Share

Complicated : 02

Istirahat telah usai, lambat laun siswa mulai memasuki kelas masing-masing, sama halnya dengan Avina. Sudah berada di tempat duduk yang sebenarnya, berjarak satu bangku dengan Raska. Tidak lupa, mengembalikan bangku yang sempat ditarik hingga tepat di posisi Raska.

Raska sendiri, sudah menegakkan tubuhnya. Kali ini sedikit bersandar, matanya terus tertuju pada luar jendela kelas. Hingga teralih ke jam dinding, baru ingat part time dimulai pukul tiga sore, sedangkan sekolah usai pukul setengah tiga.

Hampir saja, tadi ingin langsung pulang ke kos-kosan kecil dan mengurung diri sebelum dirusuh anak panti. Yap, kebetulan kos yang disewa berdekatan dengan panti asuhan juga restoran tempat bekerjanya.

Terkadang heran, kalau libur selalu mengurung diri atau pergi ke tempat favoritnya sendirian. Itu tanpa diketahui siapa pun, pengecualian ibu kos. Yakin, kalau anak panti iseng bertanya hari di mana dirinya akan diam di kos-kosan.

Seketika buyar saat ada suara berdeham cukup keras, seakan disengaja. Raska menoleh patah-patah, benar-benar melupakan kalau pelajaran ketiga sudah dimulai.

"Perhatikan atau keluar?"

Raska mematung sejenak, juga merutuki dirinya sendiri karena melamun di kelas. "Pe-Perhatikan, aku milih perhatikan." Di satu sisi, tidak mau dicap menjadi murid nakal. Terlebih lagi, sudah tahun terakhir sekolah.

Guru tadi masih mendelik kesal, setelahnya pergi dan lanjut menjelaskan. Raska menghela napas lega.

Huh, hampir saja dikeluarkan dari kelas!

Kali ini benar-benar fokus, begitu juga ketika jam terakhir dimulai. Sesekali berdecih kesal, meski mengabaikan sekitar. Tetapi peka loh dengan gelagat mereka-mereka, memang tidak balas dengan perkataan. Melainkan lirikan malas nan datar, pada satu siswa sekelasnya tidak lain orang sama—Avina.

Avina hanya mengacungkan jari jempol. Tepatnya, usil singkat karena akhirnya melihat Raska kepergok guru di kelas. Bisa dibilang, Avina tahu kalau Raska tidak mau menjadi siswa buruk di kelas ataupun sekolah. Tetapi, kebiasaan buruk selalu melamun. Sebenarnya, menjadi pendengar baik loh. Tetap saja, terlihat seperti mengabaikan penjelasan guru di kelas. Yang menyadarinya hanya seorang saja—Avina.

Terkadang, mencoba mengkode situasi agar guru memergoki kelakuan Raska di kelas. Tetapi, selalu saja berhasil mengalihkan. Makanya, tadi itu seperti sebuah kemenangan pertama baginya.

Kena semprot nggak ya? Eh tapi nggak mungkin!

Meski begitu, Avina hanya selalu mendapat lirikan datar. Efek sudah keseringan, entah kenapa jadi terbiasa.

****

Sekolah telah usai, Raska sibuk merapikan buku pelajaran terhenti sejenak bahkan decakan kekesalan kembali terdengar. Avina seakan sengaja berada di kelas sejenak, untuk mengganggunya.

"Kelakuanmu ketauan juga!" celetuk Avina, sembari tertawa usil dan pergi duluan.

Raska menghela napas pasrah, sembari memakai jaket hitam dan menyampirkan tas sekolah di pundak. Risi selalu diganggu, lelah membuatnya berhenti. Malah semakin menjadi, pada akhirnya dibiarkan saja.

Ada risikonya, gunjingan mengenai hal lain kala melihat Avina di dekatnya. Sering dikatakan berbeda derajat, dan tidak pantas. Untuk kesekian kalinya, Raska berdecih bila hal yang didengar membuat telinga panas selalu berhubungan dengan derajat—status keluarga yang teramat sempurna. Mulai melangkah cepat keluar dari kelas, lagi-lagi hampir melupakan part time.

