"Sepertinya kamu butuh udara segar, Re. Bagaimana kalau malam ini kita keluar?"
Tisha mendudukkan diri di depan Reanna yang tengah menikmati makan siangnya dengan tenang. Saat ini mereka sedang berada di kafe yang terletak tepat di sebelah toko bunga milik Tisha. Ia dan Reanna memang sudah terbiasa makan di sana. Selain karena tempatnya yang nyaman, makanan di sana juga enak dengan harga yang tidak menguras kantong tentunya."Ke mana?" Reanna mengalihkan pandangannya dari sepiring nasi beserta lauk pauknya pada wajah Tisha tanpa minat. Sejujurnya ia sedang malas ke mana pun, banyak hal yang terjadi padanya akhir-akhir ini yang membuat jiwa dan raganya merasa lelah. Ia ingin tidur lebih awal malam ini."Hmm ... ke kelab malam? Mungkin kamu butuh segelas minuman?" tawar Tisha."Kamu tahu kalau aku tidak bisa minum alkohol." Gadis manis berambut gelap itu kembali menyendokkan makanan ke mulutnya setelahnya. Ia memilih untuk lebih memerhatikan hidangan di depannya daripada wajah Tisha, berharap sahabatnya itu mengerti jika dirinya enggan keluar malam. Setidaknya malam ini."Kamu tidak perlu minum alkohol kalau begitu. Pesan saja minuman lain." Namun, nyatanya Tisha tetap tidak menyerah untuk membujuknya. Ia hanya ingin mencoba menghibur sahabatnya, itulah tujuan utamanya. Ibarat kata, sekali menyelam minum air. Selain untuk menemani Reanna, ia pun bisa sekaligus mencuci mata, bukan?"...." Sedangkan Reanna hanya diam, gadis itu masih saja tak acuh atas perkataan Tisha. Ia kembali meminum jus jeruknya dengan perlahan, membuat sang sahabat mendesah lelah. Karena bagaimanapun, ia turut bersedih melihat wajah Reanna yang tampak selalu mendung seharian ini."Re, kuperhatikan seharian ini kamu selalu terlihat murung, malam ini kita senang-senang, oke?" Tisha meraih tangan Reanna, menimpakan telapak tangannya pada punggung tangan kiri gadis itu, menatapnya dalam.Reanna tak langsung menjawabnya. Segala gerakannya terhenti ketika ia tengah menimbang keputusannya dalam hati. Sejujurnya ia tersentuh akan niat baik sahabatnya; Tisha begitu peduli pada dirinya, ia bisa merasakannya."Akan kupikirkan."***Suara decitan pintu membuat pria pirang dengan jas putih itu mengalihkan perhatiannya dari berkas hasil pemeriksaan pasien terakhirnya pada seseorang yang baru saja memasuki ruangannya."Kamu," ucapnya setelah ia tahu siapa yang mengunjunginya saat jam praktiknya baru saja selesai.Pria berambut kecoklatan dengan jas putih yang sama dengan miliknya tersenyum dari ambang pintu."Selamat malam, Dokter." Sapa pria itu."Malam," jawab Nathan, seperlunya. Tangan besarnya menutup sebuah map dan memasukkannya pada laci."Sudah selesai?""Yah, seperti yang kamu lihat. Pasien terakhirku baru saja keluar tadi, sebelum kamu masuk." Nathan kembali menatap Arvi—yang adalah sahabatnya–yang juga bekerja di rumah sakit yang sama sebagai dokter anak. Setelah itu, Nathan segera men-shutdown komputernya kemudian melepas kaca mata yang bertengger di hidungnya yang mancung sebelum bangkit dari kursi empuk yang ia duduki. "Aku harus segera pulang.""Jangan terburu-buru, Bro. Bukankah ini masih terlalu sore?" bukannya turut bersiap untuk pulang, Arvi justru mendudukkan diri di kursi pasien Nathan. "By the way, selamat ulang tahun, ya ... selamat bertambah tua." Ungkapnya kemudian."Thanks. Tapi, aku benar-benar harus pulang sekarang. Anakku sudah menunggu." Nathan berucap sambil lalu. Ia melepas jas putih dokternya kemudian menggantungkannya pada stand hanger besi yang terdapat di pojok ruangan, menyisakan kemeja hitam yang ia gulung sebatas siku.Ya, hari ini memang hari ulang tahunnya. Tapi, ia merasa tidak ada yang spesial. Ia hanya merasa bertambah tua. Itu saja."Setidaknya kamu harus merayakan ulang tahunmu. Ke kelab malam bersamaku malam ini misalnya?"Dokter kandungan tampan itu menatap Arvi