“Ayolah, Kas!” Sudah setengah jam Arya membujuk Kasih, agar mau membawanya menjenguk Harry di rumah sakit, tetapi wanita itu masih bergeming. Berulang kali Kasih menolak, karena keluarganya memang sudah tidak ingin lagi bertemu Arya.
Sejak kejadian dua tahun yang lalu, Harry telah memutuskan semua hubungan dengan Arya. Namun, Harry tetap berhubungan dengan keluarga Arkatama yang lain untuk menghormati Lee, serta Gemi.
“Arya, jangan maksa.” Kasih berdecak. Memberi pria itu rungutan sebal.
“Kas, ini mungkin satu-satunya kesempatanku bicara sama papa.”
Kasih kembali berdecak dan menghempas dokumen di tangannya di meja kerja. Kalau tahu begini, ia tidak akan menerima kedatangan Arya di ruangannya. “Ar, kamu itu sudah dilarang manggil papa, sama papaku. Jadi, nggak usah sok-sokan mau akrab.”
Mengingat perbuatan Arya pada Cita, darah Kasih bisa tiba-tiba mendidih dibuatnya. Namun, ketika Kasih mengingat usaha Arya untuk bertemu Cita selama ini, ia bisa terharu seketika. Memang serba salah, tetapi Kasih tetap teguh pada pendiriannya karena Cita dan keluarga sang papa, tidak mau bertemu lagi dengan pria itu.
“Aku nggak akan bela diri, Kas.” Arya hanya ingin bicara baik-baik dengan Cita dan meminta maaf atas semua kesalahan yang diperbuatnya. “Aku juga sudah nggak minta kalian percaya sama aku. Tapi, tolong kasih aku kesempatan, Kas! Aku mau ketemua papa sama mami dan minta maaf. Aku mau—”
“Ar!” Kasih semakin sebal dibuatnya, karena Arya sama sekali tidak mau mengerti dengan situasi yang dihadapi saat ini. “Papaku sakit, tapi kamu mau bawa-bawa masalah dua tahun lalu? Kamu masih waras?”
Arya menggeleng cepat. Ia segera berdiri, begitu melihat Kasih beranjak dari meja kerjanya. Sambil mengikut Kasih dan menyamakan langkah wanita yang keluar dari ruang kerjanya itu, Arya berujar, “kalau begitu, aku cuma mau jenguk. Aku janji nggak bakal bahas masa lalu. Aku … aku mau buka lembaran baru, Kas! Aku nggak bisa terus-terusan hidup kayak gini!”
“Salahmu, sendiri.” Kasih mengeluarkan ponsel dari saku blazernya dan segera menelepon seseorang. Sambil menunggu panggilannya tersambung, Kasih masih terus mengomeli Arya.
“Tolonglah, Kas—”
“Halo, Ndut.” Kasih kembali memberi decakan kesal pada Arya, yang ikut masuk ke dalam lift. “Aku otewe ke rumah sakit. Kirimin makanan, ya! Tiga. Buat papaku bubur aja. Makasih, Ndut Sayang. Bye!”
Setelah mendengar jawaban di ujung telepon, Kasih mengakhiri panggilannya dan kembali harus menghadapi Arya.
“Arya Sayang, papaku sama tante Sandra, belum tentu mau nerima kamu.” Kasih menyimpan kembali ponselnya di saku blazer. Namun, begitu teringat sesuatu, ia kembali mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang.
“Waktunya juga nggak tepat!” lanjut Kasih sambil menunggu panggilannya tersambung. “Coba tunggu sampai papaku sembuh, baru kamu datang temui beliau.”
“Justru—”
“Abaaang!” Kasih menyela Arya karena panggilannya sudah terhubung dengan seseorang di ujung sana. “Aku otewe rumah sakit. Ketemu di sana, ya! Bye!”
Arya melirik dan menggeleng melihat kebiasaan Kasih yang satu itu. Wanita itu selalu saja menelpon dengan singkat dan mengakhirinya dengan sepihak. “Kas, please, Kas. Bantuin aku sekali ini aja.”
Kasih menghela panjang, sekaligus tidak tega. “Kamu, tuh, ya! Harusnya manggil aku … kakak, mbak, atau ibu sekalian! Dahlah, ikut aku ke rumah sakit, tapi jangan salahin aku kalau kamu diusir! Lagi, dan lagi!”