Raska berjalan di sepanjang terotoar, sekalian menunggu angkutan umum melintas dari berbagai arah tetapi satu tujuan. Pasalnya, kalau menunggu di halte lama datang. Seringkali menggunakan angkutan umum lain agar bisa mengejar waktu sampai restoran tempat part time. Namun, tak ayal dirinya selalu berjalan kaki—berlari karena angkutan umum selalu penuh, yang lain sudah hampir telat.

Memang melelahkan, tetapi ada kesenangan tersendiri.

Lega, karena tidak terlambat. Raska langsung masuk ke ruang ganti dan mulai melakukan tugasnya.

****

Avina terlihat berada dalam sebuah mobil hitam, air mukanya itu berbanding terbalik dengan sebelumnya, datar seakan tertular sifat tidak peduli Raska pada sekitar. Atau mungkin, efek kesal karena diantar-jemput tak ayal diajak keluar rumah tanpa dibicarakan dulu dengannya. Terlebih lagi, bersama remaja laki-laki seumuran—Reza. Bisa dibilang satu sekolah dan kelas tepatnya yang menjadi jarak dengan tempat duduk Raska, tetapi Avina selalu menghindarinya bila merasa ingin didekati.

"Orang tua yang menyuruh, aku hanya menurut saja." Reza mulai angkat bicara. "Pendekatan, sebelumnya aku pernah mengatakan jujur padamu bukan?"

Avina berdeham saja, sembari membuang muka.

"Kenapa, kau selalu dekat dengannya? Padahal selalu diabaikan dan ju—"

Avina berdecih. "Diam kau!" Kesal karena tahu apa yang akan dikatakan Reza seterusnya. "Para orang tua sudah merencanakan, bukan berarti aku benar-benar menerimamu!"

Reza memilih bungkam, menjalankan mobil.

Keheningan benar-benar menguasai mereka berdua, Reza bisa dikatakan memiliki rasa pada Avina sejak awal masuk SMA hingga di tahun terakhir ini. Meski tidak terlihat dekat di sekolah, lebih sering dihindari oleh Avina. Tidak percaya, orang tua ternyata bersahabat dan merencanakan untuk mengikat. Itu sudah direncanakan dan terjadi saat kelas dua SMA, masih status sebagai tunangan karena masih sekolah—tidak mungkin menikah bukan?

Lagi pun, masing-masing keluarga menginginkan pendekatan. Sadar, hanya dirinya saja yang menerima—secara sepihak. Avina tidak, sedangkan orang tuanya iya sama sepertinya dan keluarga.

Reza juga menyadari amat egois, tidak mendengar apapun balasan Avina setelah rencana itu terjadi. Hingga sekarang, selalu dihindari bersama pun hanya saling diam. Begitu juga bila di depan keluarga.

"Kedua temanmu juga ada, aku tidak bermaksud jalan berdua."

Pada akhirnya, kembali didiamkan oleh Avina.

Saat sampai pun, Avina masih diam dan mengekor Reza saja ke tempat perkumpulan dengan teman-temannya. Entah kenapa, kedua temanya bisa dekat dengan teman-teman Reza. Itu sebenarnya, membuat Avina kesal. Tetapi, sadar tidak punya hak untuk melarang kedua temannya itu berdekatan dengan siapa pun.

"Cemberut terus? Perasaan tadi happy gitu," celetuk Indah.

Avina enggan menjawab, baru ingat kalau teman di sekolah tidak mengetahui rencana keluarga.

Hah, aku malas dan ingin pulang!

Indah sebal karena didiamkan, tetapi satu alisnya terangkat. Mulai menduga kalau Avina sedang badmood. Lalu terusik kala Nilam, menyenggol lengannya dengan sengaja. Kemudian menyuruhnya untuk berhenti bertanya.

"Hee, kalian di sini?" celetuk Almeira datang bersama ketiga teman akrab.

