Share

4. The Problem

Lelaki gila. Mereka harus mendarat darurat, tapi yang ia pikirkan hanya kucing jelek itu?! gerutu Crystal dalam hati.

Crystal mendengus, mengalihkan pandangannya dari Xander dan kembali fokus pada helicopter. Enggan menanggapi lelaki menyebalkan ini. Masih ada beberapa menit hingga bahan bakar helicopter ini habis. Crystal bergegas mengirimkan signal SOS, berharap siapa pun, terutama Quinn menjemputnya, sekaligus mempersiapkan pendaratan darurat di air. Bukankah seharusnya ada pelampung yang bisa membuat helicopter tetap mengapung?

Namun, alarm yang makin nyaring membuat Crystal panik. Crystal tidak bisa berpikir. Bayangan helicopter ini akan meledak seketika berkelebat di kepala Crystal. Dia memang berniat menghindari sayembara sialan itu, tapi bukan dengan menuju surga!

"Oh, Jesus! Jika kau menyelamatkanku sekarang, aku akan mempertimbangkan untuk menjadi biarawati!"

Xander menatapnya "What? Kau serius? Lalu sayembara bodohmu?”

Crystal menatap Xander galak. "Mana mungkin aku memikirkan sayembara disaat aku berpotensi ma—“

"Minggir." Xander berdecak, memberi tanda untuk bertukar posisi. “Sejak dulu Leonidas memang hanya ucapannya saja yang besar."

Crystal menatap Xander remeh.  Ini bukan mobil yang bisa dikemudikan semua orang, tapi alarm yang terus berbunyi dan tatapan tidak sabar Xander membuatnya tidak memiliki pilihan lain. Segera, Crystal menukar posisinya, berharap memercayakan nyawa pada lelaki sialan ini bukan keputusan yang salah.

Crystal diam dan dipenuhi kekaguman. Bukan hanya bisa, Xander bahkan sangat cekatan. Lelaki ini mengendalikan helicopter dengan mudahnya, bahkan mengaktifkan pelampung secara manual dan mendaratkan helicopter mereka di atas permukaan laut dengan mulus beberapa saat sebelum mesin mati.

Rasa lega menerpa Crystal. Ia menghempaskan badannya ke sandaran kursi, menarik dan mengembuskan napas dengan kasar. Terutama mendapati air laut sedang tenang. Setenang suasana di dalam helicopter begitu alarm mati.

"Ada balasan untuk SOSnya. Bantuan akan segera datang, tapi selama itu kita terjebak di sini,” ucap Xander.

Crystal menoleh, menatap wajah serius lelaki itu, mengernyit mendapati hal yang tidak biasa. “Bukankah kau hanya pelayan? Bagaimana kau bisa mengemudikan heli—“

“Kenapa? Ingin mengakui Leonidas tidak ada apa-apanya?”

Crystal mengerucutkan bibir. “Bisakah kau tidak membuatku kesal sekali saja?!”

“Tidak bisa.” Binar geli memenuhi mata Xander, hingga jantung Crystal berdegup cepat. Terutama ketika Xander mendekatkan wajah mereka, terlalu dekat hingga Crystal bisa merasakan helaan hangat napas Xander. “Biasanya yang membuat kesal akan diingat.”

“Jadi, kau ingin aku mengingatmu?” Crystal memutar bola mata malas-malasan, berusaha keras terlihat tidak terpengaruh, apalagi menunjukkan kegugupannya.

Xander makin mendekat. “Menurutmu?”

Crystal panik. Kurang sedikit saja hingga bibir mereka bersentuhan. Crystal menegang—cukup. “Panas sekali. Sepertinya AC-nya mati,” ucap Crystal gelagapan. Segera, ia menggeser posisi, membuka pintu helicopter di sisinya untuk menghindari lelaki ini.

“Jangan dibuka!” Terlambat. Teriakan Xander terdengar bersamaan dengan Princessa yang melompat ke laut.

Crystal terkejut, ia bahkan tidak berpikir panjang ketika melompat untuk menyelamatkan kucing sialan itu.

***

Dingin. Ini masih musim panas, tapi kenapa air lautnya masih bisa sedingin ini?

Crystal berkali-kali menyurukkan wajahnya ke permukaan, menghela napas lalu kembali masuk ke air—mencari-cari Princessa yang katanya tidak bisa berenang. Gaunnya yang berat karena basah juga menyulitkannya. Tapi, ketika dia akan menyelam untuk ketiga kalinya, tangan kekar melingkar di pinggangnya.

