Alan baru terbangun dari atas ranjangnya. Jubah tidurnya bahkan masih belum berganti. Jam di nakas baru menunjuk pukul setengah 6 pagi, tapi suara ribut di bawah sudah membuat telinganya tak nyaman.
Wanita bernama Alanair Welington atau sekarang sudah berubah menjadi Alanair Wildberg, karena beberapa bulan lalu dia menikah dengan Gavin Wildberg, penerus tahta Wildberg, seorang tuan muda yang sekarang menjabat sebagai CEO WG Corporation.
Dia membuka kamarnya dan segera berlari menuruni anak tangga.
"Aku hamil."
Suara pertama yang tertangkap telinga Alan, seketika membuat tubuhnya membeku.
Dia melihat adik tirinya berlinang air mata. Duduk bersimpuh di tengah-tengah lingkaran keluarga Wildberg yang menggelilinginya.
"Kau serius!" teriak si bungsu Wildberg, gadis manis bernama Zenaya Wildberg.
"Untuk apa aku berbohong, Nay. I am serious!"
"Ternyata, kau memang perempuan jalang, Luna," ucap Nay yang terlihat mengepalkan kedua tangannya. Disusul suara tamparan yang cukup nyaring dilayangkan oleh Sang Nyonya besar Wildberg pada anak bungsunya.
"Nay!" Alan berteriak dari atas anak tangga. Dia menguatkan hatinya saat mendengar ucapan pedih yang keluar dari bibir adik tirinya.
"Bukankah, Alan lebih jalang dariku."
"Si pemalas, rupanya baru bangun." Grifida Wildberg menatapnya remeh. Wanita sosialita dengan gayanya yang angkuh itu sejak awal tidak pernah menyukai sosok Alanair.
"Alan, kau lihat, adik tirimu benar-benar mengkhinatimu. Dia menusukmu dari belakang."
"Apa katamu, aku dan Gavin sama-sama saling menyukai. Tetapi, perjodohan bodoh itu membuat semuanya buyar seketika." Grifida meraih bahu Luna. Wanita angkuh itu memeluk gadis itu begitu erat, membuat Alan seketika membuang wajahnya.
Hatinya terlalu pedih menyaksikan betapa sayangnya ibu dari suaminya ini pada Luna. Padahal dia adalah menantu di rumah ini.
"Jangan menangis, aku akan menyuruh Gavin bertanggung jawab dengan kehamilanmu," ucap Grifida sembari mengusap pucuk kepala Luna.
"Mama!" Nay berteriak. Dia melirik kakak iparnya yang hanya diam menunduk. Memilih diam dan tidak ingin bertindak.
Nay berdecak kesal. Dia menghampiri Alan yang masih berdiri layaknya patung di tempat yang sama.
"Al, kau jangan hanya diam, kau ingin Gavin direbut olehnya, aku yakin dia berbohong. Luna tidak benar-benar hamil, gadis pendusta."
"Nay, jangan bicara omong kosong. Untuk apa Luna berpura-pura." Lagi-lagi Grifida membelanya, membuat Nay semakin kesal dan Alan yang merasa hatinya semakin remuk.
"Mama, kau percaya padanya!" Jarinya menunjuk tepat di depan wajah Luna.
"Aku bisa membuktikannya." Gadis Welington itu mengobrak-abrik tas miliknya. Dia mengeluarkan selembar kertas dan menyerahkannya pada Nay yang langsung direbut paksa oleh gadis cantik bermata biru tersebut.
Sialan, Nay benar-benar marah. Dia meremat kertas itu dan membuangnya tepat di wajah Luna.
"Kau! Jalang, berani sekali kau mengkhianati Kakakmu, huh!"
"Dia bukan Kakakku, dia hanya gelandangan yang dipungut oleh keluarga Welington, seharusnya dia tahu diri."
Alan seperti kehilangan persendiannya. Tubuhnya lemas mendengar suara Luna yang menyudutkannya. Apalagi hatinya yang sekarang sudah tak berbentuk lagi.