Avina mendengkus kesal, langsung mengabaikan hingga terpaku pada satu objek.

Ah iya, baru ingat dia part time di sini ya?

Avina sebelum diajak perkumpulan atau apapun, lebih dulu suka datang sendiri saat itu juga mengetahui kalau Raska part time di restoran langganannya. Tetap saja buyar, karena terusik oleh kelakuan Almeira yang masih bersikeras mendekati Raska.

Seakan tidak sadar, datang ke sini bersama lelaki lain yang bisa dikatakan menjalin hubungan sepihak dan kalau bosan dilepas—alias—putus. Avina enggan menghalangi, memilih memperhatikan saja.

"Dia itu Raska bukan?" celetuk Indah lagi, lalu melirik ke arah Avina yang diam saja. "Oh iya, aku penasaran. Kau kok bisa hampir setiap hari di sekolah dekat dengan Raska? Yang kulihat diabaikan terus, meski tidak parah sepertinya." Sembari menunjuk ke arah Almeira yang kembali mendekati Raska.

Seakan tidak sadar, akan mengganggu part time yang Raska lakukan.

"Apa masalah dekat dengan teman sekelas? Hm, memangnya merugikan ya?" Avina dengan sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Tidak kok, hanya bertanya," timpal Nilam dengan sengaja. Bisa dikatakan, tidak mau membuat suasana memanas.

****

Raska kala itu baru berganti bagian, tadi sudah menjadi pelayan kini di bagian belakang untuk. Namun, terpaksa berhenti melangkah.

Ampun dah.

Manik hitamnya menyorot malas, sebelum Almeira berhasil mengatakan sesuatu hal yang membuatnya muak karena pertanyaan yang sama. Raska melewatinya begitu saja, meski terdengar decakan kekesalan dari Almeira.

Yang terpenting bisa lepas.

"Mereka satu sekolah denganmu 'kan?" celetuk remaja seumuran Raska sama-sama part time bernama Zian.

"Ya, kenapa?" balas Raska tanpa menoleh sedikit pun, matanya terfokus pada bahan atau minuman mungkin saja ada yang habis jadi perlu diisi lagi.

"Hanya bertanya saja, kayaknya perempuan tadi yang terang-terangan mendekatimu—menaruh perhatian sekali ya?"

Raska melirik kesal.

"Eh tapi benar loh!" Zian bersikeras agar Raska mengiyakan. "Kau sederhana, tapi digemari perempuan kalangan atas ya?"

Raska berdecih.

"Ah iya, ada satu lagi dan ini lebih baik dari yang tadi." Zian menarik Raska sejenak mendekat ke ambang pintu, menunjuk Avina. "Dia maksudku, di balik diam dan tidak peduli. Suka mencuri perhatian padamu juga—eh?"

Raska menyentak pelan Zian. "Daripada kau ngoceh nggak jelas, lebih baik kerja. Jangan bilang kau lupa, manajer punya CCTV berjalan loh."

Zian tersentak, bisa-bisanya melupakan hal itu. "Kenapa nggak ingetin sih!" gerutunya.

Raska menaikkan satu alis. "Kenapa kau lupa, dengan perjanjian sebelum jadi pegawai kontrak meski part time?"

"Ah terserahmu sajalah!" Zian gregetan dan sebal. "Tapi yang tadi benar 'kan? Bahkan, dia langganan duluan sebelum mereka dan perempuan yang mendekatimu secara langsung." Sembari menaik turunkan kedua alisnya.

"Berisik!" desis Raska.

Zian hanya terkekeh pelan, lalu terdiam dan fokus kembali. Benar saja, manajer keluar dari ruangannya. Seketika kesal, melihat Raska mengacungkan jempol ke arahnya.

"Kau!"

"Kau apa?"

Zian menoleh patah-patah ke arah manajer, kikuk seketika. "Nggak kok." Setelahnya lanjut kerja.

****

Kala jam istirahat kerja, Raska tidak ikut dengan yang lain makan bersama. Memilih mencari tempat sendiri, sekaligus tenang sedikit. Tepatnya duduk diam di bangku taman kecil, letaknya tidak jauh dari restoran tempatnya part time. Lalu melirik datar kala ada yang duduk di sebelahnya.