yang terlihat bersantai di kursinya, kemudian melangkah mendekatinya."Kurasa sudah bukan masanya lagi untuk merayakan ulang tahun, Ar. Aku sudah tua. Usiaku genap tiga lima kalau kamu lupa," jawabnya."Kamu ini bicara apa?!" Arvi mengerutkan kening tidak suka. Sedangkan Nathan hanya menatap malas pada sahabatnya. "Kamu masih muda, Nathan. Kamu tampan, mapan dan single. Sekali-sekali nikmatilah hidupmu.""Lagi pula kita ini seorang dokter, tentu sangat tahu bagaimana tidak baiknya minuman beralkohol untuk tubuh kita." Nathan menyangkal ucapan Arvi. Ia mengambil kunci mobilnya dari laci. Ia sudah ingin pulang sekarang."Hey, dokter juga masih manusia, Nathan. Kita juga butuh hiburan. Lagi pula kita tidak setiap hari meminumnya." Arvi menegakkan tubuhnya."Kamu gigih sekali."Arvi berdiri dari duduknya, melipat lengannya di depan dada sambil terus menatap mata biru Nathan. "Hidup itu terlalu singkat jika hanya kamu gunakan untuk meratap dan menyesal," ucapnya.Arvi sangat tahu jika sampai detik ini Nathan masih saja dibayang-bayangi masa lalunya. Pria pirang itu terlalu mencintai Anya, meskipun raga wanita itu sudah terkubur sejak lama.Sedangkan Nathan hanya terdiam. Sekelebat ingatan tentang mendiang istrinya kembali melintas di kepala, membuat paru-parunya terasa sesak.Ia menghela napas lelah setelahnya."Hahhhh ... kamu membuatku mengingatnya lagi." Nathan memejamkan matanya erat, melawan gejolak menyakitkan di hatinya. Kedua telapak tangannya menekan meja kerjanya, menopang tubuhnya agar tetap bisa berdiri tegak. Usahanya untuk mengalihkan pikirannya seharian ini gagal.Arvi menajamkan mata, meneliti setiap guratan kepedihan yang terlihat sangat jelas di wajah tampan sahabatnya. Ia menatapnya prihatin."Seharian ini kamu terlihat murung. Kamu merindukannya, ya?"Perlahan kelopak mata Nathan kembali terbuka, menatap pedih pada Arvi, seakan menjelaskan betapa sakit luka di hatinya. Betapa sakitnya merindukan seseorang yang tak akan mungkin bisa kau temui selamanya."Dia datang di mimpiku semalam. Mengucapkan selamat ulang tahun lalu pergi begitu saja," ungkapnya."Pantas saja kamu terlihat sedikit kacau hari ini." Arvi kembali mendudukkan diri dengan nyaman."Apa sangat terlihat?" tanya Nathan yang juga kembali pada kursinya."Yah, sebagai sahabatmu aku sangat hafal dengan segala gelagatmu," jawab Arvi. Ia menatap lurus tepat pada mata biru di hadapannya. "Nathan, berhenti menyalahkan dirimu atas semua yang telah terjadi. Semua sudah takdir. Dia sudah bahagia di surga. Tugas kita yang masih hidup hanyalah mendoakannya."Mendengarnya, membuat hati si pria pirang semakin sakit saja. Ia tahu jika memang itulah kenyataannya. Tapi, sejujurnya ia masih saja berharap jika hal itu hanyalah mimpi. Ia selalu berharap saat ia pulang nanti, istrinya akan menyambut kedatangannya dengan sebuah pelukan hangat dan menenangkan miliknya."Kamu tahu, rasanya seperti akan mati. Di sini ... rasanya sakit sekali." Nathan menunjuk dadanya sendiri, tempat di mana jantungnya bersarang. Ia menunduk dengan kedua tangan meraup kasar wajahnya yang tampan."Aku mengerti," ucap Arvi. Pria itu bangkit, melangkah mendekati Nathan—yang masih saja menyembunyikan wajahnya yang tertunduk. "Lebih baik kamu pulang sekarang, temui anakmu. Setelah ia tidur, aku akan menjemputmu. Kita senang-senang malam ini, oke?" tangan kanan pria itu menepuk pelan bahu sahabatnya."Baiklah.".Bersambung...Ingar-bingar terdengar memekakkan telinga Reanna. Pria dan wanita berbaju kurang bahan memenuhi penglihatannya sejauh mata indah itu memandang. Ia menyapukan tatapannya ke segala penjuru ruangan temaram nan penuh sorot lampu warna-warni itu, dan ia merasa tidak cocok duduk di sini.Ia memakai pakaian yang masih bisa dikatakan wajar, tidak terlalu seksi menurutnya. Ia hanya memakai gaun berwarna hitam selutut tanpa