Merah, kuning, biru, oranye, ungu, dan berbagai warna bunga lainnya menyapa tatapan mata indah gadis itu. Reanna Anggoro namanya. Gadis itu mengumpulkan satu persatu tangkai bunga pada sebuah keranjang kecil di tangannya dengan teliti, sebelum akhirnya ia mendudukkan diri pada sebuah kursi tinggi di pojok ruangan bernuansa shaby. Tak ingin membuang waktu, tangan-tangan terampilnya memulai merangkai karangan bunga sesuai dengan pesanan yang diminta oleh pelanggannya secara online.
Hari masih pagi, namun mentari masih enggan menampakkan diri. Ditambah mendung yang bergelayut di langit kelabu itu menambah suasana muram pada gadis cantik di sudut ruangan. Mata indah yang biasanya memancarkan semangat dan keceriaan itu kehilangan cahayanya, bahkan kantung mata terlihat jelas di atas pipi tirusnya. Sisa-sisa kesedihannya tadi malam masih tampak jelas di wajahnya, namun ia memaksakan diri untuk tetap bekerja. Ia butuh pengalihan. Ia tidak ingin hanya diam di rumah, dan terus menerus meratapi kesedihannya. Ia harus bangkit."Sepertinya kamu sedang tidak baik, Re? Kamu terlihat pucat. Apa kamu sedang sakit?"Pertanyaan tiba-tiba itu membuat sang gadis mengalihkan tatapannya dari berbagai warna bunga di hadapannya kepada wajah cantik sang sahabat.Ah, saking fokusnya menata bunga sampai-sampai ia tidak menyadari jika Tisha—yang notabene pemilik toko bunga tempat ia bekerja—sudah ada di hadapannya beberapa menit yang lalu."Aku baik-baik saja, Sha." Reanna mengembangkan senyuman, berusaha terlihat tegar. Meskipun ia tahu dengan pasti wajahnya tidak dapat menyembunyikan kepedihan hatinya saat ini.Tisha menatap menelisik pada raut muram Reanna. Ia tahu jika gadis itu sedang ada masalah, namun dia belum ingin menceritakannya. Sebagai sahabat, ia sangat hafal tabiatnya."Kamu jangan memaksakan diri, ya? Jika merasa lelah, beristirahatlah. Masih banyak waktu untuk menyelesaikan pesanannya." Pada akhirnya hanya itu yang bisa ia ucapkan pada sang sahabat."Baiklah."Tisha membalas senyuman Reanna seadanya. Tangan kanannya terulur mengusap perlahan pada bahu kecil sang sahabat sebelum kembali melangkah meninggalkannya.Namun, belum genap dua langkah, kaki jenjang itu kembali terhenti. Kedua matanya menangkap sosok yang tidak asing."Hey, lihatlah ke sana!" Tisha menunjuk ke luar toko bunga miliknya yang berdinding kaca transparan; tepatnya pada sebuah butik yang berada di seberang jalan. Ia melihat sesosok pria yang begitu dikenalnya tengah menggandeng tangan seorang wanita yang tidak pernah Tisha lihat sebelumnya. Wajah cantiknya menoleh pada Reanna. "Bukankah itu tunanganmu? Dengan siapa dia?"Reanna mengikuti arah pandangan Tisha, dan wajahnya menyendu seketika.Ya, itu benar Kalandra; mantan tunangannya. Hati gadis itu terasa begitu ngilu saat melihat pria yang begitu ia cintai sedang bercengkerama dengan akrabnya pada wanita barunya. Ia menunduk, menatap kosong pada buket bunga yang baru setengah jadi di atas meja."Sudah tidak lagi, Sha," jawabnya, lirih."A-apa?!" Tisha mengernyitkan keningnya. Tatapannya tak lepas dari wajah cantik yang sedang menunduk, ia kaget bukan main mendengarnya. Setahu Tisha, mereka saling mencintai dan sangat jarang mendapati pasangan itu bertengkar. "Bukankah kemarin kalian masih baik-baik