Share

Sok Kenal, Sok Dekat

Karina melepas jabatan tangan mereka dan kembali fokus menulis puisinya, “Nah, sekarang kan udah tahu nih, nama masing-masing, kamu sekolah di mana sih?”

“Aku gak sekolah di sekolah umum. Aku Homeschooling, jadi harus belajar di rumah.”

“Owh, gitu. Kalau boleh tahu, emang kamu kenapa harus Homeschooling, padahal kamu punya bakat bagus kayak gitu?” tanya Ardana dengan wajah penasaran.

Karina berhenti menulis sejenak, lalu menatap Ardana dengan serius, “Emm, aku gak sekolah umum, karena orang tuaku melarang aku dekat dengan banyak orang, karena .... aku akan segera melanjutkan sekolah ke luar negeri.” Jawabnya dengan nada gugup, mencoba mengatakan hal yang berbeda dari kenyataan sebenarnya.

Ardana tersenyum, “Kalau kamu gagap gitu, lucu banget liatnya.”

Karena Ardana bilang kalau wajahnya sangat lucu ketika berbicara ngelantur, ia pun mengambil ponsel yang ada di dalam tas sandangnya dan melihat ke layar ponselnya untuk melihat bagaimana ekspresi wajahnya.

Ia kesal, wajahnya tidak terlihat seperti yang dikatakan oleh Ardana, “Mana ada wajahku seperti badut, biasa aja tuh.”

“Iya, bercanda, kok. Jangan terlalu serius banget, Rin.”

Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, kemudian Ardana mengambil ponselnya secara tiba-tiba. “Hei, mau ngapain sama ponselku? Kembalikan, sini!”

Ardana berusaha menghindari tangan Karina, ia membuka ponsel Karina dan menyimpan nomor ponselnya di kontak. “Nih, namaku udah ada di kontak. Tadi aku juga udah kirim pesan, entar aku juga simpan nomor kamu.” Ardana mengembalikan ponsel milik Karina.

Seketika Karina kesal, tapi ia lagi-lagi tak bisa mengatakan apapun untuk menegur Ardana yang memiliki sifat seperti itu. Saat melihat Ardana, Karina jadi ingat akan teman-teman semasa ia sekolah di SMP dulu. Dulu begitu banyak anak laki-laki di sekolahnya yang mencoba mendekatinya, tetapi Karina menolak mereka semua dengan sangat terbuka.

Karina baru ingat, sejak tadi ia belum bertanya kenapa Ardana bolos sekolah dan malah mengikutinya sampai di Taman, “Oh, iya. Kenapa kamu bolos sekolah? Seharusnya kamu sekolah, kan? Kenapa malah mengikutiku sampai sini.”

Ardana mengetuk keningnya, ia juga baru mengingat hal itu. “Oh, benar juga. Tapi, gak masalah sih, sekolah mah masih panjang. Besok juga masih bisa,” jawabnya dengan santai.

Karina menggeleng, “Emm, gak boleh gitu! Ardana, kamu seharusnya berpikir, masih banyak anak-anak lain yang gak bisa sekolah di sekolah seperti kamu. Termasuk aku, aku gak bisa ketemu sama teman-teman aku karena aku gak sekolah, aku gak kenal siapapun diluar sana, dan aku juga gak akan pernah kenal sama siapapun.”

“Jadi, saranku ..... kamu seharusnya bersyukur bisa sekolah di tempat yang penuh dengan banyak orang dan juga bisa saling mengenal satu sama lainnya,” lanjut Karina panjang lebar.

“I-iya juga, sih. Tapi, kan, aku bukannya bolos berhari-hari, ini baru sekali aku bolos loh di sekolah. Ini semua salah kamu, Rin.”

Ardana menuduh Karina yang telah mengajaknya membolos sekolah, “Loh, kok aku sih? Kita aja baru kenal tadi, terus kamu tiba-tiba ngikutin aku, jadi siapa yang salah?”

Karina tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ardana padanya, ia pun menjelaskannya, “Salah kamu itu adalah ..... kamu udah buat mataku dan tubuhku gak bisa jauh-jauh dari kamu, Rin.”

“Cih, gombal. Udah simpan aja buat pacar kamu sana! Ngapain masih mau godain cewek lain, sih. Pasti kamu playboy, kan??” sindir Karina seraya merapikan semua barang-barangnya dan kembali berdiri.

Ardana ikut berdiri, “Enak, aja. Aku bukan playboy, kali. Lagian nih, kalau aku udah punya pacar ngapain masih ngikutin kamu sampai bolos sekolah? Gak masuk akal tahu, gak.” Ia menyangkal tuduhan Karina padanya.

“Oh, benarkah? Aku gak percaya. Aku mau pulang aja deh, atau cari tempat lain yang lebih bagus dan gak ada yang ganggu!"

