Share

Complicated : 03

Raska masih terlihat berkeliaran, padahal waktu sudah menunjukan pukul satu. Hawa semakin dingin, tetap enggan kembali ke kos-kosan kecil. Cermin mata yang selalu membingkai kini terlepas—tepatnya sengaja.

Tudung dari jaket hitam yang melekat terbuka, lagi pun suasana amat sepi dan sunyi. Raska bisa bebas, jujur risi bila ada di kerumunan orang. Ditambah lagi, banyak sekali gunjingan yang terlontar padanya.

Seakan mereka lebih baik, karena memiliki status tertinggi.

"Hah, memuakkan!"

Raska berhenti melangkah, kemudian meninju keras dahan pohon di sepanjang trotoar. Tangannya masih terkepal, terlihat memerah dan lecet. Akan tetapi, Raska tidak begitu mempedulikannya. Yang terpenting, bisa kembali tenang.

Heran, selalu saja emosi meluap di waktu yang tidak tepat. Raska kembali melangkah, lambat laun berubah cepat di kegelapan malam.

****

Sekolah dipulangkan lebih awal, masuk hanya untuk mendengar informasi ke depannya. Entah mengenai persiapan tambahan belajar dan bimbel sejak awal, meski mereka baru saja menjadi siswa tahun akhir. Belum benar-benar mendekati kelulusan.

Raska memilih ke perpustakaan, berbeda dengan siswa lain. Memanfaatkan untuk berkeliaran bebas dan pulang. Sepertinya, ini hari keberuntungan juga bagi Raska. Pasalnya, kedapatan hari libur part time. Setelah mendapatkan buku yang dicari, langsung menemui petugas perpustakaan. Raska selalu meminjam buku, bila guru menyuruh beli di luar sekolah. Lebih memilih berkunjung ke pusat perpustakaan dan mencatat poin penting, tanpa perlu membeli. Beli itu kalau memang amat dibutuhkan saja, semenjak hidup sederhana. Diharuskannya, irit bukan berarti sekalinya memakai uang hasil jerih payah sendiri habis seketika.

Raska meski memiliki uang simpanan sendiri, bisa dikatakan anti membeli sesuatu yang menurutnya tidak terlalu penting. Kalau memang harus, baru membeli.

Selesai memasukan beberapa buku yang dipinjam ke dalam tas, Raska mulai melangkahkan kakinya keluar dari perpustakaan. Kini berjalan sendirian, di sepanjang koridor. Seketika terhenti, saat ada seseorang yang lancang memeluk dari belakang. Raska melepas paksa, melangkah lagi. Tujuannya saat ini pulang, dan merangkum materi dari buku yang dipinjam. Akan tetapi, kesal karena diikuti terus. Terpaksa berhenti dan berbalik.

"Apa?" Raska jengkel karena diikuti Avina.

Avina malah mengerutkan kening. "Apaan?"

Raska berdecih.

Avina lucu sendiri, berhasil mempermainkan Raska. Kemudian menariknya agar ikut, tidak menunggu Raska mengiyakan. Setidaknya, beritahu dulu hendak ke mana. Ini malah main tarik saja.

Seketika berat, karena Raska menahan diri tidak tertarik oleh Avina.

"Ayolah!" ajak Avina.

Raska menghela napas sejenak. "Berhenti mendekatiku, sadar kau terus melakukan ini membuat yang lain semakin menggunjingku. Satu lagi, bisa menjadi salah paham baginya karena melihatmu terus mendekat, paham?"

Setelah berkata begitu, Raska meninggalkan Avina. Entah kenapa, menoleh sebentar ke arah Avina yang masih terdiam. Bukan berarti membuatnya berbalik mendekat lagi, meski begitu dengkusan kesal terlontar oleh Raska.

Kalau seperti ini terus, akan dikira ....

Raska berdecih, saat menoleh lagi. Avina sudah tidak ada di sana.

Sementara itu, Avina terlihat berjalan pulang memutuskan berjalan kaki. Sekalian jalan-jalan sejenak di sepanjang pusat kota. Bisa dikatakan, ingin menenangkan pikiran. Setelah kejadian semalam, di mana orang tuanya terutama Aldian. Membentak karena dirinya menolak pulang bersama dengan Reza—notabenenya sebagai tunangannya semenjak tahun kedua SMA.

Bukan itu saja, terlebih lagi dia terus saja memprovokasi Aldian. Seolah dirinya semakin bersalah.

"Kenapa aku terus?" ujar Avina amat lirih. "Belum cukup kah? Selama ini aku yang selalu menurut?"