saja? Kenapa bisa—"Reanna mendongak sebelum Tisha melanjutkan ucapannya, kedua bola mata itu telah tergenang air mata. Tentu hal itu membuat Tisha seketika berhenti berbicara.Ah, Ia mengerti sekarang. Inilah masalah yang sedang sahabatnya hadapi."Kumohon ... jangan bicarakan hal itu dulu." Reanna memelas. Tisha jadi tidak tega ingin menanyakannya lebih lanjut. Ia jadi menyesal.Gadis pemilik rambut bercat coklat yang dikuncir tinggi itu kembali mendekati Reanna, mendudukan diri di sampingnya, dan secara perlahan menyentuh punggung tangan sahabatnya. "Jika kamu sudah siap, kamu tahu harus berbagi masalahmu dengan siapa, bukan? Aku selalu ada di pihakmu."Dan Reanna hanya mampu tersenyum lemah.***Suasana pagi di meja makan itu terasa hangat seperti biasanya, walaupun hanya dua kursi yang terisi di antara meja persegi panjang. Ayah dan anak itu memang hanya tinggal berdua di rumahnya; ditambah seorang baby sitter dan seorang asisten rumah tangga tentunya.Pria berambut sewarna arunika itu terlihat tengah menggulung lengan kemejanya sebatas siku, dengan gerak gesit ia mengambil sepotong roti kemudian ditaruhnya ke atas piring sang putri. Sedangkan sang balita cantik itu dengan setia memperhatikan setiap gerakan sang ayah dari tempat duduknya."Kamu mau selai yang mana, Sayang?" pria itu menggulirkan pandangan teduhnya pada anaknya, Kia. Tangan kanannya telah memegang sebuah pisau kecil untuk mengoleskan selai pada roti milik putrinya."Meyah. Tolong yang meyah, Papa~" jawab gadis kecil yang sebentar lagi akan menginjak usia tiga tahun itu. Mata besar beriris biru yang sewarna dengan milik ayahnya menatap polos wajah tampan di hadapannya, membuat seulas senyuman terbit dari bibir merah kecokelatan sang pria dewasa."Kamu sangat suka stroberi, ya?" pria pirang itu terkekeh, kemudian mengambil toples kecil berisi selai berwarna merah di dekatnya, mengoleskannya dengan tipis di atas roti tawar milik putri tercinta."Cuka. Manis." Kia menjawab dengan wajah polos pula senyum tipisnya.Merasa gemas, pria itu mengacak sayang puncak kepala anaknya. Kia benar-benar manis saat tersenyum, apalagi dengan mata besarnya yang terlihat berkilau."Sepertimu," ungkapnya pria itu, turut melengkungkan kurva senyuman.Namun, sesaat ia terdiam ketika sekelebat ingatan tentang mimpinya semalam tiba-tiba hadir di benaknya. Senyuman yang pada awalnya terkembang manis itu perlahan sirna. Wajah Kia sangat mirip dengan mendiang istrinya dan hal itu membuat ia kembali merasakan rindu pada belahan jiwanya yang sudah tiada."Cepelti Kia." Suara cedal anaknya membawa ia kembali pada kenyataan. Ia memberikan senyuman terbaiknya pada Kia sebelum memeriksa arlojinya.Ah, ia kesiangan."Makan yang banyak." Pria itu segera melahap habis sepotong roti di piringnya, kemudian bergegas berdiri. "Sepertinya hari ini Papa akan pulang sedikit terlambat, kamu jangan nakal di rumah sama Bibi, ya?""Tentu caja. Kia anak baik, Papa~"Lagi-lagi pria itu kembali tersenyum. Ia merasa sangat beruntung memiliki Kia di sisinya.Tentu ia sangat berterima kasih pada mendiang istrinya, karena telah menitipkan putri secantik dan sepintar Kia untuk tetap tinggal di sisinya. Setidaknya dengan kehadiran Kia bisa sedikit mengobati rasa rindu yang menderanya pada ibu dari anak