Share

Kastil Megah

Mobil sedan hitam membawa Maria dan juga Mark. Di dalam mobil itu mereka hanya diam membisu. Bahkan suara musik pun tidak terdengar sama sekali.

Keheningan menemani mereka menuju kastil megah milik Mark.

Dua jam perjalanan, akhirnya mereka pun tiba. Maria melirik bangunan di depannya. "Apakah ini istana?" batin gadis itu.

"Apa kau lebih suka tinggal di dalam mobil?" cetus Mark yang sudah keluar dari mobil.

"Kalau aku diberi pilihan untuk tinggal di mobil, maka aku lebih baik diam di sini," bisik Maria.

"Apa kau mengatakan sesuatu?" tanya Mark penuh selidik.

"Tidak!"

Maria pun keluar, mengikuti jejak langkah Mark memasuki kastil yang menjulang tinggi.

Warnanya coklat tua, bagian dalam dipenuhi pernak-pernik klasik nan unik.

Di sudut ruangan lantai satu terdapat tirai kristal putih. Ada pula patung harimau yang tampak menyeramkan. Mata hewan buas itu berwarna merah menyala.

Sedangkan lampu gantung terlihat remang-remang.

Hampir seluruh ruangan memiliki bola lampu kuning. Sehingga menambah kesan klasik yang mendalam.

Maria mulai bergidik ngeri tatkala patung harimau itu bersuara. Rupanya suara tersebut merupakan kunci untuk menuju lantai atas.

"Ini rumah atau istana hantu? Mengapa sangat menyeramkan?" batin Maria semakin ketakutan.

Bug!

Seperti biasa, Maria kerap tidak memperhatikan jalannya. Sehingga punggung Mark menjadi sasaran.

"Apa kau selalu menyimpan bola matamu di belakang? Mengapa kau selalu menabrakku?" cetus Mark kesal.

"Maafkan aku. Aku hanya takut pada harimau," sahut Maria jujur.

"Harimau?" Kening Mark berkerut tak paham. Namun, sedetik kemudian pandangannya tertuju pada patung harimau yang terpampang di dinding dekat lift.

Kini Mark paham, bahwa Maria takut pada benda mati tersebut. "Hati-hati, biasanya menjelang malam hari patung itu berubah menjadi mahkuk abstrak." Akan tetapi, alih-alih menenangkan Maria, Mark justru semakin menakut-nakutinya.

"Apa?" Dan benar saja, wajah Maria semakin pucat. Ekspresinya kian kentara.

"Tenang saja, dia tidak akan menggigit bila kau menjadi anak yang patuh," imbuh pria itu. Lantas menekan tombol lift ke lantai sembilan.

Sesampainya di sana, Mark disambut oleh beberapa pelayan. Mereka menunduk memberi hormat. Di antaranya ada yang berbisik, "Apakah gadis itu istri Tuan Mark?"

"Mungkin saja. Dia terlihat sangat polos dan kampungan," kata pelayan yang lainnya.

"Dengar, mulai saat ini kamar di ujung sana adalah miliknya. Tidak boleh ada yang mendekat kecuali perintah dariku. Apa kalian paham?" Mark mulai mengeluarkan mandat. Memerintah para pelayan agar memperlakukan Maria dengan baik selayaknya manusia.

"Baik, Tuan," sahut seluruh pelayan itu secara bersamaan.

"Rebeca, antar dia ke kamarnya. Pastikan semuanya tersedia dengan baik. Jangan sampai ada yang terlupakan," titah Mark kemudian.

"Baik, Tuan."

Maria dibawa oleh Rebeca, pelayan berusia dua puluh sembilan tahun.

"Silahkan, Nona." Wanita dengan rambut pirang itu memberi interupsi kepada Maria untuk mengikutinya.

Sedangkan Mark memasuki kamar pribadinya yang tak jauh dari kamar Maria tadi.

"Silahkan masuk, Nona. Mulai sekarang ini adalah kamar Anda. Jika Anda membutuhkan sesuatu, silahkan panggil saja aku. Sebab, mulai saat ini aku adalah pelayan Anda."

Maria terkesiap. Matanya pun turut membeliak. Betapa tidak, beberapa waktu lalu Mark memintanya untuk menjadi pelayan. Lantas apa yang terjadi saat ini? Mengapa Rebeca justru menjadi pelayannya? Apakah itu artinya pelayan juga mempunyai pelayan? Atau pelayan memiliki tingkatan?

Jika benar demikian, bukankah Maria masih tergolong baru di tempat itu? Lalu bagaimana bisa ia mempunya pelayan? Ataukah Mark sengaja membodohi dirinya untuk menjadikan ia sebagai pendamping?

Bila itu benar, maka Mark merupakan kaum pedofil. Menyukai anak dibawah umur menjadi istri.

"Pelayanku? Bukankah aku juga seorang pelayan di sini? Lalu bagaimana bisa kau..."