"Sederhana itu enak nggak sih?" Avina setelah berhasil membuat Reza memutuskan pulang duluan, juga sudah memiliki alasan yang kuat bila pulang kenapa tidak bersama Reza.

"Kau pikir sendiri." Raska beranjak, meski sadar istirahat kerja belum usai.

"Aku tanya serius loh." Avina mulai mengekor Raska.

Raska masih diam, sengaja melakukan pekerjaan lebih awal. Mengelap meja-meja kotor dan mengisi ulang bumbu makanan yang hampir habis. Avina? Seakan memang belum mau pulang padahal sudah sore sekali, atau memang mau sampai malam.

"Tuh 'kan!" celetuk Zian, kala memergoki Raska diperhatikan perempuan lagi.

Raska enggan merespon dan sibuk.

Zian menghela napas pasrah, merasa yakin kalau Raska itu tidak peka.

Dugaannya benar, kalau Avina memang sengaja pulang telat. Terbukti masih duduk di pojok, sembari melamun ke luar sekitaran restoran. Menoleh dan menatap tidak percaya ketika Raska di dekatnya.

"Eh tumben deketin duluan?" usil Avina kambuh.

Raska mendelik datar. "Yakin sekali kau!" Ternyata hanya mengisi ulang kotak tisu.

Avina seketika sebal, lalu menepis cepat dan berganti menatap serius Raska. "Tadi aku bertanya serius, kenapa kau nggak mau jawab?"

Raska pergi begitu saja, tetapi berbalik dan menangkap cepat kala kotak tisu dilempar dengan sengaja oleh Avina ke arahnya. Bisa dilihat Avina sudah keluar dari restoran, Raska hanya mengangkat bahu dan menyimpan kembali kotak tisu. Kemudian pergi ke ruang ganti, yap part time sudah selesai.

"Kau bener-bener parah," celetuk Zian tidak ada habisnya.

Raska pergi duluan, melempar kunci ke arah Zian. "Kau yang kebagian menyimpan."

Raska berjalan santai di kegelapan malam, bisa dikatakan hampir larut. Tetapi terusik, saat penglihatannya menangkap seseorang yang dikenalinya—tidak lain Avina. Dengkusan kesal sedikit terdengar, tetapi langkahnya amat malas untuk mendekat.

Avina bernapas lega, karena yang mendekatinya Raska. Jujur, sedari tadi menunggu taksi atau angkutan umum. Tidak ada yang lewat, sekalinya ada dan itu angkutan umum sepi sekali dan berhasil membuatnya mengurungkan niat untuk naik—takut terjadi hal tidak diduga.

"Ayo."

Avina tersentak, kemudian mengekor Raska. Keheningan mulai menyelimuti mereka berdua, bisa dikatakan sudah berapa kali Raska terpaksa mengantar pulang Avina. Itu terjadi, setelah mengetahui Avina menjadi pelanggan tetap.

"Raska!" panggil Avina.

Raska hanya berdeham, sembari terus melangkah.

"Jawab yang tadi!" Avina gregetan.

"Dari yang kau amati gimana?"

Avina sebal. "Kau kok malah balik tanya!"

Raska enggan merespon, kemudian berhenti melangkah. "Pulang sana." Perumahan elit tempat tinggal Avina, bisa dikatakan jauh dan berlawanan arah dari restoran dan jalan besar. Hanya, masuk ke dalam perumahannya saja. Raska setiap mengantar, sampai depan perumahan selebih mengamati hingga Avina benar-benar memasuki rumahnya.

"Apa lagi?" Raska mulai jengkel.

Avina menggeleng, kemudian berlari kecil menuju rumah. Raska masih mengamati, kemudian berbalik arah menuju kos-kosan kecilnya.

Hm, sederhana ... enak? Tentu saja.

Sembari melangkah santai, juga melirik langit malam penuh bintang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status