perempuan satu-satunya.Dan ia berjanji atas nama sang mendiang istri, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan satu-satunya harta paling berharga miliknya, dengan apa pun caranya."Anak pintar." Ia kembali mengacak gemas rambut lembut putrinya, kemudian mencium puncak kepala pirang si balita. Seketika senyuman lebar merekah pada bibir pink Kia saat mendapatkan perlakuan manis dari sang ayah. Sungguh, gadis kecil itu terlihat begitu menggemaskan dengan cengiran yang memperlihatkan gigi susunya yang tersusun rapi, matanya menyipit lucu."Baiklah, selesaikan makanmu, Sayang. Papa harus berangkat bekerja sekarang."Kia hanya mengangguk dengan mulutnya yang penuh dengan roti yang dikunyahnya.Pria itu mengedarkan pandangannya, mencari sosok pengasuh anaknya yang sejak tadi belum terlihat. Dan ... setelah sosok wanita berseragam biru itu tertangkap penglihatannya, ia segera memanggilnya."Bibi ...."Tentu wanita itu tergopoh-gopoh menghampirinya, kemudian berdiri tepat di belakang kursi Kia."Ya, Tuan?""Titip Kia. Jaga ia dengan baik, ya?""Baik, Tuan."Mata birunya sekali lagi menatap Kia sebelum ia benar-benar melangkah."Papa berangkat.""Bye, Papa." Tangan kecil itu melambai, mengantarkan setiap langkah Sang ayah menuju pintu besar rumahnya.'Hati-hati di jalan, Sayang.'Seketika pria itu menghentikan langkah saat ia sudah memegang gagang pintu, ia ... seperti mendengar suara merdu yang sangat ia rindukan memasuki gendang telinga. Namun, ketika kepala bersurai pirangnya menengok ke belakang tubuhnya, ia tidak menemukan siapa pun di sana. Hanya angin dingin yang membelai lembut wajahnya.Ia termenung sebentar sebelum kembali melanjutkan langkah kakinya."Aku merindukanmu, Anya," bisiknya pada udara..Bersambung..."Sepertinya kamu butuh udara segar, Re. Bagaimana kalau malam ini kita keluar?"Tisha mendudukkan diri di depan Reanna yang tengah menikmati makan siangnya dengan tenang. Saat ini mereka sedang berada di kafe yang terletak tepat di sebelah toko bunga milik Tisha. Ia dan Reanna memang sudah terbiasa makan di sana. Selain karena tempatnya yang nyaman, makanan di sana juga enak dengan harga yang tidak menguras kantong tentunya."Ke mana?" Reanna mengalihkan pandangannya dari sepiring nasi beserta lauk pauknya pada wajah Tisha tanpa minat. Sejujurnya ia sedang malas ke mana pun, banyak hal yang terjadi padanya akhir-akhir ini yang membuat jiwa dan raganya merasa lelah. Ia ingin tidur lebih awal malam ini."Hmm ... ke kelab malam? Mungkin kamu butuh segelas minuman?" tawar Tisha."Kamu tahu kalau aku tidak bisa minum alkohol." Gadis manis berambut gelap itu kembali menyendokkan makanan ke mulutnya setelahnya. Ia memilih untuk lebih memerhatikan hidangan di depannya daripada wajah Tisha, be
Ingar-bingar terdengar memekakkan telinga Reanna. Pria dan wanita berbaju kurang bahan memenuhi penglihatannya sejauh mata indah itu memandang. Ia menyapukan tatapannya ke segala penjuru ruangan temaram nan penuh sorot lampu warna-warni itu, dan ia merasa tidak cocok duduk di sini.Ia memakai pakaian yang masih bisa dikatakan wajar, tidak terlalu seksi menurutnya. Ia hanya memakai gaun berwarna hitam selutut tanpa lengan dan menguncir tinggi rambut gelapnya. Namun, entah mengapa mata para pria yang ada di sana terasa selalu memperhatikannya. Ia merasa tidak nyaman.Gadis itu meraih tas tangannya, mengambil handphone dari dalamnya. Ia berpikir dapat membunuh waktu dengan bermain telepon genggam miliknya, sembari menunggu Tisha kembali. Sahabatnya itu sedang memesankan minuman untuk mereka."Segelas Coca-Cola untukmu, dan segelas Long Island Ice Tea untukku."Ucapan Tisha sedikit membuatnya kaget, sahabatnya itu tiba-tiba sudah ada di depan mata. Tentu Reanna segera kembali memasukkan h
