Share

Jalan_Jalan Untuk Puisi Karina part 2

Ia merapikan tatanan rambutnya kembali seperti semula, Ardana turun dari motornya seraya menunjuk ke arah yang ada di depan mereka.

“Liat, tuh. Kamu belum pernah ke sini, kan?” tanya Ardana.

Karina menggeleng sambil menatap kagum pada pemandangan Taman yang mengagumkan, “Iya, belum pernah. Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka, sampai gak pernah mengajakku jalan-jalan.”

“Wah, bagus juga. Bentuknya seperti ...... candi gitu gak sih? Cantik, ayo, masuk!” ajaknya sambil menarik tangan Ardana, ia sungguh lupa dengan suasana canggung tadi. Ardana tak menolaknya, mereka pun masuk bersama ke dalam tempat wisata itu.

Saat masuk ke taman itu, wajah Karina langsung berubah menjadi berseri-seri dan penuh dengan kegembiraan. Ardana yang melihat hal itu, menjadi salah fokus. Perasaan Karina tengah senang, karena akhirnya bisa pergi ke tempat yang ramai dan menyenangkan, apalagi bersama dengan seorang teman seperti Ardana.

“Ardana, kamu tahu di sini ada apa aja?” tanya Karina dengan wajah penasaran.

Ardana tersadar dari lamunannya, “Ah, tahu kok. Ada kolam renang Snow Bay, taman Among Puro, taman Ria Atmaja, kereta gantung, teater Keong Mas juga ada. Kamu mau ke mana dulu?”

“Aku mau naik kereta gantung dulu deh, ke mana arahnya?” Karina tampak sangat bersemangat.

Hal itu membuat Ardana tak bisa berkata-kata untuk melarangnya, tangannya juga terus ditarik oleh Karina, jadi dia tak bisa pergi menjauh dari gadis berpipi chubby itu.

Karina berjalan sambil melompat-lompat gembira, “Ayo, Ardana! Ayo, jalannya cepat dong! Ayo lah, ayo!”

“Iya, sabar kenapa? Nanti jatuh loh, jangan loncat-loncat kayak anak kecil gitu!” tegurnya.

Karena sikap Karina yang kekanak-kanakan, jadi banyak pengunjung yang memperhatikan mereka berdua, makanya Ardana menegurnya untuk tidak bersikap seperti itu di depan banyak orang yang tidak mereka kenal.

Ardana menarik Karina sehingga terjatuh ke pelukannya, “Sstt, kamu gak boleh bersikap kayak tadi, Rin! Banyak yang liatin, umur kamu udah bukan anak kecil lagi. Sini, biar aku aja yang jalan di depan!” ia menggandeng tangan Karina dengan erat sambil berjalan di depan Karina.

Karina terdiam, ia tak sempat berkata-kata, “Ah, Ardana! Anggap aja gak ada mereka, cuman ada kita berdua aja, ya?”

“Gak bisa gitu, walau kamu berharap begitu, tetap saja mereka tetap ada di mana-mana. Ikuti aku di belakang, jangan lepas tanganku!”

“Iya, baiklah. Aku akan terus menggenggam tanganmu sampai kamu membawaku ke semua tempat yang ada di sini,” Karina berhenti berjalan, lalu Ardana membalikkan badan padanya, ia tersenyum dengan wajah berseri-seri.

Ardana mengangguk, “Oke, kita tetap jalan lurus saja, dikit lagi sampai kok.”

Sampai di depan wahana kereta gantung, Karina tak sabar ingin naik ke sana, mereka pun akhirnya punya kesempatan untuk menaiki wahana itu. Karina sangat senang, ia teriak dengan senyum di wajahnya, hatinya sangat merasakan kebebasan, tak merasa kesepian lagi. Walau Ardana tak mengetahui apapun tentang Karina, tetapi ia cepat mengerti tentang sikap Karina yang seperti itu, karena ia tidak pernah pergi ke tempat penuh keceriaan selama ini.

Ardana ikut senang melihat Karina bisa tersenyum dan melupakan semua kesedihannya selama ini, “Kamu seneng banget ya?” tanya Ardana sambil tersenyum.

Karina mengangguk, “Iya, dong. Kalau aja aku bisa pergi sendiri ke tempat seperti ini, aku udah dari dulu hafal dengan semuanya.”

