Share

BAB 3 (POV RANI)

Bab 3

POV Rani.

***

Hari ini kami memboyong keluarga besar untuk melamar anak gadis yang Aldi pilih. Sebenarnya hati agak berat mengikhlaskan Aldi dimiliki orang lain. Tapi yasudahlah, daripada panas telingaku selalu ada omongan tetangga yang bilang anakku bujang lapuk, padahal usianya baru 28. Memang mulut tetangga itu julidnya kebangetan.

"Aldi, pokoknya Ibu mau resepsi pernikahanmu harus yang mewah. Malu sama tetangga." Ucapku kala itu saat sepulang acara lamaran.

"Insha Allah Bu, Aldi cuma punya segitu. Kecuali Ibu mau nambahin,"

"Kok malah Ibu, ya suruh calonmu itu nambahin. Kalian kan sama2 kerja. Kalian yang mau mau nikah kok Ibu yang harus keluar uang," Enak saja, masa harus aku yang bantu,

"Kalau nggak Aldi pinjam dulu aja emas ibu, nanti Aldi ganti,"

"Gak bisa dong Di, itu emas punya Ibu. Gak boleh ada yang jual. Masa Ibu gak punya emas."

"Yasudah Di, ini Bapak ada uang tabungan, mudah2an cukup untuk biaya pernikahan kalian."

Suamiku tiba2 menghampiri dengan membawa amplop coklat tebal. Tunggu, sejak kapan suamiku itu nabung, bukannya semua gajinya aku yang pegang?

"Alhamdulillaah.. makas...." Belum sempat tangan Aldi menggapai amplop coklat itu, tanganku tak kalah cepat mengambilnya.

"Loh Bu, kenapa diambil? Ini untuk anakmu..*

"Jelaskan dulu sama Ibu, ini uang apa? Bukannya seluruh gaji Bapak dikasihkan ke Ibu? Apa Bapak diam2 curang sama Ibu? Gaji Bapak gak Bapak kasih semua sama Ibu?"

Hatiku rasanya panas, awas saja kalau suamiku berbohong selama ini. Jika iya, maka seharusnya uang ini hak ku. Aku kan istrinya.

"Biar bapak jelaskan Bu, ini uang sisa warisan dari almarhum orangtua Bapak, selain Bapak pergunakan untuk menbeli tanah dan membangun rumah ini untuk Ibu, sengaja sisanya Bapak simpan. Kalau-kalau ada keperluan tak terduga seperti sekarang ini. Gaji bapak semua Bapak kasih ke Ibu, kan Ibu juga tau slip gaji Bapak tiap bulannya. Sini, biar anakmu yang simpan."

Terpaksa kuberikan amplop coklat tebal itu pada Aldi dengan perasaan dongkol. Kenapa juga suamiku itu tak menceritakan soal sisa harta warisan.

"Hitung dulu Di, Ibu mau tau,"

Dikeluarkanlah tiga gepok masing-masing senilai sepuluh juta. Mata mana yang tak tergiur dengan apa yang disuguhkan didepan mata. Seumur-umur baru kali ini aku memegang uang senilai total 30juta.

Kuambil segepok uang tersebut dan memasukkannya kedalam tasku.

"Bu, itu untuk tambahan biaya resepsi Aldi, Ibu sendiri yang bilang acara resepsi Aldi harus mewah."

Benar juga ya, kalau resepsinya biasa-biasa saja pasti banyak tetangga bilang aku gak mampu. Yasudahlah dengan berat hati ku keluarkan lagi uang yang tadinya mau kupakai belanja barang2ku.

Kesal hatiku, awas saja biar nanti kutagih selepas acara resepsi. Enak saja. Seharusnya uang itu semua hak ku.

***

Kulihat-lihat calon istrinya satu tempat kerja dengan anakku, namanya Annisa Zahrani. Baguslah, Kalau calon istrinya kerja, berarti gaji Aldi masih bisa kuambil untuk cicilan biaya resepsi mereka. Dan lagi kemarin kulihat ada model emas baru ditoko langgananku.

Rumahnya lumayan gak bagus-bagus amat. Sebelas duabelas sama rumahku, tapi masih bagusan rumahku. Hanya halamannya luas banyak ditumbuhi pohon, buah-buahan, sayuran dan bunga-bunga. letaknya strategis tepat dipinggir jalan. Tadinya cita-citaku pengen punya mantu kaya raya, tapi tak apalah. Yang penting gak nyusahin, dan yang terpenting bisa ku rem omongan tetangga yang suka julid.

Acarapun selesai. Aku diajak berbincang dengan calon besan.

"Mari Bu, silahkan dicicipi hidangannya,"

Kulihat umur calon besanku sepertinya masih 30an. Ah masa sih usia segitu udah punya anak segede gini. Apa jangan-jangan...

"Ehh iya Bu, ini saya lagi nyicip," kami duduk bersebelahan menikmati pemandangan yang tersaji didepan mata.

"Saya Lusi Bu," ucapnya sembari mengulurkan tangan khas Ibu-ibu.

"Rani, saya Rani," seraya membalas uluran tangannya.

"Bu Lusi masih muda, sudah punya anak gadis ya, dulu menikah umur berapa," kuungkapkan saja rasa penasaranku yang sedari tadi terngiang difikiranku.

"Ah.. saya sudah tua, Bu Rani, sudah mau kepala lima," jawabnya sambil tersenyum

"Uhukk.. uhukk.." hampir saja brownies yang sedang kukunyah kumuntahkan kembali. Beruntung dengan cepat kutelan.

