Share

Cinta Istri Berbuah Luka
Cinta Istri Berbuah Luka
Penulis: Ciety Ameyzha

Kehamilan Niken

"Selamat atas kehamilan istri Anda, Pak. Mohon untuk dijaga baik-baik kesehatan dan janin yang baru saja berusia empat minggu ini." Dokter perempuan memberikan selamat serta beberapa pesan pada Naufal, lelaki yang berdiri di samping Niken–istri keduanya.

Aruna–istri pertama- terdiam. Ada beberapa pertanyaan dalam benaknya, tetapi tidak berani berbicara.

Naufal langsung memeluk penuh cinta Niken. Bahkan, ia sendiri lupa akan kehadiran Aruna.

Selepas kepergian dokter, Niken masih saja mual. Aruna merasa kasihan, ia dengan sigap menjaga dan merawatnya. Memijat kepala istri kedua dari sang suami. Mungkin memang Niken membawa luka. Namun, sebagai seorang perempuan, tentunya Aruna tidak tega. Terlebih, di perut perempuan itu ada calon anak suaminya.

Kabar kehamilan Niken sampai ke telinga kedua orang tua Naufal. Jelas saja mereka bahagia dan langsung datang ke rumah dengan membawa banyak makanan yang mungkin disukai oleh Niken.

"Ibu, tidak mau melihat kamu kelelahan. Jadi, jangan melakukan pekerjaan rumah apa pun!" Bu Mila –ibunya Naufal– memperingati Niken. Ini untuk kebaikan istri kedua anaknya juga.

Pak Arya–ayahnya Naufal–sendiri sedang berbicara dengan Naufal di balkon kamar utama tentang adiknya Naufal yang kini tinggal di luar negeri. Dzaki, namanya.

Sementara itu, Aruna sendiri berdiri di depan Niken dan Bu Mila. Mendengarkan segala perhatian penuh cinta yang tidak pernah ia dapatkan selama ini. Aruna tersenyum kecil, menyembunyikan luka dalam di balik sorot mata teduh.

Bu Mila menoleh ke belakang. Kini pandangannya begitu tajam pada Aruna. Telunjuk kanan menuding, layaknya pada pelayan. "Kamu!" Suara Bu Mila begitu tegas. Telinga siapa pun yang mendengar akan paham jika Bu Mila memang tidak menyukai Aruna.

Aruna mengangguk pelan. "Iya, Bu."

"Jaga menantu dan calon cucu saya. Jangan sampai Niken kelelahan atau melakukan pekerjaan rumah. Kamu harus merawatnya dengan benar. Kalau tidak, saya sendiri yang akan menghadapimu!" tegas Bu Mila. Tangannya turun.

Dada Aruna naik turun. Begitu hinakah perempuan yang tidak bisa memberikan keturunan di mata orang lain? Rasanya sesak itu kian terasa, bahkan kini semakin sulit mengambil napas. "Insyaa Allah, Bu." Kedua bibir Aruna masih menjawab dengan lembut.

Niken melirik sekilas Aruna. Kemudian, berujar, "Bu, Kakak itu baik, kok. Dia merawatku dari tadi." Niken kasihan melihat Aruna.

Bu Mila kembali memusatkan pandangan pada Niken. Mengelus perut istri kedua anaknya itu dengan posisi Niken berbaring. "Sayang, dia itu memang harus ada gunanya di sini. Lima tahun menikah, tapi belum punya anak. Lihat dirimu! Sebulan saja langsung memberikan Ibu cucu." Ekor mata kanan Bu Mila melirik sinis Aruna. Biarkan saja perempuan yang dimaksud mendengarkan dengan jelas. Bu Mila tak peduli. Tentu bagus agar Aruna bisa sadar diri akan kelemahannya.

Aruna memilih meninggalkan kamar. Tidak baik untuk kesehatan mental. Aruna keluar, menutup pintu dengan perlahan. Sebulan terakhir adalah hari-hari paling berat. Perempuan itu mengelus dada sambil berkata, "Insyaa Allah, kuat. Aku cuma harus lebih berdamai dengan keadaan dan ikut bahagia atas kehamilan Niken." Aruna diam sejenak, menenangkan diri. Kemudian, membuka mata lagi. Mengatur napas supaya sesak di dada bisa berkurang. "Sebaiknya aku fokus ke kesehatan Niken. Anak itu pun akan menjadi anakku, nantinya."

Aruna segera turun dari lantai dua. Membereskan sisa sarapan yang belum sempat dimakan karena terjeda kejadian Niken. Perempuan dengan hijab merah juga gamis hitam itu pun terus membersihkan dapur dan menyimpan sisa sarapan. Barangkali suaminya akan meminta lagi.

