Share

5. The Challenge

The SEVEN SEAS EXPLORER Cruise Ship. Mediterranean Seas—Italy | 7:02 PM

"Anne, apa sekarang aku kurang cantik? Kurang seksi?"

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Crystal masih memutar-mutar tubuhnya di depan cermin. Mengagumi, sekaligus meragukan tiap sudut tubuh moleknya yang terbalut dress biru tua tanpa lengan dengan motif abstrak setelah percobaan berpuluh-puluh dress lain. Elegan dan seksi. Rambut tergerai yang tengah disisir Anne juga cukup memberikan kesan manis. Tapi, tetap saja, untuk pertama kali dalam hidupnya Crystal merasa tidak percaya diri.

"Anda selalu cantik, Nona. Hanya orang buta yang tidak akan terpikat pada Anda," ucap Nanny berusia setengah abad yang selalu melayaninya.

Crystal menyematkan kedua tangannya di pinggang, membusungkan dada. "Ya, kau benar. Jika sampai si berengsek itu masih juga tidak terpana, fix—dia buta."

"Maksud Nona muda?"

"Ah, tidak-tidak lupakan saja." Crystal melambaikan tangan, kembali duduk di kursi meja rias kamarnya, sengaja memudahkan tugas Anne sekaligus mengalihkan pembicaraan. Sialan. Sampai kapan pun Crystal tidak akan mengakui jika ada laki-laki bodoh tidak terpana melihatnya.

Crystal masih belum selesai ketika ponsel di meja riasnya bergetar.

Aiden : Kau di mana? Aku ingin menemuimu sebelum sayembara yang terakhir.

Crystal buru-buru membalasnya.

Crystal : Masih di kamar. Apa sayembaranya? Quinn berkata kau hampir menang.

Jawaban Aiden datang dengan cepat.

Aiden : Bermain Piano.

Balasan itu membuat tangan Crystal gemetar, dingin. Jantung Crystal serasa diremas. Apa mereka sudah gila? Aiden memang mahir bermain piano, lelaki itu  juga sering mengajari Axelion bermain lagu-lagu mudah. Tapi, untuk bermain di kumpulan orang yang menunggu performa dengan lagu-lagu rumit itu dan memerhatikan detail permainan Aiden ... Crystal ragu Aiden akan baik-baik saja. Tidak. Ini akan sulit. Dulu, Aiden adalah maestro piano termuda, hingga kecelakaan itu terpaksa membuatnya berhenti. Bagaimana bisa ia membiarkan Aiden menunjukkan kemampuan yang hilang?

Crystal : Aku akan kesana. Tunggu sebentar. 

"Ini sudah cukup," ucap Crystal kepada Anne. Kemudian ia berdiri dan  membiarkan Anne  menata gaunnya lagi sebelum berlari keluar dari kamar yang dia tempati selama di kapal pesiar.

Ini benar-benar bodoh. Sayembara ini saja sudah bodoh, rutuk Crystal dalam hati.

Crystal berniat langsung ke ballroom kapal, tempat Aiden berada, tetapi melihat Aurora keluar dari kamar sambil membawa kucing putih yang sangat dia kenal--menghentikan langkahnya.

"Princessa?" Crystal menghampiri Aurora, yang terlihat sangat menyayangi kucing putih bermahkota itu.

Aurora tersenyum lebar pada Crystal. "Hi, Crys?"

"Dari mana kau mendapatkan kucing itu?" tanya Crystal tanpa basa-basi, seolah baru saja melihat orang mengambil barang miliknya.

"Huh?"

Crystal menggeram. "Astaga, kucing ini!"

"Oh,  Xander yang memberikannya."

"Xander?" Mendadak  mulut Crystal jadi terasa pahit.

"Ya, Xander. Xander William. Apa kau mengenalnya?" Aurora tersenyum, mengelus lembut Princessa. "Dia memang jahil, tapi dia selalu sebaik ini."

Dia bukan hanya kucing. Dia kucing yang akan kuberikan pada orang yang kusuka.

Crystal menutup mata namun menggeram dalam hati mengingat ucapan Xander tadi. Tubuhnya menegang. Sial. Apanya yang baik? Jadi yang lelaki itu maksud Aurora?  Crystal tidak tahu kenapa dia bisa sekesal ini, mungkin egonya terluka mendapati ada lelaki yang tidak tertarik padanya sama sekali, malah menyukai perempuan yang sudah bersuami. Kakak iparnya sendiri.

"Ngomong-ngomong, tadi Xavier tampak kesal, katanya kau membuat ulah. Dia menolak menceritakan padaku. Sebenarnya ada apa, Crys?"