Karina tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ardana, karena Ardana memiliki wajah yang tampan dan juga penuh senyuman, tidak mungkin dia masih single sampai sekarang. Karina juga kesal, karena Ardana datang di saat yang tidak tepat. Ia sebenarnya tahu apa yang dimaksud oleh Ardana tadi, tetapi ia pura-pura bersikap bodoh dan membiarkan Ardana menjelaskan secara jelas apa yang ia ucapkan itu.

Ardana berdiri di depan Karina untuk menahannya pergi, “Rin, jangan gitu lah. Kenapa coba gak percaya sama aku? Kasih tahu aku alasannya?” tanya Ardana dengan wajah bingung.

“Alasannya adalah .... karena wajahmu yang seharusnya laku, terus tinggi badanmu juga udah pas, terus senyum di wajahmu itu gratis, dan satu lagi .... kayaknya kamu multitalent banget, keliatan tahu, gak?!” batin Karina. Ia menatap Ardana dengan wajah kesal, padahal Ardana tidak tahu apa yang sedang dipikirkan olehnya.

“Awas, Ar! Aku mau pulang, aku gak boleh telat pulang ini.”

Ardana menyingkir ke samping, “Oke, gpp. Kalau kamu gak mau jawab sekarang, entar aku bakal minta terus ke kamu loh. Sampai jumpa lagi, Karina!”

Karina tak menghiraukan apa yang dikatakan Ardana, ia terus berjalan ke depan dan tidak melihat ke belakang lagi. “Terserah.”

Setelah berpisah dengan Ardana di Taman, Karina berjalan menuju ke sebuah supermarket yang tidak jauh dari sana. Ia pergi ke supermarket itu karena ingat dengan es krim, ia sangat menyukai es dengan berbagai rasa itu. Karena tak bisa memilih satu es krim, ia pun akhirnya memutuskan untuk membeli berbagai macam jenis es krim yang ada di supermarket itu untuk disimpan di dalam lemari es miliknya di rumah.

Salah satu pembeli menghampirinya dan bertanya, “Mbak, banyak banget beli es krimnya. Untuk anaknya di rumah , ya?” tanya perempuan itu.

Karina memperhatikan perut perempuan itu yang terlihat sedikit menonjol,“Oh, gak gitu. Saya beli untuk diri saya sendiri, mbak. Lagipula saya belum punya anak,” jawabnya, “Nikah aja belum, masa udah langsung punya anak?” batinnya.

“Oh, gitu, ya. Saya kira sudah punya, semoga cepat punya, ya!” ucap perempuan hamil itu dengan ramah.

Karina tersenyum, “Iya, terima kasih.”

Perempuan tadi sudah pergi ke kasir, tetapi ia tetap kepikiran dengan ucapan perempuan asing itu. Ia terus memikirkan tentang waktu yang ia punya, ia sangat khawatir kalau tidak akan punya waktu sampai di saat itu tiba.

Ia menunduk sambil menatapi keranjang yang berisi es krim itu, “Huffhh, sedih sih. Kalau aku tidak bisa sampai ke saat itu, hidupku benar-benar tidak beruntung,” ucapnya pelan. Lalu berjalan menuju ke kasir market tersebut untuk membayar es krim yang ia ambil tadi.

Di perjalanan pulang ke rumah, ia memutuskan untuk naik taksi saja, karena kakinya sudah mulai kelelahan. Ia baru ingat tentang obatnya, ia menyesal karena tidak membawa barang penting itu, “Hah, kenapa aku gak bawa obatnya sih tadi? Malah cuman liat bentar doang, abis itu pergi.”

Sesaat setelah ia bergumam sendiri, darah menetes dari hidungnya, sehingga mengenai tangannya,”Aih, kenapa lagi nih? Udah lupa beli tisu, gak bawa obat, ketemu cowok aneh lagi!” ucapnya kesal, sambil menghapus darah yang ada di hidungnya.

“ini, mbak. Saya ada tisunya, pakai aja!” sopir taksi itu menyodorkan sekotak tisu padanya.

Ia mengambil tisu itu, lalu membersihkan semua bagian yang terkena darahnya, “Makasih, pak. Saya emang ceroboh orangnya, untung ada bapak.”

“Sama-sama, mbak. Lain kali, bawa benda yang lebih penting terlebih dahulu sebelum bawa yang lain.”

Karina mengangguk mengerti, “Iya, pak. Saya mengerti, sekali lagi terima kasih!”

Ping! Suara pesan masuk dari ponsel Karina.

Ia pun bergegas membuka ponselnya untuk melihat pesan dari siapa, “Ibu, pulangnya malam? Udah kuduga, gak perlu bilang juga nggak papa, bu.” Batinnya.

Terlihat di wajahnya sangat kecewa dengan sikap ibunya. Ia mengira kalau ibunya sangat mengerti tentang keadaan yang harus ia terima, tetapi kenyataan itu berbanding terbalik dengan sikap ibunya yang selalu pergi dan pulang malam. Ayahnya selalu bertanya, apakah ibunya selalu ada di rumah, Karina berbohong dengan mengatakan kalau ibunya memang tetap berada di rumah sambil melihatnya belajar di dalam kamar. Ia mengatakan hal itu, supaya ayahnya tak khawatir dan memperpanjang masalah, ia tidak ingin kedua orang tuanya jadi bertengkar karenanya.