lengan dan menguncir tinggi rambut gelapnya. Namun, entah mengapa mata para pria yang ada di sana terasa selalu memperhatikannya. Ia merasa tidak nyaman.Gadis itu meraih tas tangannya, mengambil handphone dari dalamnya. Ia berpikir dapat membunuh waktu dengan bermain telepon genggam miliknya, sembari menunggu Tisha kembali. Sahabatnya itu sedang memesankan minuman untuk mereka."Segelas Coca-Cola untukmu, dan segelas Long Island Ice Tea untukku."Ucapan Tisha sedikit membuatnya kaget, sahabatnya itu tiba-tiba sudah ada di depan mata. Tentu Reanna segera kembali memasukkan h
Tersadar telah mendapatkan serangan tiba-tiba, Pria itu mendesis marah. Tangan kirinya terangkat memegang bekas tamparan yang terasa panas itu, kemudian menatap dengan mata mendelik ke arah Reanna. "Shit! Apa-apaan kamu ini, hah?!"Sedangkan gadis itu hanya memandang pria di depannya. Tangan kanannya terkepal, dengan tatapannya yang terlihat kecewa."Bahkan kamu sekarang pura-pura tidak mengenaliku!" satu tetes air mata kembali membasahi pipi tirusnya. Ia langsung menghapusnya kasar."Hey, Nona ... apa maksudnya ini?! Aku benar-benar tidak mengenalmu!" pria itu membentaknya keras."Jangan berpura-pura, kamu sudah berjanji akan menikahiku, tapi ... kenapa kamu malah menghamilinya?! Apa salahku, Kalandra?!" Reanna terisak. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menyembunyikan tangisan yang kembali meledak. Ia menangis tersedu-sedu sehingga membuat banyak orang mengalihkan pandangannya pada Reanna dan si pria. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Mereka terlihat seper
"Ngghhhh ...." gadis itu melenguh dengan kesal saat cahaya mentari yang masuk melalui celah gorden menyentuh dengan lembut kelopak matanya. Ia menyipitkan mata dengan dahi berkerut, lantas membalikkan tubuhnya; mencari posisi yang nyaman untuk mencoba kembali terlelap, tetapi sesuatu mengejutkannya."Tisha? Kenapa kamu ada di sini?" Reanna memandang sahabatnya—yang masih terbuai di alam mimpi—dengan pandangan bertanya, dan tentu saja tidak ada jawaban dari sosok itu.Reanna bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan saat ia merasakan kepalanya terasa berdenyut dan berputar. Dengan gerak refleks tangannya terangkat untuk memijit sumber rasa sakit tersebut. Matanya menelusuri kamar bernuansa shaby itu. Ah, ia baru menyadari jika ia tidak berada di kamarnya, melainkan kamar Tisha."Apa yang terjadi? Kenapa kepalaku pusing sekali?" tanyanya sekali lagi. Kali ini dengan guncangan lembut pada tubuh Tisha yang masih terlelap."Mmhhhh ... sepuluh menit lagi, Bu~" sedangkan Tisha hanya melen
Rumah sakit itu sangat luas, didominasi warna putih pada setiap sudutnya. Reanna melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju IGD yang berada di muka rumah sakit itu dengan kedua tangan yang masih meremas pelan perutnya, berharap sakit itu bisa sedikit mereda.Setelah sedikit mengantre, akhirnya ia bertemu dengan seorang dokter yang berjaga di sana. Ia melakukan pemeriksaan awal; seperti mengukur berat badan serta tensi darah, dan pemeriksaan lainnya. Dan atas keluhan yang ia sebutkan, pada akhirnya ia direkomendasikan untuk menemui seorang dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit tersebut—yang kebetulan sedang praktik hari ini.Reanna mendesah sebal saat ia berjalan menuju poli kandungan. Apalagi saat ia melihat betapa panjangnya antrean untuk menemui dokter itu, membuat gadis itu menggerutu dalam hati.Kenapa dokter tadi tidak langsung saja memberinya obat dan menyuruhnya pulang saja? Kenapa ia harus menemui dokter kandungan juga?Reanna mendesah lelah, kemudian mendudukkan diri