"Ah, iya. Aku lupa." Crystal mengutuk dalam hati, teringat dengan agenda lain yang belum selesai. Tadi hanya dengan Daddy-nya, tapi sekarang Xavier juga ikut campur. "Tadi Daddy memergokiku saat kabur dari sayembara bersama Xander."

Aurora terbelalak. "Kalian?" beo Aurora. "Kalian berhubungan? Aku pikir, kau hanya berhubungan dengan Aiden."

"Hubungan kami ... sedikit rumit." Crystal mengedikkan bahu. "Aku pergi dulu, Vee.”

Tidak sepenuhnya benar, tapi aku tidak berbohong, bisik Crystal dalam hati.

Crystal menghentikan langkah, menatap lautan lewat kaca kapal pesiar. Berhenti lama di sana. Amarah masih mendesak menjalari tulang punggungnya. Kenapa? Ia tidak tahu apa yang membuatnya berkata dan bertingkah seperti ini. Crystal bahkan ingin menangis.

Namun, tetap saja masa bodoh. Apa pun alasannya, bukankah Aurora juga sudah bersama Xavier, tidak seharusnya Xander William mengejar-ngejar istri orang lain, apalagi memberikan Princessa padanya! Itu namanya! Jika lelaki itu ingin memberikannya pada seseorang, seharusnya orang itu adalah—sial.

Perut Crystal menegang. Napasnya berubah pendek. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Di dalam sana, Aiden sedang berjuang demi mereka. Kenapa Crystal malah memikirkan lelaki—tunggu. Crystal terbelalak, teringat sesuatu; Aiden! Benar ... Aiden menunggunya! Kenapa dia malah berdiri di sini seperti orang bodoh?!

Suara high heels beradu dengan lantai marmer begitu Crystal berlarian melewati lorong yang mengarahkannya ke ballroom. Penjaga membuka pintu dan Crystal melongok masuk. Ballroom itu sudah penuh dengan orang-orang berpakaian modis. Tapi, suasana entah kenapa hening. Pandangan Crystal menjelajah, berusaha menemukan Aiden di tengah kerumunan orang-orang itu sembari menelponnya.

Dering pertama.

Dering kedua.

Masih tidak ada jawaban.

Hingga, lantunan suara piano yang terdengar membuat darah Crystal membeku. Butuh beberapa saat untuk mengenali lagu itu.

Crystal menurunkan ponselnya, mencengkram benda itu  erat. Kemudian, ia berjalan membelah kerumunan yang tengah melihat pertunjukan piano di ujung ruangan. Di sana Crystal melihatnya, Aiden Lucero—prince charming-nya tengah memainkan karya Liszt berjudul La Campanella—salah lagu tersulit yang pernah ditulis dalam dunia per-pianoan dengan sempurna. Jemari Aiden terus meluncur cepat di atas tuts piano tanpa cela.

Crystal tersenyum, matanya berkaca-kaca, disusul kelegaan dalam dadanya. Seakan bongkahan batu yang selama ini menyumbat jiwanya terangkat semua.

Suara tepuk tangan dan decak kagum membanjiri ballroom begitu penampilan Aiden usai.

Crystal masih membeku, terus mengamati Aiden yang berdiri di samping piano dan  mengangguk hormat pada semua hadirin. Lalu, tatapan Aiden menjelajah, memecah kerumunan—seakan mencari sesuatu. Hingga mata coklat itu berbinar begitu bertemu dengan mata biru Crystal, diikuti bibir Aiden yang tersenyum hangat.

Ketika Aiden mengulurkan jemarinya, meminta Crystal mendekat, Crystal tidak berpikir panjang untuk naik ke panggung untuk menyambut uluran Aiden dan masuk kepelukan lelaki itu .

"Astaga, Eden. Kau membuatku terkejut. Aku sangat lega. Tangan emasmu kembali. Kemampuanmu kembali," ujar Crystal, suaranya serak dan parau.

Dada Aiden bergemuruh karena tawa. Lelaki itu mengelus puncak kepala Crystal sebelum mendaratkan ciuman di keningnya. "Kau millikku. Demi dirimu, aku akan menekan hingga batas maksimalku."

"Aku tahu." Crystal tersenyum, meringkuk lebih dekat dengannya, lengan Crystal merangkul pinggangnya dengan erat.

"Sudahlah Daddy Javier! Tidak perlu susah-susah melakukan sayembara! Nikahkan langsung saja mereka!" teriakan Andres mengalun nyaring.

Crystal menoleh menatapnya, biasanya dia akan selalu memberikan tatapan sinis pada Andres, tapi malam ini—bersama Aiden, dia menatapnya geli. Sementara di ujung ruangan, Xavier dan Javier tampak menatap tajam seraya berkata tidak jelas—sepertinya mengumpat.