~~~~~~~~~~~~~~~
“Usir aja, Kak.” Cita berujar datar. Membalik kursi rodanya lalu merapat ke jendela. Hati Cita benar-benar beku. Ia tahu pasti, Arya terkadang masih bolak balik ke Singapura hanya untuk menemuinya.
Namun, Cita sungguh sudah patah arang. Luka yang dialaminya sudah menumpuk dan tidak ada lagi kata maaf yang tersisa. Bahkan, Arya sudah di blacklist dari gedung apartemen yang ditinggalinya di Singapura, sehingga pria itu tidak lagi bisa masuk dengan bebas seperti dahulu kala.
“Bilang ke Arya, kalau dia sudah nggak diterima lagi di keluarga Lukito,” tambah Cita sambil mengepalkan kedua tangan dengan erat.
“Pa?” Kasih menatap Harry dalam kebimbangan. Sejak awal, Kasih memang sudah memberi peringatan pada Arya, tetapi pria itu tetap gigih dengan pendiriannya.
“Biar Tante yang temui dia, Kas.” Sandra mengusap lengan Harry dan mengangguk. Bergegas pergi ke luar ruang rawat inap, untuk bertemu mantan menantu keduanya.
Setelah sekian lama tidak bertatap muka, akhirnya di sinilah Sandra. Kembali bertemu dengan Arya, yang tampak terlihat dewasa dari terakhir mereka bertemu.
“Mami.” Arya segera berdiri dari duduknya, tetapi tidak melangkah ke mana pun. “Boleh saya jenguk—”
“Tolong jangan panggil saya dengan sebutan mami lagi, Ar.” Sandra menghampiri Arya, lalu duduk di bangku tunggu dengan helaan. “Saya nggak benci sama kamu, tapi, tolong mengerti dengan situasinya. Ada luka yang masih harus terus diobati, terutama Cita.”
Arya jadi serba salah. Kemudian, ia kembali duduk dan menatap Sandra dengan penuh rasa sesal. Arya tidak akan lagi membela diri, karena semua pasti sia-sia belaka.
“Apa boleh, saya jenguk om Harry, Tante?” Tujuan Arya hanya satu, yakni bertemu Cita. Untuk itulah, bagaimanapun juga Arya harus bisa mendekati Harry. Ia tidak akan berharap banyak untuk pertemuan kali ini. Paling tidak, Arya ingin menunjukkan rasa empatinya dengan menjenguk pria yang pernah membantunya dalam berkarir.
“Maaf, tapi lebih baik nggak usah,” tolak Sandra tanpa menoleh, tetapi tidak menunjukkan amarah apa pun. “Dan sekali lagi saya minta tolong, jangan pernah datang lagi. Jauhi keluarga kami dan anggap kita nggak pernah saling mengenal.”
“Tante, saya—”
“Luka Cita sudah terlalu banyak, Ar.” Sandra menoleh dan menggeleng pelan. “Jadi tolong mengerti dan pergilah, karena kamu sudah nggak diterima dalam keluarga ini lagi. Saya, permisi.”
“Ada Arya dimmpp …”Kasih buru-buru menutup mulut Duta, agar pria itu tidak meneruskan ucapannya. Mata Kasih melotot dan menggeleng samar, sambil meraih kantong plastik yang dibawa pria itu.“Diam,” desis Kasih kemudian melepas tangannya ketika Duta mengangguk-angguk. “Ayo masuk!”Duta menggeleng. “Aku mau ke—”“Masuuuk!” Kasih meraih tangan Duta dan menyeret pria itu ke dalam ruang rawat inap yang ditempati Harry. “Nggak sopan banget jadi anak.”“Kas—”“Masih ingat Duta, kan, Pa?” Kasih melepas tangan Duta. Mendorong pelan pria itu ke arah Harry. “Ini si Ndut yang dulu aku ceritain suka ngabisin makananku waktu SD.”Sandra melihat Pria yang tersenyum canggung pada Harry, sembari mengulurkan tangan kanannya. Ia bingung, mengapa Kasih memanggil pria itu dengan sebutan “ndut”, padahal tubuh pria yang bernama Duta cukup proporsional.“Saya Duta, Om.” Duta mencium tangan Harry dengan sopan, berikut dengan Sandra setelahnya. Ketika masih berada di sekolah dasar, Duta terkadang melihat Harr