Setelah turun dari wahana itu, mereka pergi ke tempat teater keong mas. Saat mereka di sana untuk menonton teaternya, ternyata banyak wisatawan asing yang memiliki kulit putih dan hidung mereka begitu mancung yang sedang ikut menyaksikan pertunjukannya.

Karina dan Ardana saling mengejek satu sama lain, “Ih, kamu tuh yang jelek! Kulit aku lumayan putih juga kok.”

“Ahaha, kan cuman lumayan doang. Aku nih, 11-12 hampir sama. Pipimu chubby banget sih, Rin? Beda banget sama orang-orang itu,” balas Ardana sambil tertawa terbahak-bahak.

“Ish, mana ada chubby! Cuman dikit aja kok, gak keliatan banget.”

“Kesal, kan? Sama, aku juga. Yaudah, berdebat sama kamu tuh kayaknya gak akan ada akhirnya deh, lebih baik lanjut nonton aja tuh!” saran Ardana sambil mengarahkan wajah Karina ke depan.

Karina masih kesal, “Ah, kamu tuh yang gangguin duluan!”

Teater Keong Mas sudah selesai, mereka pun berkeliling ke tempat yang lain. Tak terasa hari sudah hampir jam 12 siang, Ardana yang lebih dulu menyuruh Karina untuk beristirahat sejenak di kursi taman.

“Nanti kita ke mana lagi?” tanya Karina dengan wajah yang tak ada letih.

Ardana berpikir, “Emmm, gak tahu deh. Terserah kamu aja mau ke mana, kan aku cuman nemenin aja.”

Wajah Karina langsung cemberut, “Yaudah deh, kita duduk di sini dulu sampai kamu tahu tempat lain.”

Karena Karina terlihat sedih, Ardana pun tengah berpikir keras ke mana lagi tempat yang harus mereka tuju hari ini, dan ia memikirkan satu tempat yang sangat tepat untuk hari yang sudah siang di tengah terik matahari.

“Eh, udah siang nih, gimana kita cari makan aja? Kamu ada maag gak? Entar kambuh lagi kalau kita gak makan siang,” usulnya.

Karina mengangguk, “Emm, boleh juga. Aku sebenarnya juga udah laper sih, hehe. Tapi aku sembunyiin aja, biar masih bisa keliling sama kamu.”

Ardan menyentil kening Karina menggunakan jari telunjuknya, “Eh, kalau kamu sakit gimana? Siapa juga yang mau ngangkat kamu, pasti berat nih!”

“Ishh, gak, ya! Kamu sok tahu banget, berat badan aku gak nyampe 50 tahu, mungkin karena tubuhku juga pendek.”

“Yaudah, ayo deh! Entar keburu makin panas nih, udah lapar juga.”

Karina dan Ardana kembali ke tempat parkir di mana motor Ardana berada. Seperti halnya saat mereka berkeliling tadi, Ardana ternyata masih menggandeng tangan Karina, Karina juga tidak ingat dengan sikap canggung mereka tadi. Ardana melepas genggaman tangannya, lalu naik ke motornya, setelah itu barulah Karina menyusulnya naik. Mereka memakai helm masing-masing, Ardana baru saja ingin membantu Karina memakai helmnya, tetapi ia sudah bisa memakainya sendiri sekarang.

“Udah?” tanya Ardana.

“Iya, udah kok.”

“Oke, pegangan, ya!” Ardana menghidupkan motornya, lalu segera meninggalkan Taman Mini Indonesia Indah.

Suasana kembali seperti tadi, menjadi canggung. Hanya terdengar suara kendaraan di mana-mana dan juga suara angin yang tersapu di udara. Karina juga masih tak mau berpegangan pada Ardana, ia hanya mengandalkan pundak Ardana yang ia pikir kokoh untuk menjadi pegangan supaya ia tidak terjatuh.

Tak lama kemudian, Karina memberanikan diri untuk bertanya pada Ardana tentang tujuan mereka, “Emm, Ar. Kita mau ke mana?” tanya Karina.

Ardana melirik ke belakang sejenak, “Aku tahu satu kafe, biasanya tempat aku dan teman-teman nongkrong juga. Kayaknya mereka bakal ada di sana juga, entar aku kenalin deh sama mereka,” jawabnya dengan jelas.

“Owh, oke deh.” Tak banyak bertanya, Karina lalu kembali diam dan menunggu sampai di tempat yang dimaksud oleh Ardana.