Yang diinginkan Avina bebas, memilih siapa pun menjadi teman dekat. Sekaligus, seseorang bisa memahami dan membuatnya bisa tertawa lepas. Tanpa, beban yang ditumpahkan semua padanya.

Avina mengusap kasar air mata yang mendadak membasahi pipi, dengan lengannya. Kembali berjalan dan kali ini sambil tertunduk. Agar tidak ada yang melihat, dirinya menangis. Sesekali menendang bebatuan kecil di sepanjang trotoar yang dilewatinya.

Mendadak berhenti melangkah, matanya terbelalak merasa ada yang mengikutinya. Pikiran Avina mulai kacau, menganggap orang jahat atau apapun itu ingin mengganggunya. Tubuhnya, mulai gemetar. Tetapi, seketika terhenti dan menoleh patah-patah ke arah seseorang yang menepuk pelan kepalanya.

Raska seakan memang tidak bisa jauh dari Avina? Heran, selalu saja berpapasan. Seingatnya, tadi Avina pergi duluan. Kenapa saat berjalan pulang, melihatnya berjalan di depan. Meski jarak mereka begitu jauh. Memang tidak peduli sekitar atau siapa pun yang mendekatinya, entah kenapa mulai mempedulikan. Atau mungkin, efek berdekatan terus. Lagi pun, bukan dirinya yang memulai.

Avina menunduk lagi, mulai melangkah duluan. Tidak mau dianggap cengeng atau apapun karena matanya terlihat jelas habis menangis. Tetapi, ini karena lelah loh. Bukan memang cengeng sekalinya diusili, atau apapun itu. Sadar diri, suka usil orang lain.

"Apa alasanmu ingin terus berdekatan denganku?"

Avina terpaku, karena Raska bertanya begitu. Bahkan, mulai mendahuluinya. Yang pasti, Avina enggan menjawab. Mulai menyusul dan menggenggam erat telapak tangan besar Raska. Tidak peduli orang yang digenggamnya risi. Merasa akan dilepas, Avina memaksa menggenggam lagi. Bahkan, semakin erat.

Raska pasrah saja, kemudian berhenti melangkah. Mulai melirik datar Avina.

"Kau sendiri, kenapa nggak mau didekati?"

"Risi." Raska melepas paksa genggaman Avina, kemudian pergi.

Avina meremas kencang tali dari tas selempang yang dipakainya, mulai melangkah gontai menuju rumah. Jujur, baru sadar kalau sudah sampai di perumahan. Helaan napas pun terdengar, berharap tidak mendengar bentakan lagi.

Tidak boleh kah? Dekat dengan orang yang berbeda status?

Avina tanpa sadar sama seperti Raska, tidak terlalu menginginkan hidup sempurna. Selalu harus menurut ini itu, tanpa mencari tahu dulu apa yang diinginkannya saat ini. Avina membuka pintu dan melangkah masuk sembari melirik ke segala ruangan, bernapas lega karena tidak terlihat Aldian ataupun 'dia'.

"Kenapa mengendap-ngendap?"

Avina tersentak, dan menoleh cepat. Ternyata Avera, masih bisa dikatakan beruntung. Avera lebih sering memahami dirinya. Bukan berarti bisa membantu, mendapatkan keinginannya selama ini.

"Ayah lembur dan kakakmu masih di luar kok." Avera sengaja memberitahu, sembari mengelus lembut kepala Avina. "Masuk sana, ah iya. Lain kali, jangan terlalu malam pulangnya."

"Maaf, aku juga baru sadar sudah larut. Aku nggak akan mengulang lagi, tapi ...."

Avera mengerutkan kening, hingga mengingat sesuatu hal.

"Salah ya? Dekat atau menyukai orang yang berbeda status keluarga?"

Avera tertegun, ingin menjawab tetapi bimbang. Karena tidak bisa membantah perkataan Aldian, di satu sisi paham sekali kalau Avina lelah dengan tuntutan yang diminta Aldian. Itu pun tanpa sepengetahuannya.

Avina paham, tidak akan mendapatka jawaban atau saran yang bisa membantu. Memilih ke kamar dan mengurung diri. Yap, Avina memiliki rasa terpendam pada Raska sejak awal masuk SMA. Hanya saja, mengingat keluarganya terutama Aldian. Keras kepala dan pemilih terhadap seseorang yang dekat dengannya, membuat Avina ragu mengungkapkan.

Memang, setidaknya bisa jujur. Tetapi, takut bila tidak akan bisa berdekatan lagi. Itu sebabnya, di sekolah Avina mendekatinya sebagai teman akrab.