Rumah itu terlihat megah. Namun, auranya terasa begitu sunyi. Reanna menatap rumah besar bercat tembok putih yang memiliki pilar-pilar besar itu tanpa berkedip dari posisinya berdiri saat ini, berdecak kagum pada bangunan bergaya romawi klasik tersebut. Ia baru saja sampai di kediaman dr. Adams beberapa saat lalu."Ayo kita masuk."Suara yang berasal dari sampingnya membuyarkan lamunan Reanna. Ia menutup pintu mobil hitam itu, lantas mengekori langkah panjang pria pirang yang lebih dahulu berjalan di depannya.Dokter tampan itu membuka pintu rumahnya, kemudian menatap Reanna, mempersilahkan gadis itu memasuki rumahnya terlebih dahulu. "Masuklah."Dan ... ruang tamu bernuansa putihlah yang pertama kali menyambut pandangan Reanna. Terdapat beberapa sofa yang terlihat begitu empuk yang mengitari sebuah meja kaca berbentuk oval di sana, sedangkan pada setiap dindingnya tergantung berbagai macam lukisan artistik, juga terdapat sebuah potret seorang wanita berparas jelita yang mencuri perha
"Ini tasnya. Handphonenya masih ada di dalam. Kamu boleh mengeceknya terlebih dahulu." Tangan besar itu menyodorkan tas milik Reanna pada pemiliknya.Dan dengan sigap Reanna menerimanya. "Tidak perlu. Sekali lagi terima kasih, Pak dokter. Berkat Anda, saya bisa kembali menemukan tas saya beserta isinya."Gadis manis itu menghela napas lega. Handphone di dalam tas itu sangat berharga baginya, karena hanya handphone itulah yang bisa menghubungkan dirinya dengan keluarganya yang tinggal di kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya sekarang.Ia anak rantau. Ia datang ke kota besar ini beberapa tahun yang lalu untuk meneruskan pendidikannya berkuliah di universitas terbaik di kota ini. Dan beberapa bulan lalu ia baru saja lulus dari dunia perkuliahan.Ia sudah menyebar beberapa Curriculum Vitae ke berbagai perusahaan di kota ini. Namun, sampai detik ini tidak ada satu pun panggilan kerja untuknya.Yah, mencari pekerjaan memang begitu sulit di jaman sekarang, hingga ia ak
Mobil hitam itu melaju dengan pelan, perlahan-lahan menepi kemudian berhenti tepat di depan sebuah toko bunga, Carnation florist. Sesaat kemudian keluarlah seorang pria dengan menggendong putrinya dari dalam mobil tersebut. Langkah panjangnya tergesa memasuki pintu kaca toko, membuat lonceng yang terpasang di atas daun pintu itu berbunyi. Sepertinya ia sedang terburu-buru.Tisha yang berjaga di meja kasir segera menyambut calon pelanggannya dengan senyuman cerah andalannya."Selamat datang di Carnation florist. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" sapa gadis itu, ramah.Ketika mata biru itu menatap tepat pada kedua iris mata Tisha, gadis itu terdiam. Ia seperti pernah melihat pria itu sebelumnya."Saya ingin memesan sebuah karangan bunga," ucap pria itu, menyentak Tisha dari lamunan."Ah, iya. Baiklah." Tisha berucap dengan sedikit kikuk, tangan kanannya mengangsurkan sebuah buku kecil beserta pulpennya pada pria di depannya. "Silakan tulis nama pengirim, nama penerima, alamat tujuan, ser
Suara getaran handphone di sisinya mengalihkan perhatian Reanna. Gadis itu segera meraihnya, menatap layar lcd yang menyala. Ada satu pesan masuk di dalamnya, Reanna tak membuang waktu untuk langsung membukanya.'Saya akan sampai sepuluh menit lagi.' Begitulah isinya.Ia sudah menduganya, tentu saja dr. Adams yang mengirim pesan. Seperti kata pria itu tadi pagi, dokter itu selalu menghubunginya satu jam sekali hanya untuk menanyakan keadaan putrinya."Kamu masih lama, Re?" pertanyaan Tisha membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya dari ponsel pintarnya."Papanya akan sampai sebentar lagi," jawab Reanna. Tangan kirinya yang bebas kembali mengelus pelan rambut lembut Kia yang tertidur berbantalkan pahanya."Sepertinya dia kelelahan." Tisha turut mengamati wajah tertidur itu. Kia terlihat seperti seorang putri kerajaan yang cantik jelita di matanya. Lihat saja, bahkan ia masih terlihat begitu cantik ketika terlelap."Sepertinya begitu. Dia banyak bermain tadi." Reanna membenarkan ucapan