Setelah kurang lebih 15 menit menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai di kafe yang sudah menjadi langganan Ardana dan juga teman-temannya itu.

Ardana memarkirkan motornya, lalu Karina turun seraya melepaskan helmnya. Sedangkan Ardana masih sibuk dengan motornya, Karina merasa asing dengan tempat itu.

“Aku gak tahu tempat ini,” ucap Karina.

Ardana turun dari motornya, lalu menggantungkan helmnya di motor, “Ya, iyalah. Yaudah, yuk, kita masuk aja! Udah banyak yang aku kenal kok di sini, sampai yang masak juga aku tahu kok.”

“Iya-iya, aku percaya.”

“Ayo!” Lagi-lagi Ardana langsung menggandeng tangan Karina, mereka masuk ke dalam kafe itu dengan diperhatikan oleh banyak pasang mata yang ada di depan mereka. Tetapi, tampaknya Ardana memang tak merasa khawatir dengan hal itu, ia memiliki sikap percaya diri yang tinggi, jadi mana mungkin ia bersikap malu-malu dengan orang yang sudah ia kenal.

“Ardana, kamu langsung ngambil-ngambil tanganku gitu, bikin kaget tahu?!” batinnya dengan wajah kesal.

Ardana berjalan menuju ke satu meja yang ada satu wanita dan tiga laki-laki yang sedang berdebat sambil melihat ke laptop yang ada di atas meja tersebut. Karina mengikuti langkah Ardana untuk menuju ke sana, ia tidak bisa membuka mulutnya untuk mengatakan tidak.

Ardana melambaikan tangannya kepada orang yang sedang ia dan Karina tuju, “Hai, guys!” sapanya sambil tersenyum. Ia tak menyadari kalau masih menggandeng tangan Karina.

“Wih, Ardana! Apa kabar, bro? Gila, udah bawa cewek aja lo,” balas laki-laki yang memakai sweater merah.

Ardana melirik Karina, “Oh, ini? Ini Karina, teman baru gue. Bukan anak sekolah kita, makanya lo pada gak kenal, kan?”

“Oh, hai, Karina! Nama gue .... Cici, gue temen akrabnya si Ardana,” wanita yang Karina perhatikan tadi, menjabatkan tangannya untuk berkenalan.

Karina menatap ragu pada Ardana, tapi Ardana dan satu temannya tadi hanya tersenyum melihat ekspresi wajahnya itu, “Iya, salam kenal, Cici!” ia membalas jabatan tangan dari Cici.

“Kalau gue, Carlos. Yang dua lagi tuh, kembar mereka, makanya mukanya sama. Namanya Dani dan Dano,” ucap laki-laki yang memakai sweater merah itu.

Karina tersenyum, “Iya, salam kenal juga untuk kalian semua.”

“Bagaimana? Teman-temanku aneh semua kan? Tapi walau gitu sih, seru temenan sama orang yang kayak mereka, jadi gak sedih,” jelas Ardana.

Karina mengangguk pelan, “Iya, makasih udah ajak aku ke sini, Ar.”

Sementara mereka sudah sampai di sana, Ardana hampir lupa kalau Karina sudah lapar tadi, “Oh, iya. Lupa, tadi kamu lapar kan?”

“Iya, kamu lupa?”

“Iya, makanya diingetin lagi dong, gimana sih!” kesal Ardana. Lalu ia memanggil seorang pelayan di sana, ia menyuruh Karina memesan apa saja yang mau di makan olehnya, setelah itu barulah pelayan pergi mengambilkan makanan yang telah dipesan tadi.

Karina duduk berdiam diri, ia merasa canggung walau sudah saling berkenalan dengan teman-teman Ardana yang menjadi teman barunya juga. Ardana sibuk mengobrol dengan teman-temannya, ia menjadi lupa dengan Karina yang mudah kesepian itu.

“Ar, coba lo reset ulang lagi sistemnya bisa gak?” tanya Dani.

Dano mengarahkan layar laptopnya pada Ardana, “Iya nih, bro. Kita berdua udah pusing banget dari tadi, gak kelar-kelar.”

Ardana tertawa, “Ya, salah lo berdua lah nih! Asal ngatur-ngatur sistem sendiri, jadi eror deh.”

“Ahaha, iya tuh bener banget. Kayak otak lo berdua yang kembar 11-12!” sindir Cici.