Tersadar telah mendapatkan serangan tiba-tiba, Pria itu mendesis marah. Tangan kirinya terangkat memegang bekas tamparan yang terasa panas itu, kemudian menatap dengan mata mendelik ke arah Reanna. "Shit! Apa-apaan kamu ini, hah?!"Sedangkan gadis itu hanya memandang pria di depannya. Tangan kanannya terkepal, dengan tatapannya yang terlihat kecewa."Bahkan kamu sekarang pura-pura tidak mengenaliku!" satu tetes air mata kembali membasahi pipi tirusnya. Ia langsung menghapusnya kasar."Hey, Nona ... apa maksudnya ini?! Aku benar-benar tidak mengenalmu!" pria itu membentaknya keras."Jangan berpura-pura, kamu sudah berjanji akan menikahiku, tapi ... kenapa kamu malah menghamilinya?! Apa salahku, Kalandra?!" Reanna terisak. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menyembunyikan tangisan yang kembali meledak. Ia menangis tersedu-sedu sehingga membuat banyak orang mengalihkan pandangannya pada Reanna dan si pria. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Mereka terlihat seper
"Ngghhhh ...." gadis itu melenguh dengan kesal saat cahaya mentari yang masuk melalui celah gorden menyentuh dengan lembut kelopak matanya. Ia menyipitkan mata dengan dahi berkerut, lantas membalikkan tubuhnya; mencari posisi yang nyaman untuk mencoba kembali terlelap, tetapi sesuatu mengejutkannya."Tisha? Kenapa kamu ada di sini?" Reanna memandang sahabatnya—yang masih terbuai di alam mimpi—dengan pandangan bertanya, dan tentu saja tidak ada jawaban dari sosok itu.Reanna bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan saat ia merasakan kepalanya terasa berdenyut dan berputar. Dengan gerak refleks tangannya terangkat untuk memijit sumber rasa sakit tersebut. Matanya menelusuri kamar bernuansa shaby itu. Ah, ia baru menyadari jika ia tidak berada di kamarnya, melainkan kamar Tisha."Apa yang terjadi? Kenapa kepalaku pusing sekali?" tanyanya sekali lagi. Kali ini dengan guncangan lembut pada tubuh Tisha yang masih terlelap."Mmhhhh ... sepuluh menit lagi, Bu~" sedangkan Tisha hanya melen
Rumah sakit itu sangat luas, didominasi warna putih pada setiap sudutnya. Reanna melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju IGD yang berada di muka rumah sakit itu dengan kedua tangan yang masih meremas pelan perutnya, berharap sakit itu bisa sedikit mereda.Setelah sedikit mengantre, akhirnya ia bertemu dengan seorang dokter yang berjaga di sana. Ia melakukan pemeriksaan awal; seperti mengukur berat badan serta tensi darah, dan pemeriksaan lainnya. Dan atas keluhan yang ia sebutkan, pada akhirnya ia direkomendasikan untuk menemui seorang dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit tersebut—yang kebetulan sedang praktik hari ini.Reanna mendesah sebal saat ia berjalan menuju poli kandungan. Apalagi saat ia melihat betapa panjangnya antrean untuk menemui dokter itu, membuat gadis itu menggerutu dalam hati.Kenapa dokter tadi tidak langsung saja memberinya obat dan menyuruhnya pulang saja? Kenapa ia harus menemui dokter kandungan juga?Reanna mendesah lelah, kemudian mendudukkan diri
