Share

Cinta Cita
Cinta Cita
Author: Kanietha

Cinta Cita ~ 1

“Sampai kapan, kamu mau terus-terusan di kursi roda?”

Cita mengerucutkan bibir dan mengendik menanggapi Sandra. Entah sudah berapa kali Cita mendengar sang mami mengucapkan hal tersebut, tetapi ia tetap pada pendiriannya. Cita tidak ingin orang-orang tahu, dirinya sudah bisa berjalan kembali seperti semula.

Bahkan, saat Cita terpaksa menginjakkan kaki kembali ke Jakarta, ia masih tetap konsisten dengan pendiriannya.

“Kamu itu masih muda, Cita,” lanjut Sandra sambil terus mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya. “Kamu nggak akan bisa menikmati hidup, kalau terus-terusan keras kepala seperti sekarang.”

Cita memalingkan wajah. Melihat deretan gedung pencakar langit yang semakin banyak dan beragam di Jakarta. Hampir dua tahun lamanya, Cita meninggalkan tempat kelahirannya dan akhirnya hari ini ia kembali. Jika saja Harry tidak jatuh sakit dalam kunjungannya ke Jakarta dan masuk rumah sakit, Cita pasti tidak akan mau kembali ke kota yang mengingatkannya dengan masa lalu.

Pandu …

Arya …

Kedua pria itu, telah menoreh luka yang tidak akan pernah Cita lupakan.

“Mami.” Cita akhirnya berbalik, lalu berjalan menghampiri Harry yang berbaring di ranjang pasien. “Papa lagi sakit, tapi Mami terus aja ngomel-ngomel dari tadi.”

Sandra menghela. Meletakkan ponselnya di samping tangan Harry dan menatap putrinya. “Sayang, kamu berhak bahagia, jadi buang kursi roda itu dan jalani hidupmu seperti orang-orang di luar sana.”

“Papa setuju dengan Mami.” Dengan napas beratnya, Harry akhirnya berkomentar. “Apa untungnya kamu ngotot ada di kursi roda dan tetap pura-pura lumpuh seperti sekarang? Andai keluarga Pandu atau Arya tahu—”

“Papa nggak tahu rasanya jadi aku.” Cita berbalik dan kembali berdiri di samping jendela kaca kamar VVIP, yang ditempati Harry. “Aku mau keluarga Atmawijaya tetap ngerasa bersalah seumur hidupnya. Begitu juga dengan Arya.”

Sandra menggenggam tangan Harry dan menggeleng pelan. Sejak berpisah dengan Arya, Cita semakin keras kepala. Fisik putrinya memang sudah pulih seperti dahulu kala, tetapi untuk mental serta sifat, Cita berubah 180 derajat. Terlebih lagi, saat Cita memutuskan untuk tidak lagi melakukan konseling dengan psikolognya.

Semua benar-benar berubah.

“Dan apa untungnya buat kamu?” Harry melempar pertanyaan untuk mendebat putrinya. “Sekarang Papa tanya lagi, apa kamu bahagia dengan masih pura-pura lumpuh seperti sekarang?”

“Ya!” Cita berseru dan berbalik. Ia kembali menduduki kursi rodanya, guna menunjukkan kesungguhannya. “Aku bahagia, Pa! Aku bahagia, waktu dengar orang-orang itu masih ngerasa bersalah dengan semua yang sudah terjadi. Seenggaknya, masih ada orang di keluarga mereka yang menanggung beban dan rasa bersalah itu seumur hidupnya!”

Sandra menarik napas dan sudah tidak bisa berkata-kata atas sikap putrinya. Sandra memang tidak bisa menyalahkan Cita, karena cobaan yang dialami putrinya sungguh luar biasa. Bukan hanya Cita yang belum bisa memaafkan keluarga Atmawijaya, serta Arya, tetapi Sandra pun sama.

Andai saja waktu bisa diulang, Sandra pasti akan menentang perjodohan yang dilakukan oleh Harry kala itu. Karena dari situlah, semua masalah tercipta.

“Sampai kapan?” Sebenarnya, Harry cukup lelah dan ingin beristirahat. Namun, melihat putrinya yang masih saja keras kepala, sepertinya Harry harus mencari jalan keluar secepatnya. Jika tidak, Cita akan terpuruk dalam kebencian semakin dalam. “Percaya sama Papa, hidupmu nggak akan pernah tenang kalau terus-terusan memendam kebencian.”

