Share

Complicated : 01

Kakinya melangkah santai di koridor sekolah, tidak dengan air mukanya yang menampilkan ekspresi sebaliknya. Amat datar dan tidak mempedulikan orang-orang di sekitarnya, termasuk perbincangan tak berarti yang terkesan mengolok-olok orang terendah di mata mereka.

Sempurna, bisa dikatakan mereka semua lebih mementingkan kesempurnaan. Seingatnya, sekolah ini tidak memiliki aturan memperlihatkan seberapa sempurnanya diri mereka hingga gaya hidup.

Sepertinya, para siswanya yang membuat aturan itu sendiri. Menggunakan kekuasaan untuk membuat guru terbungkam, meski sebagian tetap ada yang menolak dan tidak peduli ancaman orang yang menjunjung tinggi kekuasaan sekaligus kesempurnaan.

Terasa seperti dalam arena, memperebutkan siapa wewenang sesungguhnya di sekolah ini.

"Maniak sempurna kah?"

Siswa laki-laki berdecih, terlihat cermin mata bulat selalu membingkai wajahnya, tidak ada yang tahu kalau kacamata yang dipakainya non minus. Orang awam atau geli dengan penampilannya, terlebih lagi tambahan kacamata bulat nan besar. Menurut mereka, menganggap apa bagusnya.

Dirinya tidak, justru sangat menikmati. Terkadang, sederhana itu lebih menyenangkan dibandingkan berkecukupan seperti mereka.

****

Terus melangkah, hingga ada sesuatu yang membuatnya—kesal. Pasalnya, teriakan guna memanggilnya terdengar begitu kencang. Terpaksa menghentikan langkah kakinya.

"Raska!"

Yap, siswa laki-laki tadi bernama Raska. Hanya melirik datar, selebihnya kembali membuang muka dan melangkah menuju kelas. Sedangkan reaksi si pemanggil—siswa perempuan berpenampilan ehm mempesona hingga dikagumi berbagai kaum adam, berbanding terbalik dengan siswa laki-laki yang dipanggilnya—Raska.

Mulai menunjukkan ekspresi kekesalan. Kemudian mempercepat langkah kakinya, hingga berhasil menyamakan Raska. Meski tahu tetap diabaikan, bisa dikatakan bersikeras mendekati Raska. Dikenal sebagai siswa paling biasa—lebih parah—rendahan menurut sebagian siswa sempurna yang bersekolah di sana. Pengecualian untuk segelintir siswa biasa lainnya, dan beberapa guru yang menolak aturan status.

Jangan heran, bila ada siswa biasa masuk sekolah ini akan bernasib seperti Raska. Kesehariannya, selalu panas mendengar gunjingan merendahkan yang lebih parah adalah korban bully.

Orang lain heran, kenapa satu siswa perempuan termasuk istilah primadona sekolah. Selalu bersikeras menempeli Raska, ada imbasnya juga. Raska semakin mendapat ejekan.

Raska berdecih, kala jalannya dihalangi dengan sengaja.

"Kau pasti bosan atau lelah 'kan? Mendengar gunjingan mereka-mereka itu?" Siswa perempuan yang dikatakan sebagai primadona, tidak lain Almeira. "Bagaimana kalau kau menerima penawaranku?"

Raska enggan merespon apapun, sebenarnya amat jengkel didekati Almeira yang menurutnya amat pemaksa dan gatal. Mudah menganggap begitu, seringkali tanpa sengaja melihatnya dekat dengan banyak lelaki di sekolah.

"Raska!" panggil Almeira lagi, mulai kesal.

"Maaf sekali, menurutku tidak!" pungkas Raska, kemudian berlalu begitu saja.

Almeira di ambang batas kesabaran, kini benar-benar kesal. Wajahnya terlihat amat memerah efek emosi, ditolak oleh lelaki biasa dan digunjing amat rendah oleh sebagian siswa di sekolah.

Almeira pergi ke tempat lain sembari menghentakkan kaki dengan kasar, masih emosi karena penolakan berkali-kali yang dilakukan Raska terhadapnya.

****

Raska menghela napas sejenak, tepatnya lega terhindar dari gangguan. Dengan tanggap bergeser, guna merenggangkan jarak dari sekumpulan siswa primadona lainnya, kini dari kau adam. Baik siswa senior atau junior.

"Hee, culun rendahan!" cibirnya dengan sengaja.

Tidak lelah mengganggu—eh?

Sudah berusaha menghindar, tetap saja diganggu. Terbukti, mulai mengelilingi macam lalat. Itu yang menurut Raska, bila dikatakan langsung. Yakin, mereka akan semakin panas dan melampiaskan emosi padanya.