Rumah itu terlihat megah. Namun, auranya terasa begitu sunyi. Reanna menatap rumah besar bercat tembok putih yang memiliki pilar-pilar besar itu tanpa berkedip dari posisinya berdiri saat ini, berdecak kagum pada bangunan bergaya romawi klasik tersebut. Ia baru saja sampai di kediaman dr. Adams beberapa saat lalu."Ayo kita masuk."Suara yang berasal dari sampingnya membuyarkan lamunan Reanna. Ia menutup pintu mobil hitam itu, lantas mengekori langkah panjang pria pirang yang lebih dahulu berjalan di depannya.Dokter tampan itu membuka pintu rumahnya, kemudian menatap Reanna, mempersilahkan gadis itu memasuki rumahnya terlebih dahulu. "Masuklah."Dan ... ruang tamu bernuansa putihlah yang pertama kali menyambut pandangan Reanna. Terdapat beberapa sofa yang terlihat begitu empuk yang mengitari sebuah meja kaca berbentuk oval di sana, sedangkan pada setiap dindingnya tergantung berbagai macam lukisan artistik, juga terdapat sebuah potret seorang wanita berparas jelita yang mencuri perha
"Ini tasnya. Handphonenya masih ada di dalam. Kamu boleh mengeceknya terlebih dahulu." Tangan besar itu menyodorkan tas milik Reanna pada pemiliknya.Dan dengan sigap Reanna menerimanya. "Tidak perlu. Sekali lagi terima kasih, Pak dokter. Berkat Anda, saya bisa kembali menemukan tas saya beserta isinya."Gadis manis itu menghela napas lega. Handphone di dalam tas itu sangat berharga baginya, karena hanya handphone itulah yang bisa menghubungkan dirinya dengan keluarganya yang tinggal di kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya sekarang.Ia anak rantau. Ia datang ke kota besar ini beberapa tahun yang lalu untuk meneruskan pendidikannya berkuliah di universitas terbaik di kota ini. Dan beberapa bulan lalu ia baru saja lulus dari dunia perkuliahan.Ia sudah menyebar beberapa Curriculum Vitae ke berbagai perusahaan di kota ini. Namun, sampai detik ini tidak ada satu pun panggilan kerja untuknya.Yah, mencari pekerjaan memang begitu sulit di jaman sekarang, hingga ia ak
Mobil hitam itu melaju dengan pelan, perlahan-lahan menepi kemudian berhenti tepat di depan sebuah toko bunga, Carnation florist. Sesaat kemudian keluarlah seorang pria dengan menggendong putrinya dari dalam mobil tersebut. Langkah panjangnya tergesa memasuki pintu kaca toko, membuat lonceng yang terpasang di atas daun pintu itu berbunyi. Sepertinya ia sedang terburu-buru.Tisha yang berjaga di meja kasir segera menyambut calon pelanggannya dengan senyuman cerah andalannya."Selamat datang di Carnation florist. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" sapa gadis itu, ramah.Ketika mata biru itu menatap tepat pada kedua iris mata Tisha, gadis itu terdiam. Ia seperti pernah melihat pria itu sebelumnya."Saya ingin memesan sebuah karangan bunga," ucap pria itu, menyentak Tisha dari lamunan."Ah, iya. Baiklah." Tisha berucap dengan sedikit kikuk, tangan kanannya mengangsurkan sebuah buku kecil beserta pulpennya pada pria di depannya. "Silakan tulis nama pengirim, nama penerima, alamat tujuan, ser