Karina memperhatikan hubungan Ardana dan teman-temannya yang terlihat menyenangkan, saling melengkapi satu sama lainnya, tanpa membeda-bedakan. Ia tidak bisa ikut ke topik yang sedang dibahas oleh mereka semua, Karina belum terbiasa dengan orang-orang yang memiliki sifat terbalik dengannya.

Saat Karina tengah termenung sendiri, seseorang meletakkan satu per satu makanan yang ia pesan di atas mejanya, ia pun melihat orang itu, “Hai, kenapa diam aja? Gak ngobrol sama mereka? Canggung ya, berarti kamu pemalu anaknya?” tanya pria yang memakai baju pelayan itu sambil tersenyum.

Karina membalas dengan senyuman, “Iya, saya gak terbiasa berbicara dengan bahasa yang terlalu anak Jakarta, dan saya juga gak bisa banyak mengobrol,” jawabnya.

“Jangan minder gitu dong, entar cantiknya hilang! Tuh, kamu juga seharusnya negur Ardana suruh sama kamu aja disini duduknya. Jangan malah diem aja sendirian, gak bagus loh!”

“Iya, saya tahu kok.”

Pria itu datang pada Ardana dan menyuruhnya untuk menemani Karina yang kesepian, “Eh, Ar. Lo kalau bawa cewek tuh ditemenin napa sih? Kelamaan jomblo nih kayaknya makanya gitu.”

“Oh, iya. Lupa gue, bang. Makasih, udah ngingetin,” ucap Ardana, “Guys, gue pindah tempat duduk dulu ya, entar balik lagi kok.”

“Ini gimana?” tanya Dani yang masih bingung dengan kerusakan laptopnya.

Ardana berdiri dari tempat duduknya, “Gue juga gak paham lagi lah sama tu laptop, masalahnya itu-itu mulu, udah beli aja yang baru sana!” jawabnya santai.

Carlos dan Cici hanya tertawa terbahak-bahak dengan perkataan Ardana. Ia langsung pindah tempat duduk ke meja Karina, setelah pria pelayan itu memintanya untuk lebih memperhatikan Karina yang tampak kesepian lagi.

Karina menatap bingung pada Ardana yang tiba-tiba datang dan duduk dengannya, “Aih, kenapa kamu jadi pindah ke sini? Sana aja, sama teman kamu!” usulnya dengan nada pelan.

Ardana menatapnya sambil tersenyum, lalu mencubit pipi kiri Karina, “Ya, gak mungkin lah aku ninggalin kamu sendirian. Kan aku pergi ke sini nya sama kamu, gimana sih?!” balasnya, “Udah, kamu makan aja tuh, kasihan dicuekin terus makanannya dari tadi.”

Karina mengangguk, “Iya, kamu juga makan tuh,” ia menyantap makanannya.

Saat menyantap makanannya, tiba-tiba Karina merasa ada yang ganjal dengan kepalanya. Ia merasa pusing, padahal tadi masih baik-baik saja. Ardana yang tadinya sibuk bersaut-sautan dengan teman-temannya dari tempat duduknya pun, tak sengaja melirik kembali pada Karina.

Karina menundukkan kepalanya, tak lama kemudian darah menetes dari hidungnya. “Rin, udah siap belum ma ..... kannya?” Ardana terkejut melihat darah yang ada di hidung Karina.

Karina pun berusaha membersihkannya menggunakan tisu, “Ah, ini ... aku kayaknya kecapean aja, gak usah khawatir. Udah biasa gini kok,.....aku ke toilet dulu ya!” ia langsung bergegas membawa tasnya untuk pergi ke toilet.

“Rin, Karina! Beneran gapapa tuh?” tanya Ardana dengan nada khawatir.

“Iya,” jawab Karina singkat sambil berjalan ke toilet.

Karina belum memberitahu Ardana kalau ia bukan sakit biasa, ia sengaja menyembunyikannya supaya Ardana tidak terlalu memperhatikannya. Ia sangat tidak menyukai hal itu, karena nanti Ardana akan bersikap kasihan padanya. Makanya ia mengira lebih baik jika Ardana tidak mengetahui tentang adanya penyakit di dalam tubuhnya itu, supaya Ardana bersikap yang sama seperti saat dia menyikapi teman-temannya. Sementara, di dalam toilet ia meminum obat yang ia bawa di dalam tas kecilnya itu.

BERSAMBUNG.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status