"Culun sepertimu mencoba bersikap cool kah?" sahut Afka lagi, sebelumnya mencibir. "Nggak pantas!" Bahkan tidak segan melayangkan tinjuan keras, setelahnya merampas cermin mata Raska dan menghancurkannya. Menganggap kalau Raska, benar-benar rabun. Setelahnya, pergi dengan antek-anteknya.

Raska tertunduk bisa dibilang sengaja, mengelap sudut bibirnya yang robek dan mengeluarkan sedikit darah dengan lengan. Mengabaikan cermin mata yang retak diinjak oleh Afka.

Gelagatnya memang menunjukan menerima perlakuan bully, sebenarnya sudah amat jengkel. Tetapi, kalau dipikirkan lebih lanjut. Tidak ada untungnya membalas, terlebih lagi malas bila berurusan dengan mereka yang pastinya akan menggunakan kekuasaan dari orang tuanya.

Raska kembali berdecih, melangkah cepat menuju kelas. Melirik sejenak ke arah satu siswa senior melintas, manik hitam yang kini tidak terbingkai kacamata mulai menyorot amat dingin, meski tertunduk masih bisa dilihat amat jelas oleh orang di sekitarnya.

Sampai di kelas, Raska duduk terdiam kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Kacamata bulat lain, seakan tahu akan selalu hancur—ada untungnya mengoleksi. Benar-benar terbingkai lagi. Di satu sisi lega, karena kondisi kelas amat sepi. Ah tidak, karena masih ada satu siswa yang melamun. Raska tidak peduli, yang penting tidak berbuat bising.

Lain halnya dengan siswa yang dimaksud Raska, lamunannya buyar. Kini mulai melirik diam-diam, atau mungkin lamunannya telah tergantikan. Tadi ke luar jendela kelas, kini tertuju pada siswa terkenal rendah—menurut mereka. Sedangkan menurutnya tidak.

Avina, sembari menelungkupkan kepala di kedua tangan yang sengaja dilipat menyilang di atas meja, kedua bola mata indahnya terus fokus pada Raska. Bisa dikatakan, satu siswa primadona seperti Almeira.

Almeira terkenal mudah dan suka sekali mendapatkan hati pria yang diincar—pengecualian untuk Raska. Berbeda dengan Avina, terkenal sifat kalemnya. Meski dikagumi banyak lelaki dan acap kali mendapatkan pernyataan atau ajakan dari sebagian lelaki di sekolah. Selalu menolak, terkadang sengaja memilih menjauhkan diri.

****

Raska berdecih, memang mengabaikan sekitar. Akan tetapi peka sekali siapa saja yang mencuri pandang ke arahnya. Risi, itu yang terus diraskan Raska. Menurutnya, kurang kerjaan menatap orang. Terlebih lagi sampai mengekor dan berusaha menempel. Sepertinya, masih kesal dengan kelakuan Almeira.

Sudah terhitung seminggu mengatakan hal sama—tepatnya pernyataan yang terkesan paksaan. Perasaan tidak pernah menunjukan sisi bagusnya terlebih lagi sempurna, kenapa masih ada segelintir siswa—mencoba mendekat.

Lalu mendongak saat Avina berdiri di sebelahnya, mulai menatap lekat. Dengan sengaja, menangkup wajahnya dan menyentuh pelan sudut bibirnya. Menepis pelan, menelungkupkan kepalanya di atas meja. Avina malah sengaja menarik bangku dan duduk di samping Raska.

Satu hal yang amat tidak diduga oleh siapa pun, Avina terlihat lebih sabar dibanding Almeira. Bahkan mudah sekali tetap berada di dekat Raska, hampir setiap harinya, yang lain melihat Avina bersama Raska.

Meski bernasib sama seperti Almeira, tetapi tujuannya berbeda. Sebagai teman akrab, atau mungkin bisa lebih? Itu hanya Avina yang tahu. Raska, tentu tidak. Pada dasarnya, tidak terlalu mempedulikan siapa pun yang mendekat. Bahkan mencari tahu maksudnya.

"Heran." Bahkan menelungkupkan kepalanya juga di atas meja.

Raska melirik, bisa dikatakan sengaja melakukan kontak mata langsung dengan Avina.

"Heran, karena kau selalu diam kalo digunjing dan bully."

"Sama," timpal Raska.

Avina menaikkan satu alisnya, juga tidak percaya akan direspon oleh Raska.

"Sama herannya, tapi beda dikit. Kau selalu saja bertanya hal sama."

Avina bukannya kesal, melainkan menatap usil. "Tumben menjawab—eh?"

Manik hitam Raska kembali menyorot datar, kemudian membuang muka. Meski begitu, tidak ada niat atau memang malas mengusir. Terlebih lagi, mulai merasa ada yang mengelus dan sesekali menyisir lembut kepalanya.

Avina yang melakukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status