Hingga tiba-tiba ....

"Sampai kapan kalian akan berdiri terus disana? Turunlah, harus ada orang yang memperbaiki mood pesta ini."

Crystal memelotot  begitu mendapati Xander William sudah berdiri di anak tangga terbawah panggung, memandang malas dengan jemari dimasukkan ke saku celana. Berbeda dengan Aiden yang mengenakan setelan hitam, Xander dengan bisa-bisanya memakai setelan jas biru tua seperti milik Crystal.

"Kau!" Crystal menggeram, melepas pelukannya dari Aiden, lalu menghampiri Xander dengan wajah menantang. “Kenapa kau memplagiat warna gaunku?!"

"Apa kau selalu meributkan hal tidak perlu seperti ini; nama kucing, sekarang warna?” Xander mengangkat satu alis, melirik Aiden di balik punggung Crystal, lalu kembali memandang Crystal dengan kilatan jail.  "Atau, kita memang berjodoh, Meng?”

"What?!" Crystal menganga.

Xander mengerling, lalu menaiki tangga dan melewati Crystal. "Kau sudah, bukan? Kalau sudah, silahkan turun dengan Meng manjamu, biar aku memperbaiki mood di sini. Musik klasik memang bagus dan sulit, tapi kau tahu tidak semua orang memiliki telinga mahal kan?" tanya Xander tidak memedulikan tatapan dingin dan curiga Aiden.

"A—apa katamu?" Crystal masih tidak mau mengalihkan pembicaraan tentang mereka berjodoh. Dia mengamati para tamu yang menganga, Javier yang terbahak, kemudian menyusul Xander--berdiri di samping Aiden.

"Turun," ulang Xander lagi, padahal bukan itu maksud pertanyaan Crystal. Bahkan, tanpa sopan santun, Xander sudah lebih dulu duduk di kursi piano, sengaja memberikan pengusiran tanpa kata lagi.

"Dasar lelaki gila!" Crystal menggeram, bersiap melepas sepatunya. Berniat melemparkan kepala berotak kurang waras itu dengan sesuatu, sekaligus menyalurkan amarahnya sejak tadi yang sama sekali tidak beralasan.

Namun,  Aiden menahan dan menuntun Crystal turun, sementara Xander memulai permainan.

Setelah  Xander bermain mood ruangan itu langsung berubah. Bukan hanya karena suara indah Xander yang mengiringi alunan pianonya, tapi pilihan lagu lelaki itu benar-benar luar biasa. Crystal menganga mendengar  Xander menyanyikan Marvin Gaye—lagu bertema seks di atas sana.

Crystal tidak bisa berkata-kata, tapi ia masih bisa mengumpat dalam hati; Dasar, lelaki sinting!

***

Lebih sinting lagi, perbuatan Xander membuat mereka tidak bisa lepas dari sidang Javier.

Crystal mendongak begitu Xander melangkah masuk ke salah satu ruangan khusus di kapal pesiar. Tentunya tidak secara sukarela, enam bodyguard dengan badge L E O N I D A S berjaga di kanan kirinya. Xander sendiri tampak pasrah.

Seluruh keluarga Leonidas mulai dari Javier sampai Aurora sudah ada di ruangan ini, tetapi tidak mengikut sertakan Aiden.

"Apa-apaan ini. Aku merasa seperti penjahat," gerutu Xander begitu para bodyguard  melepaskannya. Tapi, begitu dia mendapati Aurora, Xander langsung mengedipkan mata. "Hai, sayang."

Sontak, Xavier dan Crystal melotot, sementara Aurora mendengus malas. "Bukankah kau memang penjahatnya?"

"Aku? Penjahat?" Xander menunjukkan raut wajah pura-pura terluka.

"Kau mengacaukan sayembaranya, Xander! Bisa-bisanya kau membawa Crystal kabur. Ikuti saja sayembaranya dengan benar!" gerutu Aurora.

Crystal berpura-pura tidak melihat ketika Xander memberikan tatapan kesal padanya, yang sengaja tidak memberikan klarifikasi.  Lagipula, kesimpulan itu bukan salahnya. Orangtua dan kakaknya, yang berpikir seperti itu.

"Tunggu! Aku? Xander? Membawa dia kabur?" Xander tegelak. "Lucu sekali. Aku tidak pernah—"

"Tunggu, siapa namamu tadi?" Javier menyela, keningnya mengernyit.

"Xander, Sir."

"Hanya Xander?"

Xander tersenyum sopan. "Xander Peter Raul William."