“Mami aja yang pulang,” ujar Cita kembali berdebat dengan Sandra, perihal, siapa yang akan menemani Harry di rumah sakit malam ini. Karena kemarin malam Kasih yang berada di rumah sakit, maka malam ini Cita ingin menemani papanya. “Biar aku yang di sini temani papa.”“Apa kata orang, kalau Mami ninggalin papa, sama kamu?” Sandra menunjuk kursi roda Cita yang berada di samping jendela. “Kamu masih “lumpuh”, kan?”Sandra sampai angkat tangan karena ulah putrinya. Ia tidak akan mau berdebat lagi mengenai hal tersebut, karena Cita begitu keras kepala. Sandra hanya ingin lihat, sampai sejauh mana Cita sanggup bertahan dengan pendiriannya.“Tapi aku—”“Kamu yang pulang, Cita.” Harry bersuara dan ada di pihak Sandra. “Mamimu benar, apa kata orang kalau papa dijaga sama anak perempuannya yang juga masih sakit?”Cita berdecak pelan. Kedua orang tuanya benar-benar kompak menyudutkannya.“Nggak ada orang di rumah.” Bukan hanya tidak ada orang, tetapi kediaman Lukito yang sangat megah itu, juga m
“Maaf, ya, Mas, kalau ngerepotin.”Sebenarnya, Cita kasihan melihat Nando. Pria itu selalu baik dan tampak masih berharap pada Cita. Sementara itu, Cita tidak lagi berminat menjalin hubungan dengan siapa pun, karena masa lalunya.Cita … hanya tidak sanggup jika harus kembali mengalami satu luka lagi di masa depan. Karena Cita akhirnya mengerti, setiap hubungan pasti dihadapkan dengan ujiannya masing-masing. Karena itulah, Cita tidak ingin lagi menjalin hubungan romantis dengan siapa pun.“Kamu nggak ngerepotin.” Nando menatap Cita yang berada di sebelahnya. Mereka sedang berada di dalam lift, bersama seorang bellboy yang tengah membawa satu buat tas miliki Cita.Mengapa Pras bisa menyimpulkan, Cita sebenarnya sudah bisa berjalan?“Harusnya, kamu kasih kabar kalau mau datang ke sini,” tambah Nando.Cita mendongak dan tersenyum. “Aku sama mami sudah panik duluan waktu dengar papa masuk rumah sakit. Jadi, sudah nggak mikirin yang lain-lain.”Begitu lift berdenting dan sampai pada lantai
“Sebenci itukah, kamu sama Arya, Cita?” Duta baru melempar pertanyaan, ketika mereka sudah berada di lift. Melihat bagaimana Cita menatap dingin pada Arya, Duta merasa luka yang diderita gadis itu masih menganga lebar.Cita menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya dengan mata terpejam. Merasakan perih yang teramat sangat, ketika kembali mengingat semua kejadian yang ada.“Kak Kasih, pesan makanan lagi?” Cita menunjuk kantong plastik di tangan Duta dan mengalihkan pembicaraan mereka.Duta tahu, Cita saat ini tidak ingin membicarakan Arya. “Papamu nggak mau makan makanan rumah sakit lagi.”“Tapi.” Cita menggaruk kepala. “Kenapa Kak Duta yang ngantar? Emang nggak ada kurir? Terus, restorannya sudah buka sepagi ini?”“Aaa.” Duta bingung, pertanyaan mana yang harus dijawab lebih dulu. “Restoran buka jam 10. Ini karena Kasih yang pesan, jadi, aku yang masakin di rumah, sekalian pergi ke restoran habis dari sini.”“Ooo …” Kasih kembali melihat kantong plastik yang dibawa Duta. “Itu … cuma
“Apa kabarnya Pandu?” Cita tersenyum miring menatap hamparan gedung ibukota, dari jendela kamar inap Harry. Kedatangan David pagi tadi ke rumah sakit, mendadak mengingatkan Cita perihal mantan suami pertamanya. Pria yang menyulut banyak luka, hingga banyak kehilangan yang Cita derita. “Apa masih betah amnesia sampai sekarang?”“Mamimu … juga ngasih pertanyaan yang sama, sama pak David,” ujar Harry setelah menelan bubur yang disuapkan oleh Sandra.“Semarah-marahnya Mami sama Arya, tapi Mami masih bisa toleran sama dia.” Sandra sebal sendiri jika mengingat ulah keluarga mantan besannya dahulu kala. “Apalagi keluarga Arya dari awal memang baik, juga tulus. Tapi kalau pak David sama keluarganya, hiiiih, Mami itu pengen! CK!” Saking tidak bisa berkata-kata lagi, Sandra akhirnya menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri sendiri, lalu kembali menyuapi Harry.“Lagian, Papa masih aja mau nemui pak David,” celetuk Cita lalu beralih menuju sofa. “Harusnya nggak usah. Bilang kalau Papa