“Cita, kita bisa konseling lagi,” timpal Sandra menginginkan putrinya yang dahulu kembali lagi. Sandra benar-benar merindukan Cita yang dulu. Cita yang menyenangkan dan selalu ceria dalam kondisi apa pun. “Kita bisa—”

“Aku nggak mau, Mi,” tolak Cita tegas. “Mau ratusan kali datang ke psikolog juga percuma, karena aku memang nggak ada niat untuk berubah. Aku benci! Aku sakit hati! Dan mereka juga harus …”

Napas Cita tiba-tiba memburu dan ia tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Semua bayang luka di masa lalu kembali berkelebat di kepala dan tangisnya mendadak pecah. Berawal dari pemerk0saan, penculikan, kecelakaan, keguguran, sampai pengkhianatan yang pernah dialami Cita, tiba-tiba saja berputar di ingatan.

Emosi Cita yang masih tidak stabil itulah, yang terkadang membuatnya tidak mampu mengendalikan diri.

“Sayang!” Sandra buru-buru berdiri menghampiri putrinya. Ia berlutut di depan Cita, lalu membawa gadis itu ke dalam pelukan. “Berdamailah dengan dirimu sendiri, Cita. Rasa benci yang kamu bawa selama ini, nggak akan ada gunanya. Karena orang yang paling sakit, itu adalah kamu sendiri.”

Cita terus saja menangis, karena dadanya terlampau sesak, penuh dengan kebencian. Bagaimana bisa berdamai, bila luka yang mengendap sudah terlalu banyak dan menumpuk?

Memaafkan memang sangat mudah diucapkan. Bahkan, Cita bisa mengatakan hingga ribuan kali. Akan tetapi, luka yang sudah tertoreh tidak akan bisa terlupakan begitu saja.

“Dadaku sakit, Mi,” rintih Cita di pelukan Sandra. “Sakiiit.”

“Say—”

“Aku punya salah apa sama mereka, Mi? Salahku apaaa …”

Karma …

Bagi Sandra, luka yang dialami putrinya adalah sebuah hukuman yang juga harus ia terima. Tidak ada yang bisa Sandra lakukan, kecuali pasrah dan terus berdoa untuk kebahagiaan Cita di masa depan. Andai bisa, biar Sandra sajalah yang menanggung semua rasa sakit itu untuk Cita. Biarlah Sandra saja yang menanggung beban yang dipikul putrinya.

“Maafkan, Cita.” Air mata Sandra pun mulai berlinang. Sambil mengusap punggung Cita, Sandra berkata, “Maafkan mereka semua dan lanjutkan hidupmu, Sayang. Karena kebencian, cuma bisa membunuhmu. Dan Mami nggak mau, kamu—”

“Nggak bisa …” isak Cita tetap dengan keras kepalanya. “Aku nggak mau …”

“Sayang.” Sandra melepas rangkulannya, lalu menyangga wajah basah Cita. Dengan perlahan, Sandra mengusap linangan air mata yang masih berada di wajah putrinya. “Kamu sama aja menyiksa dirimu sendiri, kalau terus-terusan se—”

“Permisi …”

Suara yang selalu terdengar riang itu, membuat Cita mengusap wajahnya hingga berkali-kali. “Kak Kasih ke si—”

“Cita!” Kasih menutup pintu dan segera menghampiri adiknya, sembari menggigit bibir bawahnya. Saat melihat wajah sembab Cita, Kasih pun menatap Harry dan menggeleng. Ia bingung, karena situasi saat ini benar-benar di luar dugaan.

“Kenapa, Kas?” tanya Harry curiga melihat ekspresi putrinya yang resah, setelah terkejut melihat Cita ada di Jakarta. 

“Aku nggak tahu kalau Cita datang.” Kasih hanya memberi anggukan kecil pada Sandra. “Aku kira cuma tante Sandra doang, Pa.”

“Memangnya … ada apa, Kas?” Sandra yang sudah beranjak dari hadapan Cita, kembali duduk di samping Harry.

“Di luar …” Kasih menatap Cita dengan serba salah. Ia sempat mengira, Cita tidak akan datang ke Jakarta karena kondisinya yang masih di kursi roda. Namun, dugaan Kasih ternyata salah.

“Di luar kenapa?” tanya Harry.

“Di luar ada …” Kasih menggeleng menatap Harry. “Arya …

~~~~~~~~~~~~~

Akhirnya ~~ kita ketemu lagi sama Cita … 

Comments (9)
goodnovel comment avatar
Yuli Idham
emang kisah sebelum nya judul nya apa,,aku kok blm baca ya........
goodnovel comment avatar
anggreni yulia
Welcome back citaaaaaa
goodnovel comment avatar
yenyen
akhirnyaaaa dia launching juga
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status