Isi kontraknya begitu padat dan tidak bertele-tele. Esa bahkan banyak menawarkan keuntungan padaku dengan menyediakan fasilitas maupun susunan agenda kerja yang praktis. Jam kerja hanya enam jam perhari dengan libur akhir pekan sabtu dan minggu. Kami akan mengikuti tes untuk mendapatkan lisensi psikologi anak lebih dulu sebelum mengikuti webinar dalam mempelajari bayi dari umur nol sampai sepuluh tahun.
Visi perusahaannya adalah mewujudkan mimpi setiap anak di Indonesia. Misinya adalah menciptakan taman bermain yang luas dan membangun kelas mimpi yang sangat produktif. Aku belum tahu bagaimana cara hal itu akan diwujudkan namun membacanya saja sudah mampu membuat api semangatku menyala-nyala.
“Ini hanya garis besar yang tidak mungkin tercapai kalau effort-nya tidak besar. Aku harap kita bisa mencapai itu bersama-sama, sementara untuk saat ini kita bisa mulai melatih dan membekali diri untuk menjadi orang tua yang handal dari lima anak-a
yang masih nunggu kelanjutan Dream first class mana suaranya? sekali-kali bikin aku seneng napa. see you in the next part ^^
“Ini kartu namamu,” ucap Esa saat memberikan beberapa padaku. Aku menyimpannya di dalam dompet. “Hati-hati simpannya. Jangan sampai hilang.” “Iya,” kataku sedikit jengah. Kemudian beranjak dari tempat duduk sendiri. “Aku boleh ke toilet sebentar?” “Boleh... tempatnya persis di samping bawah anak tangga itu, ya.” “Hm,” jawabku mengangguk, kemudian dengan cepat berjalan menuju tempat itu. Akibat over dosis minuman gratis dari Richie, aku jadi kebelet pipis. Pria manis itu seenaknya memberikan minuman mahal dengan gratis beberapa kali mentang-mentang tidak dimarahi yang punya. Kalau aku yang punya café ini, sudah kupastikan ia hanya akan menyisakan namanya di sini. “Kak…” “Oh!” Aku menoleh ketika merasakan seseorang menarik kemejaku dan terkejut melihat sosoknya yang polos. “Saya lupa taruh tisu di kamar mandinya tadi, mohon maaf,” katanya sambil menyodorkan tisu gulung utuh padaku. Rautnya tidak dibuat sebagaimana semest
Manusia setampan dan sesempurna Richie ternyata punya nasib yang cukup menyedihkan. Kukira selama ini keceriaannya adalah bawaan dari lahir, tapi tak tahunya untuk menutupi ini. Untung saja ia belum kumasukkan dalam daftar list orang-orang yang kubenci. Tak lama setelah membesuk Olin, kami pun pergi ke gereja untuk mengikuti webinar psikologi anak. Esa jadi tidak banyak omong selama sesi itu. Ia hanya terfokus mengisi kolom-kolom formulir yang diberikan atas materi tentang pentingnya bermain pada anak. Bangku-bangku dibiarkan berjarak, dan aku memperhatikan para Ibu yang memangku anak-anak mereka sambil mencatat point penting yang disampaikan dengan cermat. Tidak ada kejengkelan yang dipendam atau ancaman kecil kepada anak yang sudah bisa berlarian ke sana ke mari hingga menangis nyaring kala membentur sudut meja. Orang tua mereka hanya memberitahu, menggeleng jika tidak setuju, membisikkan sesuatu kalau anaknya tidak mau diam, atau yang terak
Entah untuk mengalihkan topik atau sejenisnya, ajakan menikah dari yang kemarin-kemarin itu sudah mulai mengusik ketenanganku dimenit-menit terakhir. Saat ini kami sedang bermain dengan anak-anak. Esa menyiapkan satu kursi di tengah ruangannya. Mempersilahkan siapapun yang bersedia duduk di sana untuk menceritakan apapun yang mereka inginkan. Puzzle, Blok, rubik, buku teka-teki silang, dadu, bola karet, dan berbagai macam mainan lainnya yang sempat kami beli tadi disimpan oleh Esa sejenak. Tujuannya demi fokus kepada acara berikutnya. “Tes.” Itu suara Ajeng. Ia sudah duduk duluan di bangku tersebut. Membuat kami terkejut. Esa langsung menjalin kontak mata dengannya secara intens. “Kamu yakin?” “Yakin.” Kira-kira, begitu dialognya. “Oke, Ajeng. Apa yang kamu ingin ceritakan?” Ajeng menggeleng. Menatap ke sana ke mari sebelum menunjukkan senyum lebar kepada kami. Membuat penonton k
Hari ini kegiatan belajar mengajar selesai. Anak-anak sudah tertawa, menangis, dan belajar banyak hal melalui bermain. Perut mereka bahkan sudah cukup terisi dengan buah-buahan dan makanan bergizi sebelum diantar pulang oleh Esa seperti biasa setelah bergiliran mengecup pipi dan keningku. Suara kompak yang berkata “dadah” kepadaku sambil melambaikan tangan, perlahan pudar dikejauhan malam.Aku terpaku. Kesadaran melayang. Mendadak merasa letih disekujur tubuh. Lesu. Kupikir banyak tertawa tadi dapat membuat suasana hatiku membaik. Nyatanya tidak. Tidak sama sekali. Jadi aku berusaha mengingat hal apa saja yang berhasil membuatku tertawa, dan itu membuatku tertawa lagi. Dengan cepat kututup kamar Esa. Menaruh kunci di bawah keset welcome-nya sebelum bergegas masuk ke dalam kamarku.Aku menghempaskan diri ke atas kasur. Memijat tengkuk dan pelipis dengan satu tangan lalu membiarkan resah menganggu ketenanganku sebentar. Kubawa tidur. Tenang. Setid
