hitam itu membuka kacamata hitam
Jiyeon pov Rumah ini bentuknya memang sama seperti dulu, sebelum aku dan ibu pergi dari sini. Aku berharap suasana di rumah ini tidak sepi seperti makam. Tapi ternyata, aku merasa begitu kesepian di sini. Meskipun ada kak Mina dan bibi Han. Pagi ini bibi Han membuatkan sarapan nasi goreng dengan sosis bakar dilumuri saos sambal dan mayones. Lembut sekali ku rasakan makanan itu di lidahku. Justru makanan masakan bibi Han ini yang membuatku hangat di rumah sebesar istana presiden ini. Mungkin karena dua tahun aku sama sekali tidak merasakan masakan rumah. Ya, sejak ibuku meninggal, aku tidak pernah lagi makan masakan rumah. Ya Tuhan... Tiba-tiba aku teringat ibu. Masih sangat jelas di ingatanku saat ibu menyiapkan sarapan untukku sewaktu kami di Jerman. Masa-masa itu tidak akan terjadi lagi. Aku...tidak bisa bertemu ibu lagi. Suasana di ruang makan yang begitu hening membuat lamunanku bebas terbang ke manapun. Memori itu terputar kembali. Ketika ibu memutuskan
Tap! Tap! Tap! Suara langkah Jiyeon terdengar hingga radius 10 meter. Ia berjalan mencari ayahnya di ruang makan yang terletak tepat di dekat tangga. Ayah tersayangnya sedang duduk di kursi dan menyantap makan malam itu. Jiyeon ingin mendekati dan mengatakan kepada ayahnya bahwa air hangat sudah siap digunakan untuk mandi. Tapi sejurus kemudian, ia memilih diam. Membungkam mulutnya karena pada saat ia tiba di ruang makan, ayah dan kakaknya, Mina, sedang membicarakan sesuatu yang serius. Jiyeon mendekati meja makan dengan langkah pelan. Supaya tidak mengganggu mereka berdua yang tengah serius membahas masalah perusahaan. “Jika bukti sudah ada di tangan kita, untuk apa lagi menundanya, Ayah?” Mina tampak sedikit emosi saat membahas masa depan perusahaan dengan ayahnya. Tuan Park terlihat santai sambil menikmati sushi yang tertata rapi di atas piringnya. Sedangkan Jiyeon, duduk dan diam di kursi bagian pojok seraya memperhatikan dua anggota keluarganya.
Keesokan hari. Jiyeon sengaja bangun jam enam pagi untuk menyiapkan sarapan bersama bibi Han di dapur kesayangan wanita yang mengasuhnya sejak masih bayi itu. Jiyeon membantu bibi Han menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak makanan. Ia biasa melakukan pekerjaan seperti itu saat masih tinggal di Jerman, tentunya bersama ibu tercinta ketika mendiang masih hidup. Jiyeon meminta bibi Han untuk tidak sungkan padanya. Jika membutuhkan sesuatu, bibi Han panggil saja Jiyeon. Pasti gadis itu akan datang membawakan sesuatu yang diminta. Sayur mayur telah disiapkan, daging sapi telah diiris sesuai kebutuhan bibi Han, bumbu-bumbu disiapkan juga oleh Jiyeon sehingga bibi Han semakin mudah dan cepat menyelesaikan tugas memasak di dapur. Bibi Han sendiri sangat menyayangi Jiyeon seperti putri kandungnya. Sedari kecil, Jiyeon adalah gadis yang ringan tangan. Dia suka membantu siapapun selagi dia bisa melakukan pekerjaan itu. Sudah lama bib