Dia hanya bisa diam menunduk, tanpa bisa melakukan apa-apa.
Selama ini dia selalu diam.
Menjadi gadis bodoh, yang mengikuti arus. Dia terlalu menyukai Gavin yang selalu bersikap dingin padanya.
Dia membutakan matanya, cinta membuat akalnya hilang. Jika selama ini sikap Gavin padanya begitu kaku dan dingin, namun Alan selalu menutup semua panca inderanya.
"Ada apa pagi-pagi sudah berkumpul." Alan baru berani mendongak saat mendengar suara Joshep Wildberg, Tuan besar di rumah ini, suami Grifida sekaligus ayah mertuanya, datang dari luar bersama Gavin yang masih mengenakan pakaian olahraga.
"Gav!" Luna berlari dan langsung menubruk tubuh Gavin. Laki-laki itu masih memasang wajah datarnya, namun kilat di matanya begitu kentara, jika dia terlihat bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Dia sekilas melirik ke arah Alan, gadis itu tidak menangis, hanya matanya yang terlihat kosong di balik kaca mata tebal ketinggalan jaman yang gadis itu kenakan.
"Ada apa?" Bahkan intonasi dari suara Gavin pun datar seperti biasa.
"Gav, aku hamil." Wajah cantiknya mendongak menatap Gavin yang tidak merubah raut di wajahnya. Laki-laki itu seperti tak memiliki ekspresi.
"Aku mabuk, saat itu," tutur Gavin.
"I know, but you do it because you have feelings for me."
"Omong kosong, jalang tetaplah jalang!" Nay berteriak lagi. Gadis itu memang tidak pernah menyukai Luna sejak awal.
"Aku bukan jalang, tapi Alan. Aku ingin Gavin menikahiku."
Joseph memijit pelipisnya. "Jangan membuatku pusing, cepat katakan Nona Welington. Apa benar kau hamil dengan putraku," ucapnya dengan mata berkilat dan menatap putranya yang sama sekali tak menunjukan reaksi apapun.
"Gavin, katakan sesuatu," ujar Joseph.
"Aku mabuk, jika dia hamil aku akan bertanggung jawab." Dia berkata begitu santai.
"Jadi, kau benar-benar menghamilinya." Nay bertanya lagi.
"Aku laki-laki normal yang butuh pelampiasan, malam ini aku akan melamar Luna."
Semua orang tercengang di ruangan ini. Alan bahkan sudah tak mampu menggerakan tubuhnya. Ini terlalu tiba-tiba, apa kabar dengan hatinya. Bahkan tubuhnya sekarang sudah merosot ke atas lantai, tanpa air mata tapi tubuh beku layaknya patung.
🍒🍒🍒
Buagh!
Ruangan tengah mansion mewah keluarga Wildberg menjadi saksi bisu di mana seorang Joseph Wildberg yang terkenal sangat menyayangi kedua anaknya dan sosok ayah yang penyabar untuk pertama kalinya memukul putra sulungnya hingga meninggalkan lebam di pipi kanannya.
"Joseph, hentikan!" Suara Grifida terdengar keras diiringi isak tangis melihat putranya jatuh terduduk di samping sofa dengan sudut bibir yang berdarah.
"Dia pantas mendapatkannya, lihat hal bodoh apa yang dia lakukan hingga membuat malu keluarga kita!"
"Gavin tidak bersalah, putraku tidak bersalah! Sejak awal kau lah yang bersalah, seharusnya Luna yang menjadi menantu di keluarga Wildberg, bukan si perempuan buruk rupa yang tidak jelas asal usulnya itu!" Jemari lentik Grifida menunjuk sosok Alan yang berdiri di samping Joseph dengan kepala tertunduk. Sakit yang ia rasakan. Sejak awal wanita anggun yang melahirkan Gavin dan Zenaya itu tak pernah menyukainya. Wanita itulah orang yang pertama kali menentang pernikahannya dengan Gavin 1 tahun yang lalu.