"Naik."

Crystal menemukan wajah Xander yang basah. "Kucing jelek—"

"Kau bisa membeku!" tukas Xander. Sebelum Crystal merespon, lelaki itu sudah mengeluarkannya dari air, lalu memaksanya  duduk di helicopter. Crystal terbatuk, menyadari betapa ia banyak menelan air laut. Angin yang berembus membuatnya makin menggigil.

Kehangatan sedikit menghinggapi Crystal, ketika tiba-tiba Xander merangkul dan menggosok pelan jemarinya. Crystal menoleh pada Xander yang duduk di sampingnya. Lelaki itu mengernyit, lalu mengembuskan napas keras. Seolah-olah yang butuh kehangatan hanya Crystal, mengabaikan kalau diri sendiri juga basah kuyup. Tanpa sadar Crystal memerhatikan Xander, mengagumi tiap helai bulu matanya yang panjang.

"Aku tidak mengira kau akan mengkhawatirkan Princessa," gumam Xander rendah, cukup membuat Crystal tersadar.

Buru-buru Crystal menarik jemarinya. Mengedarkan pandangan dan mencari kucing jelek yang ternyata sedang ... berenang.

Crystal menganga, terkejut. Di saat itu kekehan Xander terdengar.

"Dia memang kucing aneh. Dia suka mandi, apalagi berenang. Nanti dia juga meminta naik sendiri."

"Kau menipuku! Katamu dia tidak bisa berenang!" Tangan terkepal Crystal mendesak ke wajah Xander.

"Tidak. Tapi kata Princessa, itu privasi" Xander tersenyum geli, lalu membenturkan kening mereka. Crystal mengaduh, menatap kesal Xander.

Namun, Crystal lebih memilih berbalik, membelakangi Xander untuk menunjukkan resleting di bagian belakang gaunnya pada lelaki itu. “Lepaskan gaunku!”

“What?! Memangnya kau ingin menari striptase di atas air?”

“Gaun ini basah! Aku tidak tahan. Kau harus bertanggung jawab! Ini salahmu, William!” omel Crystal.

Jika tangannya mampu menurunkan sendiri resleting, dia tidak akan repot-repot meminta lelaki menyebalkan ini. Crystal berbalik lagi, siap melemparkan omelan, tetapi melihat ekspresi gugup dan pinggiran telinga Xander yang memerah, memancing rasa geli Crystal.

“Kenapa William? Apa kau tergoda melihat tubuh seksiku?"

"Ter--” Xander menggeleng angkuh, lalu tertawa keras. “Aku? Tergoda bocah sepertimu? Apa otakmu dipenuhi air laut?”

Crystal menaikkan satu alis sambil memajukan tubuh sampai dada mereka bertemu. Kemudian, kembali berbalik memunggungi Xander. “Kalau memang tidak tertarik, ya, tidak ada masalah. Sudahlah, William, cepat buka baju sialan ini supaya tubuh bocah tidak berdosa—“

“Berisik!” gerutu Xander terdengar bersamaan dengan gerakan tangan lelaki itu. Tanpa sadar Crystal menahan napas, ketika jemari hangat Xander mulai menyentuh punggungnya. Napasnya terlepas berbarengan dengan gaun yang melorot dari tubuh Crystal, hingga  menyisakan bra tanpa tali dan celana dalam berwarna hitam; nyaris telanjang.

Dengan menyembunyikan kegugupan yang perlahan menggila, Crystal melemparkan lirikan menggoda kepada Xander. “Apa kau tetap tidak tergoda?”

Meski pinggiran kedua telinga memerah, Xander mencebik dan menggeleng. “Calon biarawati bukan tipeku.” Kemudian, membuang muka seolah Crystal tidak sama sekali tidak memiliki daya tarik sebagai seorang permpuan.

Crystal mendengkus. Ketika ia siap melancarkan protes, ketika suara Helikopter terdengar mendekat. Otomatis, Crystal mendongak, kemudian menaikkan kembali gaunnya dengan asal--diiringi tawa mengejek Xander. 

Ada beberapa orang turun untuk mengambil Princessa, sementara yang lain berdiri di sisi pintu helicopter sambil menurunkan tali untuk membantu Crystal dan Xander naik.

Ladies first,” ucap Xander.

Crystal menatap tali itu dan Xander bergantian. “Bagaimana?”