"Minum dulu Bu Rani, pelan-pelan," Bu lusi memberiku segelas jus jeruk yang sudah terhidang.

"A.. apa?? Sudah mau kepala lima?" Tanyaku sambil meneguk habis jus jeruknya. Tak habis fikir, usiaku saja baru 40 tapi tanda penuaan dimana-mana. Belum lagi badanku yang b0hay ini. Tak selangsing calon besanku.

"Iya Bu Rani, usia saya sudah 49 tahun, dulu saya menikah di usia 22 tahun, tak lama lahirlah Denis, kakak Annisa, anak pertama saya," ucapnya

"Oooh begitu toh.. ya memang, kalau anak pertama laki-laki biasanya ibunya bakalan awet muda macam saya ya Bu Lusi, hehehe..,"

Sebenarnya ingin kutanyakan apa rahasia awet mudanya, tapi gengsi dong bisa-bisa dia besar kepala. Nanti sajalah kutanyakan sama Annisa.

"Oh ya, suaminya kerja dimana Bu Lusi,?"

Penting menanyakan bibit bebet bobot calon besan kan.

"Alhamdulillah Bu Rani, suami saya biasa jual beli hewan ternak, bisa perekor, bisa juga yang sudah bersih disembelih, tergantung keinginan pembeli." Jawabnya.

"Sapi punya sendiri toh,?"

"Alhamdulillah iya Bu Rani,"

Baguslah berarti calon besanku nanti gak bakalan merepotkan. Jika usahanya jual beli sapi ya lumayanlah. Nanti kalau ingin makan daging tinggal minta Annisa.

"Kalau suamiku, dia kerja dibagian kepala direptur pabrik Bu, gajinya besar, ya maklumlah ya suami saya kan orangnya berwibawa, cocoknya kerja kantoran gitu, gak cocok kalau ngangon hewan Bu, hehehe.." Dia membalas dengan senyuman kecil.

Dengan bangga kujabarkan pekerjaan suamiku, agar besanku tak merendahkanku.

"Mungkin maksudnya direktur ya Bu Rani,"

"Laiya itu maksud saya."

Tak lama kamipun pamit, karena hari sudah mulai gelap.

"Kami pamit ya Besan, Nis," pamit suamiku

"Iya Pak Besan, ohh ya.. ini ada sedikit bingkisan untuk dirumah," ucap Pak Hari, suami Bu Lusi.

"Waah.. gak usah repot-repot Pak Hari," ucapku sambil mengambil beberapa paperbag yang diberikan Pak Hari. isinya sepertinya kue mahal.

***

Pagi ini rutinitasku belanja diwarung Mpok Minah. Dengan semangat 45 gegas kulangkahkan kaki kesana. Terlihat sudah ada beberapa ibu-ibu dan Mbak Susi juga yang tengah memilih sayur mayur.

"Minah, saya mau ayam sekilo, udang, sama bumbu rempah. Nih saya kasih catatannya," ucapku seraya memberikan secarik kertas berisi daftar belanjaan.

"Ehh.. Bu Rani, tumben nih belanja banyak. Gimana acara lamaran si Aldi, lancar,?" Tanya Siti, tetanggaku yang paling julid.

"Yo lancar jaya lah. Kalian tau ndak, saya bawain uang resepsinya berapa... seratus juta lho.. nanti kalian semua saya undang dipesta mewahnya anak saya. Dan kalian juga harus tau, calon besanku itu punya peternakan hewan sendiri, rumahnya luas, mobilnya ada dua. Satu mobil pribadi, satu mobil untuk ngangkut tetangga yang suka julid,"

Ucapku dengan bangga, agar mereka semua tau kalau keluargaku kaya raya.

"Masa sih Bu Rani, kok mau-maunya ya sama si Aldi, bujang lapuk, lulusan SMK, udah gitu kemana-mana hanya bawa motor butut, apa jangan-jangan pake pelet ya bu ibu, masa sihh uang yang dibawa sampai seratus juta, saya kok gak yakin ya. " dengan nada mengejek dan bibir dimiringkan sebelah, Siti berulah lagi.

Kulihat ibu-ibu yang lain saling bisik membuat hatiku makin terasa panas.

"Jangan sembarangan kalo ngomong kamu Siti, keluarga saya tuh keluarga kaya, keluarga terpandang. Uang segitu gak ada apa-apanya buat kita. Gak kayak kamu. Janda ditinggal kawin, punya suami kere, Sukurin, gak bakalan ada yang mau sama kamu. Karma akibat mulut pedasmu ,!"

Enak saja bilang anakku pake guna-guna buat dapetin perempuan. Bahkan anak pejabat sekalipun saya yakin pada mau sama Aldi. Memang dasar mulut si Siti.

"Sudah-sudah Ran, malu ditonton orang, kewarung bukannya pada belanja, malah pada senam mulut," ucap Mbak Susi.

"Sinikan belanjaan saya Minah, totalnya berapa?"

Niat hati mau pamer soal resepsi pernikahan Aldi, semuanya berantakan gara-gara si Siti similikiti. Yasudahlah, lain kali saja.

"Totalnya 110ribu Bu Rani,"

"Yasudah nih.. nanti 10ribu lagi saya bayar. Uang saya gak ada recehan."

Buru-buru kulangkahkan kaki menuju rumah dengan kesal.

"Hilih, ngakunya kaya raya. Bayar 10ribu aja gak mampu." Ucap Siti yang masih bisa kudengar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status