Isabella yang merupakan seorang penulis novel thriller mendapati dirinya terjebak dalam pusaran intrik yang merenggut kedamaian hidupnya. Setelah dikhianati oleh orang-orang terdekatnya, Isabella tidak bisa mempercayai orang lain lagi. Hingga akhirnya dia menyadari jika Nathaniel— adalah pengecualian. Pria yang terlihat dingin itu memiliki hati yang tulus bak gula kapas. Di tengah usahanya mendapatkan hati Nathaniel, pria yang ia cintai justru menjadi target serangan dari mantan pacarnya. Isabella dilema, haruskah dia memilih antara tetap bersama Nathaniel? Atau kembali pada mantan pacarnya, demi menjaga keamanan Nathaniel?
Lihat lebih banyak15 tahun lalu di tepi danau yang sunyi, Julian berenang sekuat tenaga sambil mendekap erat Nathaniel kecil yang tenggelam di dadanya. Air danau menggelombang dan berkilauan di bawah sinar bulan yang redup. Tiba di tepi danau, Elena dengan wajah penuh kepanikan berteriak sambil menangis. Tatapan putus asa menghiasi wajahnya ketika dia membantu Julian naik ke atas. Nathaniel yang saat itu masih seorang anak berusia 12 tahun, tampak tak berdaya dalam dekapan Julian. Matanya berkaca-kaca, terlihat ketakutan dan lemas. Meskipun ia menyadari suara Elena memanggil namanya, rasa lelah membuatnya tak sanggup menyahut. Dalam kegelapan yang merangkak, kesadarannya perlahan-lahan memudar. *** Nathaniel terbangun dari pingsannya dengan terkejut, mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Samar-samar dia bisa melihat saat Elena, Gabriel Alexander dan Camilia berjalan ke arah pintu keluar sambil bicara serius dengan Julian— seolah b
Malam itu, Isabella menghabiskan waktunya bersama Nathaniel dan keluarganya. Mereka begadang, bercerita, dan tertawa bersama hingga larut malam. Namun, semakin larut, semakin terasa kelelahan menghampiri mereka, dan mereka pun memutuskan untuk beristirahat. Gabriel dan Camilia sudah lebih dulu istirahat di kamar, sementara Elena berniat mengantar Isabella menuju kamar tamu. Elena tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya. “Kau bisa tidur di ruang tamu, atau malah kau ingin tidur di kamar Nate saja?” ucap Elena sambil tersenyum. Isabella menjawab sembari tertawa kecil, “Tentu saja aku mau, tapi sepertinya Nate akan keberatan jika aku tidur di kamarnya.” Isabella menoleh pada Nathaniel, mencari reaksi dari pemuda itu, namun Nathaniel hanya terdiam, sepertinya sibuk dalam pikirannya sendiri. Ada sesuatu yang mengganggunya, tapi Isabella tidak yakin apa itu. “Nate?” panggil Isabella. Nathaniel tersadar dari lamunan dan menatap Isabella dengan tatapa
Nathaniel segera menerimanya, lalu memotong kue tersebut dan meletakkannya pada piring-piring kecil yang sudah disediakan di meja ruang tengah. “Jangan tanya siapa yang mendapat potongan pertama, aku sudah memotongnya sama rata,” ucap Nathaniel saat membagi kue tersebut pada Gabriel, Camilia, lalu pada Elena dan Isabella. Semua menerima potongan kue itu dengan suka cita. Suasana kebersamaan yang hangat dan bahagia terasa begitu nyata di antara mereka, menghangatkan hati Nathaniel dan menyatukan mereka lebih erat lagi. Setelah menikmati kue, Gabriel tiba-tiba teringat sesuatu. “Ah, kami juga sudah menyiapkan hadiah untukmu,” ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya, lalu memberikan sebuah kotak kecil pada Nathaniel. Nathaniel menerima kotak itu. “Bukalah, aku harap kau suka,” kata Gabriel. Nathaniel membuka kotak itu dan melihat sebuah jam tangan Rolex yang elegan di dalamnya. “Terima kasih, Ayah,” ucapnya dengan tulus. Tak mau
Nathaniel baru saja akan mematikan lampu di kamarnya ketika ponselnya berbunyi. Tangannya segera meraih ponsel di meja nakas, ia melihat ada pesan dari Elena.[Tolong!!!”] Pesan singkat itu seketika membuatnya terbelalak, menyebabkan rasa kantuk yang baru saja menghampirinya sirna dalam sekejap. Kekhawatiran langsung menggantikan kelelahannya.Nathaniel segera membalas pesan, tetapi tidak ada jawaban. Bahkan ketika dia mencoba menelepon nomor Elena, suara sambung tidak terdengar. Nomor itu seolah-olah tidak aktif.Tanpa meraih kunci mobilnya yang terletak di atas meja. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan buruk tentang apa yang mungkin terjadi pada ibunya, dan dia tidak bisa duduk diam.Dengan hati yang berdebar-debar, Nathaniel bergegas menuju mobil Elena yang masih ada di luar rumah. Dia memasuki mobil dan segera memutar kunci kontak. Dia mengendarai mobil dengan cepat, membelah jalanan yang se