"Aku memilih Alan sebagai pedamping hidup Gavin, karena dia yang terbaik."
"Terbaik katamu, kau buta, dia seorang gelandangan, seorang wanita tidak jelas. Lihat saja, apa yang kita dapat setelah satu tahun menikah dengan Gavin. Mana cucu yang kuinginkan, dia tidak leboh dari perempuan mandul, dan apa yang kau lihat dari si buruk rupa ini, kau ingin keluarga kita punah!"
Luna semakin melebarkan senyumnya. Kemenangan sudah berada di depan matanya. Sebentar lagi, impiannya menjadi Nyonya Wildberg akan segera terlaksana.
"Apapun yang terjadi, aku akan menikahinya, tidak peduli jika Papa ingin membunuhku sekalipun," jawab Gavin dengan wajah tampannya yang dingin.
"Kau." Joseph geram. Dia membuang muka dan beralih menatap sosok menantunya yang kini memilih membisu tanpa ingin berusaha mempertahankan posisinya sebagai pendamping hidup putranya. "Alan," ucapnya kemudian.
Belum sempat lelaki paruh baya itu meneruskan kalimatnya. Buru-buru wajah berlinangan air mata si gadis lugu itu menatap Joseph dengan bibir bergetar. Sungguh ironis kenapa dia begitu cengeng. Istri macam apa yang tidak memiliki nyali hanya untuk mempertahankan posisinya di rumah ini. Selemah itukah dia? Kenyataannya memang dirinya adalah sosok pengecut yang hanya bisa mengalah.
"Aku akan mundur, Papa," ujarnya yang membuat Joseph dan Nay melotot ke arahnya.
"Apa maksudmu, Alan!" teriak Nay. Gadis itu menggoyang kasar tubuh kakak iparnya.
"Itu bagus, jadi aku tidak perlu susah payah untuk mendepakmu dari sini." Suara Grifida kembali membuat hatinya berdenyut nyeri.
"Tidak aku ijinkan kau melakukan itu, Alan adalah menantuku."
"Lalu, bagaimana dengan calon cucu kita, Joseph."
Pria itu mematung. Ingin rasanya dia tidak mempercayai omongan gadis Welington itu. Tapi bukti dari rumah sakit memperjelas semuanya, gadis itu memang tengah mengandung dan putranya sendiri mengakuinya jika Gavin memang pernah tidur dengan Luna. Apa yang harus dia lakukan, posisi Alan akan semakin sulit.
"Berapa uang yang kau inginkan, Nona Welington." Tawaran terakhir seorang Joseph Wildberg. Dia sudah diambang keputusasaan.
Mata Grifida melotot lebar mendengar penuturan suaminya. Kenapa Joseph begitu keras kepala ingin mempertahankan wanita norak itu, yang jelas-jelas akan merusak citra keluarga Wildberg jika publik tahu putranya menikahi anak pungut yang tidak jelas dari mana asal usulnya.
"Aku hanya butuh pertanggung jawaban, Paman. Bukan uang," tutur Luna percaya diri. Dagunya naik ke atas menyombongkan dirinya layaknya nona muda angkuh.
"Aku akan menikahi Luna, Papa."
"Aku tidak mengijinkanmu, Gavin!" teriak Joseph sekali lagi.
"Aku tidak peduli," sungut Gavin keras kepala. "Dan aku .., akan menceraikan Alan."
Bagai disambar petir. Degup jantung Alan menggila.
Cerai?
Dia tidak pernah siap untuk bercerai. Namun, dia tidak mampu melakukan apa-apa. Saat ini dia hanya bisa diam seperti orang bodoh.