“Apa? Cita … sudah bisa jalan?”Sandra menelan ludah dan menoleh dengan amat perlahan. Berharap, pendengaran Sandra kali ini, salah. Namun, tidak.“Bu … Gemi.”“Apa Cita beneran sudah bisa jalan?” Gemi berhenti di samping Sandra, lalu mengangguk singkat pada Nando.Sandra gelagapan. Ia bingung dan tidak tahu harus memberi penjelasan seperti apa. Tidak mungkin Sandra berbohong, karena Gemi pasti sudah mendengar sedikit ucapannya pada Nando. Namun, bila Sandra mengatakan sejujurnya, Cita pasti akan marah kepadanya.“Bu Sandra,” tegur Gemi, karena mantan besannya itu hanya terdiam dan tampak sedikit panik. Gemi semakin curiga, Cita memang sudah bisa berjalan dan hal tersebut sudah terjadi sejak lama. Namun, keluarga Lukito sengaja menyembunyikannya. “Apa betul, Cita sudah bisa jalan?”“Emm.” Sandra kembali menelan ludah. Ia tersenyum canggung, lalu berdiri. Arya pasti menghubungi Gemi dan meminta ibunya datang untuk bicara dengan Sandra. “Bu Gemi di Jakarta? Ke sini sama siapa?”Gemi mem
“Jadi yang dibilang Leoni betul!” Arya mondar mandir di hadapan Gemi, sambil mengacak-acak rambutnya. Ternyata, selama ini Cita sudah bisa berjalan dan hanya berpura-pura lumpuh di depan semua orang. Bahkan, Kasih juga tidak tahu menahu tentang hal tersebut.“Firasat pak Pras yang betul,” Gemi meluruskan, berdasarkan cerita Leoni ketika menelepon. Mungkin, Pras melihat satu kejanggalan ketika menjenguk Harry di rumah sakit. Oleh sebab itu, Pras berani berasumsi demikian.“Terus sekarang gimana, Ma?”“Seka … halooo cucu Oma.” Gemi melebarkan kedua tangan, saat melihat cucunya berlari ke arahnya. Menjeda obrolannya dengan Arya sebentar, karena gadis kecil yang manja itu akan segera tidur sebentar lagi. “Sudah mau bobok?”Gadis kecil yang kerap disapa Caca itu mengangguk. “Bobok sama Oma.”Gemi kemudian menangkup wajah mungil cucunya, lalu memberi ciuman dengan gemas. “Sama mama dulu, soalnya oma mau bicara sama om Arya.”Sambil mengerucutkan bibir mungilnya, Caca menatap Arya. “Jangan l
“Yakin, tetap mau ada di kursi roda?” Kasih membungkuk dan bicara tepat di telinga Cita, dari belakang. Sedikit memberi provokasi, Kasih rasa tidak mengapa. Cita harus membuka mata, bahwa selama ini gadis itu hanya menyiksa diri sendiri. “Mereka senang-senang, tapi kamu masih sibuk miara sakit hati … sendirian.”“Aku …”Kasih buru-buru memutar kursi roda Cita agar menghadapnya. Kemudian, ia mengambil gelas di tangan Cita dan meletakkannya di meja bar. Setelahnya ia berjongkok dan tersenyum. “Cita, kami semua sayang sama kamu dan cuma pengen kamu hidup bahagia. Sekarang aku tanya, apa selama ini kamu bahagia?”Kasih melirik sebentar pada kedua orang yang sudah mendapatkan meja dan duduk di sana. “Jawab jujur!”“Kak …” Cita tidak bisa mengungkapkan perasaannya saat ini.“Kamu yang datangi mereka, atau aku?” Kasih kembali menekan Cita.Cita sedikit memutar kursi rodanya. Tatapannya berlari ke area resto, untuk mencari kedua orang yang telah dililhatnya. Saat menemukan mereka, Cita kembal