Perjalanan pulang, ia terus memikirkan tentang kondisinya dan juga keluarganya, ia tidak memikirkan hal lain sekarang ini.

Taksi yang ditumpangi berhenti tepat di depan rumahnya, “Mbak, kita sudah sampai.”

Karina tersadar dari lamunannya, “Oh, iya, pak. Ini ambil aja kembaliannya, ya.” Karina memberikan uang Rp 100.000 kepada sopir taksi itu.

“Makasih, mbak. Semoga sehat selalu, ya!”

Karina keluar dari taksi sambil tersenyum, “Iya, pak. Aamiin.”

Ia menunggu sampai taksi itu pergi, setelah tidak terlihat lagi oleh kedua matanya, ia pun memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah.

Malam harinya ......

Sekarang menunjukkan jam 8 malam. Karina menunggu ibunya kembali di ruang keluarga sambil menonton televisi supaya tidak terlalu sepi.

“Aih, mana ibu? Udah jam 8, kalau belum pulang juga, ibu bisa keduluan sama ayah.”

Ping! Suara pesan masuk dari ponsel Karina.

Ia pun langsung membuka ponselnya dan melihat siapa yang memberi pesan padanya. Ternyata tertulis nama ARDANA di pesan itu. Karina merasa malas untuk melihat pesan yang dikirim oleh Ardana padanya, “Ah, paling cuman iseng chat aja. Biasanya kan kalau cowok tuh suka basa-basi dulu.”

Ping! Ping! Suara itu terus muncul di ponselnya, sehingga layar ponselnya berkali-kali hidup lalu mati, hidup lagi lalu mati lagi.

Ia merasa kesal, lalu segera membaca pesan dari Ardana, “Awas aja, kalau cuman mau basa-basi entar aku hapus nih nomor kamu Ardana!”

Ardana

Selamat malam, Rin. Gimana tadi, beneran pulang sendiri?

Anda

Iyalah, emang kenapa?

Ardana

Jutek amat. Gak boleh gitu, loh. Kan aku cuman mau nanya doang, siapa tahu kamu kesepian, kan aku bisa nemenin.

Anda

Ish, siapa juga yang mau ditemenin sama orang aneh kayak kamu. Baru juga kenal tadi udah sok dekat aja!

Ardana

Emangnya aku gak boleh dekat sama kamu? Kamu belum punya pacar, kan? Jadi aman dong buat deket sama kamu.

Anda

Ya, boleh sih, tapi .... aku gak yakin tuh sama kamu.

Ardana

Tuh, boleh, kan? Yaudah, mulai besok kita harus sering ketemu, ya!

Bisa, kan? Kamu gak akan homeschooling, karena besok minggu.

Anda

Emm, terserah deh. Aku gak bisa maksain, susah kalau ngomong sama orang yang sifatnya kayak kamu, Ar.

Untung aku baru ketemu satu yang kayak kamu, kalau gak .... gak tahu deh.

Ardana

Yaudah, See you again and ... Good night, Karina.

Anda

Iya, See you too, Ardana. Good night.

Percakapan Karina dan Ardana lewat chat sudah selesai. Awalnya ia merasa sangat kesal dengan sikap Ardana yang terlihat seperti anak yang suka bolos sekolah dan tidak sopan, tetapi ia lama-lama berpikir untuk tetap positive thinking pada Ardana.

“Untung aja karena aku gak punya temen untuk sekarang, aku jadi ngandelin kamu dulu untuk sementara, Ar. Gapapa, kan? Aku ingin punya satu teman yang bisa mengerti apa yang aku rasakan,” gumamnya sambil tersenyum kecil.

Karina kembali meletakkan ponselnya di meja. Tak lama kemudian, ibunya kembali dari rumah temannya, dan langsung menyapa putrinya itu.

“Ibu, sudah pulang?” tanya Karina.

Ibu mengangguk dengan wajah lesu, “Iya, sayang. Kamu gak ke mana-mana, kan tadi? Di rumah aja, kan? Ibu masuk dulu ya ke kamar, udah capek banget nih!” setelah menyapa anaknya, ia langsung berjalan menuju tangga dan naik ke lantai dua.

Karina berdiri sambil memperhatikan ibunya berjalan dengan sangat aneh, “Kenapa ibu berjalan sempoyongan begitu? Dia lelah kenapa coba, padahal abis dari rumah temannya.”

Karena ibunya sudah pulang, ia pun mengemas barang-barangnya, lalu mengunci pintu utama. Ia masih sangat kebingungan dengan ibunya, walau ibunya sering pulang malam, tidak pernah terlihat berantakan seperti tadi.

Setelah memastikan semua sudah terkunci, ia pun masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.

BERSAMBUNG.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status