****

Raska terlihat keluar dari kos-kosan kecil, hendak ke supermarket untuk membeli bahan makanan. Baru sadar, sudah hampir habis. Langkah kakinya terhenti, saat ada yang mendekatinya. Biasa, anak panti.

"Kakak, tumben sudah pulang?" Anak lelaki berusia lima tahun, selalu saja mendatangi Raska tidak jarang, suka mencarinya.

Raska hanya tersenyum tipis, sembari mengelus lembut kepala anak tadi. "Dipulangkan lebih cepat, kebetulan libur kerja."

"Tapi, tetep sibuk ya?"

Raska mendadak kikuk, memang tidak terlalu sibuk. Hanya saja, memang tidak suka diganggu. "Nanti, minggu deh."

"Bener?"

Raska mengangguk, setelahnya anak kecil tadi berlari kembali ke panti. Raska kembali melangkah menuju supermarket, saat sampai langsung berkeliling dan membeli bahan makanan secukupnya saja.

Seketika diurungkan, dan memilih mencari bahan lain dulu.

"Raska."

Raska membeku, saat dipanggil. Bahkan, kepalanya mulai dielus pelan dan mendekap erat. Wanita paruh baya bernama Ariska.

"Kau tidak mau pulang? Setidaknya, untuk menemui ibumu?"

Raska menghela napas sejenak, berbalik dengan raut wajah biasa—seperti semula. Jujur, tidak menyangka akan bertemu dengan ibu yap ibu kandung—Ariska. Setelah, melepaskan dari dengan sengaja dari keluarga sempurna bagi orang lain yang berhasil dekat.

Omong kosong belaka!

Itu bagi Raska, karena menurutnya tidak sesuai dengan status sempurna.

"Kau tinggal di mana? Boleh ibu berkunjung?" Ariska merindukan anak keduanya ini, sulit sekali dicari. Bisa dikatakan tidak tahu, kalau Raska satu sekolah dengan Reza. Atau mungkin, memang sengaja tidak diberitahu keberadaannya selama ini menjadi siswa di sekolah yang sama.

Memang sangat menguntungkan bagi Raska, akan tetapi amat mengesalkan juga.

"Berkunjung, yang ada 'dia' akan mengoceh hal memuakkan!" balas Raska, pergi begitu saja bahkan mengambil cepat barang yang dicarinya. Berdecih kesal, ketika si sulung Risky mengadang. Tetapi, langsung menabrak kasar bahunya dan pergi cepat.

"Bu, Raska benar-benar menikmati hidupnya sekarang ya? Habisnya, setiap kali bertemu kita ekspresinya berbanding terbalik."

"Maksudmu?" Ariska bingung.

Risky menghela napas sejenak. "Setiap kali pulang kuliah, terkadang aku mencoba mencari keberadaannya. Tau nggak, Bu? Raska satu SMA dengan Reza?"

Ariska menatap tidak percaya.

"Aku heran, kenapa dia tidak bilang?" Risky terkadang berpikiran yang tidak-tidak, menduga kalau Reza tidak mau tergeser dari posisinya saat ini. "Kalau tempat tinggal, aku tidak tau."

Ariska hanya pasrah. "Iya, setidaknya ehm begini. Kau terus pantau sebisamu ya?"

Risky mengangguk, tanpa disuruh akan melakukan demi adik kandung yang melepaskan diri dari keluarga sebenarnya. Menjalani kehidupan, seakan yatim piatu.

****

Raska singgah sejenak di taman kota, setelah membeli bahan makanan. Tadi itu buru-buru karena tidak ingin didekati lagi. Tangannya mengusap kasar wajah, sesekali menjambak kasar rambut di kepalanya.

"Pulang?"

Raska terkekeh. "Lucu sekali, dia saja tidak mau melihat kehadiranku!"

Seketika terdiam, menatap hampa angkasa biru. Kemudian tangannya meraba saku jaket dan mengeluarkan kacamata bulat yang sempat dilepasnya. Kini, kembali membingkai wajahnya. Lalu beranjak, dengan kantung kresek hitam berukuran sedang di genggaman tangan kanannya.

Sampai di kos, Raska melemparkan tubuhnya ke ranjang. Tidak percaya, bertemu dengan keluarga. Secara tidak terduga—bukan di waktu yang tepat. Bisa dibilang, Raska tidak mau bertemu lagi terutama 'dia'.

"Arrrggh!" teriak Raska, meninju keras dinding kamarnya.

Lalu duduk terdiam di lantai dingin, dan bersandar pada tempat tidurnya. Raska tidak mau disalah-salahkan, meski tidak berbuat duluan atau apapun!

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status