        Tanpa menjawab,  Xander menarik pinggang Crystal dan memakaikan pengaman lebih dulu kepadanya, lalu mengenakan milik Xander sendiri dengan cepat dan mereka naik bersama.

Keadaan tubuh yang basah dan menempel, memancing debaran Crystal tidak terkendali. Belum lagi pelukan Xander yang terasa makin erat saat tarikan tali membuat mereka berayun dan napas memburu lelaki itu di belakang telinga Crystal. Respon yang berbanding terbalik dengan ucapan tidak tertarik  tadi. Diam-diam Crystal menyusun rencana untuk mengejek Xander, tetapi kehadiran  Quinn yang terlihat kesal, membuyarkan semuanya.

  

"Aku sudah menelponmu berkali-kali, tapi kau tidak menjawab!" serang Quinn, ketika Crystal berhasil berdiri tegak di Helicopter hitam berlogo L E O N I D A S; entah milik Xavier, atau Javier. Christian, yang bisa dipastikan ditugaskan salah satu dari Leonidas itu, buru-buru menyodorkan kimono kepada Crystal.  "Lihat apa yang kau lakukan pada Heli—"

"Helicopter usang yang bahan bakarnya habis?"

"Bahan bakarnya saja yang habis. Itu masih sangat bagus!"

"Astaga, jangan bersikap berlebihan seolah kau tidak punya uang untuk memperbaikan benda itu!” sentak Crystal. “Aku bisa membelikan Eurocopter keluaran terbaru untuk si usang itu!”

"Apa kau bilang?! Itu helicopter pertama—" Ucapan Quinn menggantung seiring dengan kening yang mengernyit saat menyadari kehadiran Xander. "William?" geram Quinn rendah. "Kenapa kau bisa ada di sini?!"

"Tanyakan saja pada Meng," sahut Xander ogah-ogahan sambil mengeringkan rambut.

"Meng?" Quinn mengitari pandangan ke setiap sudut helikopter, lalu kembali mempertemukan tatapan dengan Crystal.

"Quinn, kau mengenal pelayan ini?" Hanya kalimat itu yang berhasil Crystal keluarkan, sementara Quinn mendelik.

“Pelayan? Siapa? Dia?” Quinn menunjuk Xander tanpa menggeser tatapan dari Crystal.  "Dia ini Xander, musuh kakakmu."

Crystal menganga. "Dia Xander yang itu?"

"Ya. Yang itu."

Sebelah alis Xander terangkat. "Yang itu? Maksudmu yang tampan, kaya dan mengagumkan?" Xander menyerobot pembicaraan Crystal dan Quinn dengan nada malas.

Crystal menggeram. "Lemparkan saja lelaki ini keluar, Quinn!"

"Sudah kupikirkan sejak menyadari kehadirannya,” jawab Quinn berapi-api.

Namun, semua hanya sebatas pikiran. Crystal dan Quinn kompak mengabaikan Xander selama penerbangan. Crystal menceritakan Xander  tiba-tiba saja naik helicopter. Karena dia sedang terburu-buru, jadi  memilih membawa lelaki itu.

Xander tidak ambil pusing dengan ucapan Crystal, ataupun lirikan sinis Quinn.  Lelaki itu memilih memejamkan mata, sambil memangku si kucing. Beberapa kali Crystal melirik Xander, mengamati sekaligus bertanya-tanya dalam hati. Jadi, lelaki ini bukan pelayan? Lelaki ini Xander, musuh kakaknya?

Dulu, ketika Xander masih menjadi bagian dari geng kakaknya semasa SHS; Red Devil, Crystal tidak pernah sekalipun bertemu Xander. Lelaki itu selalu pergi dulu sebelum ia datang, atau  Xander yang tidak datang di pesta-pesta Leonidas. Seolah semesta tidak mengizinkan dia bertemu Xander, si lelaki arogan yang sering diceritakan Xavier.

Namun, kenapa Xander yang sedari tadi berkomunikasi dengannya sangat berbeda?

Seharusnya, Crystal membenci lelaki ini. Xander musuh kakaknya. Pengkhianat. Tapi, kenapa tidak bisa?

Crystal menarik napas dalam-dalam, menatap Quinn sebal begitu  melihat tujuan Helicopter ini adalah Helipad di kapal pesiar. Bagus.