“Sudah pesannya?” “Hm.” “Pesan apa?” “Burger. Lagi banyak diskon soalnya, gratis ongkir pula.” “Oh ….” Dagunya naik. Aku bisa melihat itu walau sedang ketagihan melihat tampilan menu lain yang terlihat lebih lezat dari yang kupesan tadi. “Nih, ada sms penting juga masuk tadi,” kataku. Mencoba tenang, setenang-tenangnya manusia di muka bumi ini. Ia menyodorkan minuman dingin dalam gelas panjang yang airnya berwarna caramel kepadaku. Aku menyesapnya perlahan, mencoba menyembunyikan tremorku sambil melipat kaki dengan anggun. Menunggunya mengecek sms tadi. “Sempat kamu baca?” “Hm, iya.” Dia jadi bingung mau menjawabnya bagaimana. “Sebenarnya itu untuk—” “Privasi kan? maaf, ya. Soal tadi kenapa aku lihat karena notifikasinya muncul begitu saja, jadi nggak bisa dihindari.” “Ah …. iya. Nggak apa-apa.” Dia bingung sekaligus merasa aneh. Sambil menggaruk-garuk pelipis dan menyesap minuman yang warnanya lebih pekat dariku, keresahannya pun dilontarkan. “Kamu nggak penasaran?” Aku b
“Sa, kita mau ke mana?” Ada anakan tangga kecil yang letaknya cukup tersembunyi dari ruang café. Esa mengajakku ke sana. “Ke atas. Aku punya ruangan pribadi di atas.” Persis seperti halusinasiku yang tadi. Bedanya sekarang kami tidak pakai berkelahi. Sampai di atas, sempat gelap dan menyeramkan sebelum berubah menjadi terang dan layak huni hanya karena Esa menyalakan lampunya. Nuansa dekornya minimalis seperti ruang tengah yang hanya memiliki sofa putih: meja hitam di tengahnya yang sempat ditaruh makanan tadi oleh Esa dan sebuah TV yang menempel di dinding. Lantainya dibuat dari kayu mengkilap. Di luar, setelah gordennya disingkap oleh Esa dan pintu yang terbuat dari kaca tersebut digeser olehnya, pemandangan kota terlihat lebih jelas di sana. Atap semen seluas sama dengan ruangan di dalam yang dibatasi pagar besi itu terlilit tangkai bunga mawar disepanjang relingnya. Tempat itu terbiasi cahaya bulan yang temaram juga kerlap-kerlip kota. Menghadap barat di mana hal itu bisa dija
Aku melamun cukup lama di atas tempat tidur dengan kaki bersila. Menggaruk kepala lalu mematikan alarm diponsel yang bergetar tepat pada pukul 11 pagi. Karena kasurku beberapa hari yang lalu kudempetan dengan jendela, gordennya langsung kubuka dan tanaman kaktus dengan pot kecil yang terletak di ambang jendela tersebut kusemprotkan air dalam botol spray bekas pengharum baju. “Selamat pagi, kaktus,” sapaku ramah. Memandanginya dengan penuh perhatian. “I love you,” kataku malu-malu. Rasanya memang agak menggelikan. Tapi tidak buruk juga. Sebelum bertambah malu dihadapan tuan kaktus, aku menutup muka dengan kedua tangan lalu melompat pergi dari tempat tidur. Ketika mandi, biasanya aku hanya menggosok badan menggunakan busa sabun dengan tidak bersemangat. Tapi mulai dari sekarang aku perlahan mencoba menyelingi kegiatan tersebut dengan bernyanyi. Bernyanyi sesuka hati sambil menyikat gigi. Pikiran dan suasana hati buruk tentu saja menghampiri, namun aku ingat tips tadi malam yang semp
Aku tahu, rencana tidak pernah berjalan sesuai dengan ekpetasi manusia. Tapi beberapa mengatakan kita tidak boleh mengikuti arus. Mengalir seperti air. Terkesan seperti tidak punya pendirian. Namun beberapa lagi akhirnya membiarkan dirinya hanyut terbawa arus demi mendengarkan permintaan hati tentang apa yang sebenarnya dunia butuhkan dari mereka. Aku tidak mengerti apa yang diriku butuhkan saat ini. Mimpi seperti apa yang seharusnya aku kejar. Tujuan seperti apa yang sebenarnya aku inginkan. Apa yang membuat hari-hariku begitu kelabu meski sinar mentari selalu menembus kamarku setiap pagi. Aku melihat Esa. Tapi jiwaku mati untuk kesekian kalinya. Kupikir setidaknya aku masih bisa memiliki sedih sebagai rasa satu-satunya yang kupunya, tapi ternyata itu pun pergi dari hidupku. Aku hanya diisi kosong. Bertahun-tahun lamanya. “Hei,” tegur Esa yang tahu-tahu sedang memperhatikanku. Kami berdua berakhir duduk berdampingan di halaman belakang rumahnya yang baru. Aku baru sadar hari telah