"Aku yakin tidak melihatmu di daftar peserta sayembaranya,” ujar Javier, tatapannya menyelidik.

Belum sempat Xander menjawab, Xavier menyahut. "Untuk apa dia ikut? Dia menang pun, aku tetap tidak akan merestui—"

"Xavier. Aku bertanya padanya," tukas Javier tegas, cukup membuat Xavier terdiam, sekalipun tatapannya pada Xander makin tajam.

Lagi. Xander tersenyum tenang. "Saya memang tidak ikut, Sir."

"Tidak ikut?"

"Saya sadar diri. Kekayaan saya masih terlalu sedikit untuk menyetarai putri—"

“Jangan merendah untuk melangit! Memangnya William Corp itu kau anggap apa? Kedai Pizza pinggir jalan?”  Aurora menyela, mengabaikan lirikan Xavier padanya.

“Ya ampun, Vee. Seharusnya itu hanya jadi rahasia kita,” rajuk Xander seolah-olah itu sebuah rahasia besar,  tapi senyuman lelaki itu yang terkesan jahil tidak bisa menyembunyikan kesombongan di baliknya. Lalu, Xander  kembali menatap Javier dengan tatapan hormat. "Saya benar-benar minta maaf, Sir. Saya tidak berniat berbohong, tapi saya hanya takut jawaban saya akan melukai ego Anda."

"Apa itu?" Tatapan Javier makin menajam, penuh perhitungan. "Apa kau sudah menemukan gadis yang lebih baik dari putriku?"

Tidak, Daddy. Tapi, dia sudah menyukai menantumu, Crystal bergumam kesal dalam hati, tapi tidak dia katakan—sadar itu hanya akan melukai gengsinya sendiri.

Sembari tersenyum, Xander menggeleng. "Tidak juga, Sir."

"Lalu?"

Xander menyugar rambutnya, tampak tersiksa. "Ayolah, Sir! Saya ini Xander! Xander William!" ucap Xander lelah, kali ini tatapannya tertuju pada Crystal. "Bukan saya ingin merendahkan putri Anda, tapi saya ini terlalu Dewa untuk mengikuti sayembara hanya untuk bocah manja seperti dia."

"Bocah kau bilang?" Crystal meledak. Denyut nadinya berpacu. Buru-buru dia berdiri, melangkah mendekati Xander dengan dagu terangkat ke atas. Menghapus jarak antara mereka menjadi beberapa senti saja. "Ah, bocah." Crystal tersenyum sinis. "Kalau begitu kau seorang pedophile sialan yang menegang hanya dengan melihat bocah memakai dalaman. Bagaimana tadi? Aku sangat fantastis bukan? Kau pasti tidak pernah melihat bocah seseksi Crystal Leonidas!”

Tawa Xander mengudara. “Kau terlalu pandai berkhayal.”

“Apa aku harus menciummu di sini? Mencumbumu sekarang juga? Agar kita bisa membuktikan siapa yang sedang berkhayal, William?!”

"What?!" pekik Anggy.

Crystal meringis. Punggungnya menegang. Seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia mengedarkan pandangan ke masing-masing anggota keluarga yang kompak terbelalak.

"Wow. Kau berani sekali," bisik Xander.

Crystal makin meringis. "Daddy, begini ... bisa kujelaskan." Crystal gelagapan, terlebih melihat tatapan Javier dan Xavier yang menggelap—siap melahapnya. Terutama Xavier. "Jadi, jadi, begini—"

"Baiklah. Jadi kau Dewa." Mengabaikan ucapan Crystal, Javier yang sudah bisa menguasai diri melangkah mendekati Xander.

"Iya, Sir." Xander tampak tak gentar.

Javier tersenyum manis. "Kebetulan sekali Leonidas ini ingin bermain-main dengan Dewa. Aku belum pernah mencobanya," lanjutnya tidak mau membuang-buang waktu. "Ayo kita tebak; kira-kira berapa lama seorang Leonidas bisa membangkrutkan Dewa?"

"Daddy!"

"Tiga hari?"

Crystal dan Xavier menyahut bersamaan. Raut mereka bersebrangan; Crystal ketakutan, sementara Xavier tertarik. Sangat.

Menahan napas, Crystal sangat tahu jika senyum Daddy-nya yang manis adalah sinyal bahaya.  Namun, raut wajah Xander terlihat  mengangap itu lelucon yang harus ditertawai. Bajingan bodoh. "Coba saja dulu, Sir," kata Xander sambil mengangkat kedua bahu tidak acuh.

"Wah! Aku suka anak muda yang berani," kekeh Javier, sementara tatapan iblis muncul di wajah Xavier.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status