"Maaf, Nona. Saya tidak berkewajiban untuk menjawab pertanyaan Anda. Hal itu Anda bisa tanyakan langsung pada Tuan Mark. Permisi," sahut Rebeca penuh misteri.

Wanita bergincu nude itu pun pamit undur diri.

"Ada apa ini sebenarnya? Mengapa aku mempunyai pelayan pribadi? Bukankah kedatanganku ke tempat ini sebagai pelayan seperti yang lainnya? Aku harus bertanya pada Mark," bisik Maria.

Tanpa berpikir lagi, Maria pun keluar kamar. Hendak menemui Mark. Namun, sialnya ia masih belum mengetahui di mana letak kamar pribadi pria tersebut. Alhasil Maria pun tersesat. 

Dia tak tahu arah jalan pulang. Ruangan itu terlalu berliku. Terlebih lagi ada cermin besar sebagai pembatas tembok. Hal tersebut menyebabkan ia kebingungan. Hanya Mark lah yang tahu persis bagaimana cara menemukan jalan keluar.

"Apakah aku tersesat? Mengapa aku tidak menemukan ruangan yang lain? Bukankah tadi ada ruangan lain di ujung sana?" Maria semakin kebingungan. Pasalnya sebelum Rebeca mengantarnya ke dalam kamar, ia melihat ada sebuah pintu di ujung ruangan yang menunjukkan, bahwa masih ada ruang lain di sana.

Maria tidak mau putus asa, ia terus mencari cara untuk keluar. Naas, wanita itu tidak menemukan apapun di sana. Semakin ia bergerak, ruangan itu kian mengecil, hingga menghimpitnya.

Ting!

Namun, beberapa saat kemudian terlihat cermin itu bergerak mundur. Memberi ruang untuk Maria. Lalu tembok yang tadinya menghimpitnya perlahan terbuka. Hingga nampaklah Mark di sana.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini? Mengapa kau keluar dari kamarmu?" tanya Mark penuh penekanan.

Sesungguhnya Mark sangat lelah. Dia hendak beristirahat, tetapi tombol yang menghubungkan kamarnya dan Maria berbunyi cukup kencang.

Tombol itu ibarat alarm, bahwa ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi.

"Aku sedang mencari kamar Anda, Tuan," sahut Maria.

"Kamarku? Untuk apa kau mencari kamarku? Apakah kau ingin menjalankan tugasmu sebagai pelayan?" Jawaban pria itu sontak membuat Maria terdiam.

"Apakah itu artinya aku akan menjadi budak pria ini?" Maria mulai berfantasi liar. Membayangkan ia menjadi budak seks pria tersebut.

"Tuan..."

"Dengar, aku bukan pedofil seperti yang kau pikirkan saat ini. Aku adalah pria normal. Kau hanya murni akan menjadi pelayanku. Bukan partner hidupku. Jadi, singkirkan pikiran buruk dari otak kecilmu sebelum aku melakukan sesuatu yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya." Seakan tahu apa yang dipikirkan Maria, Mark pun mengultimatum gadis manis tersebut. 

"Lalu mengapa Tuan memberiku seorang pelayan?" tanya Maria akhirnya.

Mark tidak langsung menjawab. Pria itu mendekati Maria secara perlahan dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

Lantas pemuda tampan itu memasukan kedua tangan ke dalam saku celana sembari berkata, "Karena kau adalah pelayanku, bukan pelayan mereka. Hanya aku yang boleh memerintahmu. Bukan orang-orang itu. Apa kau paham sekarang?"

Tidak, Maria masih belum paham. Bagaimana bisa seorang pelayan memiliki pelayan? Bukankah ini artinya berbeda? Maria seakan menjadi pelayan istimewa dalam kastil tersebut. Atau dengan kata lain ia merupakan istri dari Sang pemilik gedung megah itu.

"Tidak! Aku tidak paham," sahut Maria akhirnya.

"Kembalilah ke kamarmu, nanti malam aku akan jelaskan. Sekarang aku benar-benar lelah," ungkap Mark.

"Nanti malam? Apakah itu artinya dia akan memintaku untuk tidur bersama? Bukankah barusan dia berkata, bahwa ia bukanlah seorang pedofil? Lalu apa ini?" Maria mulai panik dalam hati. Berpikir segala kemungkinan yang akan terjadi.

"Mengapa diam saja? Apa kau lebih suka terkurung dalam ruangan ini?" imbuh pria itu setelah tak mendapati pergerakan dari Maria.

"Baiklah," sahut Maria dengan nada pelan.

"Sebenarnya apa yang akan dilakukan pria itu padaku? Apakah ini awal dari segala penderitaan yang ku alami kelak? Ya Tuhan, tolong jangan uji aku sampai melebihi batas kemampuan." Maria berdoa di dalam hati sembari meninggalkan Mark.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status