Malam mulai menyapa, namun suasana di rumah Isabella masih dipenuhi dengan ketegangan. Isabella tertunduk, air matanya mengalir tanpa henti—merasa begitu bersalah pada Nathaniel. Di sisi lain, Nathaniel masih terdiam, pikirannya terasa keruh, emosinya campur aduk, membuatnya sulit untuk menentukan bagaimana seharusnya dia merespons Isabella.Saat itu, suara lenguhan Henrik mulai terdengar, tanda bahwa pria itu mulai tersadar dari pingsannya meskipun hanya merintih kesakitan. Nathaniel dan Isabella menoleh pada Henrik sejenak, tapi kemudian mengabaikannya. Mereka berdua terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing, dan menganggap Henrik tidak lagi penting dalam momen tersebut.Di tengah kesunyian malam, hanya suara isak tangis Isabella yang memecah keheningan. Nathaniel menatap itu, lalu menghela napas dalam-dalam. “Aku... Aku tidak bermaksud menyalahkanmu, Isabella,” ucap Nathaniel pada akhirnya, emosinya sudah mulai mereda.Isabella menghapus ai
Dengan langkah terburu-buru dan perasaan kalut yang memenuhi pikirannya, Nathaniel berlari menyusuri penjuru rumah, mencari tanda-tanda Isabella. Hatinya berdegup kencang dalam keremangan yang menyelimuti rumah tersebut. “Isabella!!!” Saat tiba di ruang tengah, Nathaniel terbelalak kaget melihat Isabella terkapar di lantai dengan pakaian compang camping dan tubuh yang dipenuhi luka. “Nate!” pekik Isabella dengan suara lega saat melihat Nathaniel datang. Namun, kelegaannya segera berubah menjadi ketegangan saat Nathaniel melihat Henrik—yang nyaris saja menodainya. Tanpa berpikir panjang, dengan emosi yang membuncah dan keinginan melampiaskan amarahnya, Nathaniel langsung menghampiri Henrik dan menghantamnya dengan pukulan berkali-kali. “Manusia biadab! Beraninya kau melakukan hal ini pada Isabella!” teriak Nathaniel penuh amarah. Tubuh Henrik terhuyung, dan akhirnya terjatuh menabrak meja kaca hingga pecah, memenuhi ruangan
Henrik meletakkan piringnya ke meja, kemudian mengusap perutnya yang kenyang setelah menghabiskan kari buatan Isabella. “Sudah selesai kan? Sekarang segeralah pergi,” ucap Isabella dengan tegas. “Sayang, kenapa kau tidak menanyakan pendapatku tentang masakanmu?” tanya Henrik dengan santainya, sambil mengeluarkan suara sendawa. Isabella makin jijik melihatnya. “Aku tidak butuh pendapatmu, aku hanya ingin kau segera pergi.” “Padahal aku ingin memuji masakanmu, sangat enak. Aku harap bisa menikmatinya setiap hari,” kata Henrik sambil mengusap bibirnya, di mana ada sisa bumbu kari di sana. “Jangan berharap berlebihan,” tegas Isabella, semakin muak dengan pria di depannya. “Kenapa tidak? Toh dulu kita sudah pernah melewati hari menyenangkan bersama.” Henrik sambil bangkit, lalu berjalan mendekati Isabella. Isabella merasa tidak nyaman ketika Henrik mendekat. “Mau apa lagi?!” tanyanya. “Kita bisa bersenang-sen
Isabella berdiri dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dada, menatap marah pada Henrik yang kini duduk santai di sofa ruang tengahnya.“Ayolah, Bella. Kau tidak seharusnya menunjukkan wajah seperti itu,” kata Henrik sambil menyeringai licik.“Kau tahu jika kau tidak disambut di rumahku,” jawab Isabella dengan ketus. Namun Henrik sama sekali tak terganggu oleh ucapan bernada sinis itu.“Kau makin manis saat marah-marah,” goda Henrik sambil bangkit lalu mendekat pada Isabella. Ia menyentil hidung mancung Isabella dengan santai, membuat Isabella refleks menepis tangan Henrik. Ia jijik pada pria itu, bahkan sentuhan kecil tersebut membuatnya bergidik. “Jangan sembarangan menyentuhku!”“Baiklah, aku akan minta izin setelah ini,” balas Henrik sembari menyeringai.“Sebenarnya apa lagi yang kau mau? Bukankah aku sudah melakukan apa yang kau minta?” Isabella mendengus, tak habis pikir karena Henrik masih saja datang mengganggunya.
Nathaniel terbangun dari tidurnya, mata kembali terpejam sejenak sebelum membuka perlahan. Tirai motif karakter di kamar sudah terbuka, mungkin Elena yang melakukannya agar sinar matahari yang lembut bisa menyusup masuk. Udara musim dingin masih terasa menusuk tulang, hingga membuatnya malas bangkit dari balutan selimut tebalnya. Namun Nathaniel ingat bahwa hari ini ia harus berangkat ke kantor. Dengan gerakan lambat, ia memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidurnya yang nyaman. Merapikan selimut sejenak, ia kemudian melangkah keluar dari kamar. Di ruang makan, Nathaniel melihat Elena yang sibuk menyiapkan sarapan dibantu oleh seorang pelayan wanita tengah baya. Wajah ibunya terlihat ceria meskipun sibuk. Elena melihat Nathaniel keluar dari kamar dan melangkah ke arahnya. Perempuan itu langsung tersenyum, lalu memberi kode kepada pelayannya untuk meninggalkan mereka berdua, seolah Elena ingin mengobrol lebih intens dengan putranya tanpa adanya orang luar di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.