"Kenapa kau malah membawaku kembali?!" bentak Crystal. "Aku membawa Helicopter-mu karena aku ingin kabur dari sayembara—"

"Ini Helicopter kakakmu."

"Tidak masalah. Kita masih bisa pergi!"

"Xavier mengancamku, dia bisa meledakkan Helicopter ini dari jarak jauh jika aku tidak membawamu kembali."

Crystal meringis. Ia tahu Xavier tidak akan tega, tapi tetap saja ngeri jika harus membayangkan helicopter yang mereka naiki meledak di angkasa. Crystal benci api.

"Sudahlah, Crys. Terima saja. Lagipula, aku yakin, kau akan menyukai pemenangnya," ucap Quinn seraya mengedipkan mata.

Crystal mendengus, menatap kesal lelaki itu. "Aku tidak menyukai Elias. Sekalipun dia Leonard. Aku sudah kaya!”

Quinn tersenyum miring. "Kalau pemenangnya ... Aiden?"

Hening sejenak, sementara Helicopter bersiap mendarat. "Maksudmu?"

"Xavier menyuruh Elias mundur dari sayembara, sekarang yang menempati posisi atas jadi Aiden," kata Quinn cepat. "Hanya tinggal satu sayembara lagi, dan dia akan menang. Kau tenang saja, sayembara terakhir itu keahliannya."

"Kau serius?" Senyuman cerah terbit di wajah Crystal. "Jika tahu seperti ini, aku tidak akan susah-susah terjun ke laut!"

"Atau, berjanji pada Tuhan untuk menjadi biarawati." Xander yang sedari tadi diam akhirnya bersuara, bergegas turun lebih dulu seraya membawa Princessa.

Anehnya, Crystal otomatis ikut turun--mengabaikan teriakan Quinn. "Ralat. Aku tadi berkata akan mempertimbangkannya, bukan berjanji!" jelas Crystal, berusaha menyamai langkah Xander yang panjang-panjang.

"Alasan."

Crystal berhenti mengejar, memandangi punggung kukuh Xander yang bergerak perlahan menjauh darinya. "Kenapa? Kau tidak rela jika akhirnya aku menikahi pemenang sayembara? Ah! Apa kau masih membayangkan tubuhku yang hanya mengenakan pakaian dalam, Willi—"

"Crystal Princessa Leonidas." Suara bariton rendah yang sangat Crystal kenal menghentikan langkah Xander dan Crystal buru-buru menoleh ke sumber suara. Javier Leonidas dalam balutan jas hitam seperti Dewa kematian, ditemani Anggy, dan beberapa bodyguard di belakang mereka  tengah menatap tajam dia dan Xander bergantian. Kening Javier bahkan mengernyit dalam.

"Daddy..," sapa Crystal dengan suara sangau. Siaga satu. Crystal tahu Javier sudah benar-benar marah kalau sudah menyebut nama lengkapnya.

"Ganti pakaianmu," geram Javier, tatapannya menyiratkan tidak suka  melihat Crystal hanya berbalut handuk kimono. "Setelah itu temui Daddy. Bawa juga lelaki yang kau ajak kabur itu!”

Crystal meringis, hendak menjelaskan kalau dia tidak mengajak Xander kabur, tapi Javier sudah lebih dulu berbalik dan pergi, disusul Anggy--yang lebih dulu menyempatkan diri menatap Crystal—menggeleng pelan. Satu alarm lain berbunyi di kepala Crystal, hingga membuatnya menggigit bibir bawah kencang.

"Ayo, kita masuk cantik. Rambutmu harus segera dikeringkan.”

Suara santai Xander membuyarkan pemikiran Crystal. Dia buru-buru meluruskan lagi pandangan ke Xander. Apa lelaki itu tidak tahu sudah segawat apa keadaan mereka? Kenapa masih memikirkan kucing sialan itu? "Kau tidak dengar Daddy-ku berkata apa?" tanya Crystal, sambil melangkah lebar menghampiri Xander.

Tanpa menyahut, Xander menjauhi Crystal. “Bukan urusanku.”

"Damn! Apa kau tuli? Daddy mengira kau kabur denganku!”

Kata-kata itu menghentikan Xander di tepian pintu tempat Javier menghilang, lalu berputar menghadap Crystal dengan senyum lebar menyebalkan. "Bukankah fakta yang benar, kaulah yang menculikku?"

"You beast!"

"I am." Lalu, Xander mengerling, pergi dari sana, meninggalkan Crystal dengan kaki yang terhentak kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status