Sekitar lima menit di dapur, tepatnya ketika Aruna sedang mencuci piring, Naufal datang. Menghampiri Aruna dan berkata, "Aku harus pergi ke luar kota besok hari. Aku harap kamu bisa menjaga Niken. Ingat baik-baik, di dalam perut istri keduaku itu ada calon anakku!"

Kedua tangan Aruna berhenti. Suara Naufal begitu dekat, sepertinya lelaki itu berdiri tidak jauh dari punggungnya.

"Jangan membuat kesalahan dengan sifat cerobohmu, karena yang kamu jaga itu manusia, bukan robot!" Sekali lagi Naufal memperingati.

Dari cara bicara Naufal, Aruna menyimpulkan jika sudah tak ada lagi sisa cinta sedikit saja untuk dirinya. Tergantikan oleh sosok wanita yang bisa memberikan keinginan Naufal. Aruna diam, memilih terus menggerakkan kedua tangan, menyelesaikan pencucian piring kotor.

Naufal geram. Aruna semakin sulit diatur, walaupun memang perempuan itu tidak banyak bicara. "Kamu mendengarkan aku atau tidak?" Nada bicara Naufal naik satu tingkat. Barulah Aruna menyimpan piring dan mencuci kedua tangan. "Aku sebenarnya sudah muak berbicara denganmu! Sikapmu berubah, sudah tidak ada hormat lagi pada suami."

Aruna berbalik badan. Di rumah ini, ia bertahan dengan segala kesakitan. Bahkan, di antara keluarga Naufal yang ada, tidak ada satu pun uluran tangan untuk menenangkan Aruna ketika pernikahan kedua suaminya itu terjadi. Seolah mereka berpendapat bahwa Aruna memang pantas berada di posisi itu. "Yang berubah itu bukan aku, tapi Kakak." Aruna membalikkan pertanyaan Naufal. "Kakak, yang dulu bilang akan selalu setia justru berkhianat. Lantas, di mana letak perubahan aku?"

Naufal mengambil tiga langkah ke depan, mengikis jarak dengan istri pertamanya. Kedua tangan Aruna mengulur ke belakang, memegangi wastafel, saling kagetnya. "Jangan membahas hal yang sudah lama!" Sorot mata Naufal menakutkan. Lelaki itu berubah menjadi singa buas dan lapar ketika berhadapan dengan Aruna, berbanding terbalik ketika menghadapi Niken. "Aku tidak butuh protesmu, tapi yang aku butuhkan adalah jawabanmu! Kalau kamu mau aku memperhatikanmu, setidaknya jadilah istri yang lebih berguna!"

"Apa selama ini aku tidak berguna menurut, Kakak?" Aruna seolah mendapatkan kekuatan untuk menentang Naufal.

"Ini yang aku tidak suka darimu!" Telunjuk kanan Naufal menuding tajam. Benar-benar mengisyaratkan kehilangan rasa cinta terhadap Aruna.

Dada Aruna naik turun menahan amarah serta perasaan sakit. Pertengkaran bisa saja terjadi setiap hari, jika Aruna akan meladeni. Namun, perempuan manis itu lebih memilih untuk tidak banyak berdebat.

"Jangan memancing emosiku. Pahami pesanku tadi dan jangan sampai terjadi sesuatu pada Niken. Kamu akan tau akibatnya!" Naufal langsung berbalik badan setelah mengatakan itu. Tidak peduli seberapa hancur hari Aruna, lelaki itu hanya memikirkan kondisi kesehatan Niken.

Aruna terdiam, tanpa sadar cairan bening dari kedua mata keluar, tidak sanggup dibendung lagi. Tubuh Aruna merosot ke bawah, terduduk lemas dengan kepala bersembunyi di kedua kaki yang disatukan. Dunia ini terasa tidak adil. Banyak sekali keadaan yang sulit diterima. Akan tetapi, Aruna berusaha menghadapinya dengan keyakinan jika semua sudah ditakdirkan Yang Maha Kuasa. "Aku mungkin kurang karena tidak bisa memberikan anak untuk kamu, Kak. Tapi, aku juga punya hak yang sama. Aku perlu kasih sayangmu, aku butuh perhatianmu, bukan kata-kata kasar yang kamu lontarkan dua tahun belakangan ini."

Tangis pilu Aruna pecah di area dapur. Tempat yang selalu dipakainya membuat makanan enak untuk sang Suami. Banyak kenangan indah di sini ketika awal menikah. Namun, sekarang tempat ini pun menjadi saksi atas luka Aruna yang berat.

Di tengah tangisan Aruna, dua bola mata seseorang yang baru saja datang, mengamati di balik pintu dapur. Sebelum pergi, orang itu sempat menyunggingkan senyuman kecil. Membiarkan Aruna menikmati detik demi detik penuh air mata, menandakan kemenangan yang berpihak padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status