Pemandangan kota Brigston, kota besar di sebuah negara bagian di Amerika, tak secerah biasanya. Langit mendung sejak senja mulai menapaki langit. Alan berdiri di depan balkon kamarnya. Rambut keriting sebahu berwarna pirang terlihat acak-acakan. Wanita lugu dengan kacamata berbingkai tebal berbentuk kotak itu mendekap erat tubuhnya. Hingga suara langkah kaki membuatnya berpaling dari pemandangan kelam di hadapannya. "Kau sudah selesai," ucap Alan yang melihat sosok suaminya berdiri tak jauh darinya. Alan melihat dari atas sampai bawah. Penampilan Gavin sangatlah memukau malam ini. Lihat saja tubuhnya yang kekar memakai kaos berwarna putih dengan kerah berwarna hitam, dan celana selutut berwarna mocca. Alan sempat terpesona dengan laki-laki bermata biru tersebut. Namun, kini hatinya tercubit nyeri, dia ingat jika Gavin bukan lagi miliknya seorang. Lagipula, laki-laki ini tak mengenakan pakaian yang dia pilihkan untuknya. Mata coklatnya melirik ke arah ra
Nay tak kuasa melihat sahabat merangkap kakak iparnya itu tersiksa dengan tindakan bodoh Gavin yang mencampakan wanita sebaik Alan dan memilih wanita penuh topeng di wajahnya yang menyebalkan. Prok Prok Prok Suara nyaring tepuk tangan membuat dua wanita itu mengalihkan atensi ke arah sosok Luna yang kini berdiri angkuh di depan pintu dapur yang menghadap langsung ke arah taman belakang. Kakinya yang jenjang melangkah mendekat ke arah mereka berdua dengan bibir terulas senyum remeh. "Drama yang cukup menarik, mengharukan sekali," ucapnya remeh. "Kau!" Nay emosi melihat wajah munafik wanita itu. "Apa? Aku tidak peduli apa yang ingin kau lakukan, Nay. Gavin sudah menjadi milikku, dan kau tahu sendiri, kan. Mama begitu menyayangiku, semua orang di pihakku, dan akan mudah sekali untuk mendepakmu dari sini Kakakku tersayang." "Tutup mulut sialanmu itu, sampai mati pun istri Kakakku hanya Alan!" teriak Nay. "Cih, dia h
Alan berusaha tegar setelah semalaman dia menangis karena pernyataan Gavin yang ingin menceraikannya. Hancur sudah, tak ada harapan lagi. Namun, dia akan tetap berusaha agar Gavin kembali menarik kata-katanya. "Wah, baunya harum sekali. Boleh untukku ya, Al," serobot Nay. Nay yang datang tiba-tiba berusaha merebut kotak berisi makan siang yang Alan buat untuk Gavin. "Kau bisa ambil di dapur, ini untuk Gavin," ujar Alan. Gadis enerjik itu mencebilkan bibirnya, namun mata birunya berkilat tersirat penuh godaan. "Wah, kau memasak spesial untuk Gavin, ya. Al, kau baik-baik saja." Kedua alisnya naik turun. "Aku baik, kenapa?" Mata indah Alan yang tersembunyi di balik kacamata tebal bergerak gelisah. "Soal ucapan Gavin kemarin, jika dia...." "Aku akan berusaha, agar Gavin menarik kata-katanya lagi. Bukankah aku juga istrinya, sudah cukup
Alan rasanya sudah tak kuat lagi berdiri. Tubuhnya rasanya ingin ambruk, dan kaki yang terasa lemas seperti jelly. Dengan mata telanjangnya dia menyaksikan suaminya bercumbu dengan Luna di kamar pribadi milik pria tampan itu yang berada di dalam ruangan ini. Inikah kejutan yang ia dapat. Setelah bayangan menyenangkan yang sempat Alan idamkan saat dirinya berangkat ke tempat ini, dan semuanya musnah dalam sekejab pandangan mata. Gadis itu mendesah nikmat dengan tubuh terlentang di atas ranjang. Napasnya terengah-engah dengan tubuh nyaris tanpa busana di bawah kungkungan sosok tegab suaminya. Tangan kurus Alan bergetar hebat, dengan irama jantung yang semakin cepat seolah ingin segera berlari keluar dari tubuh Alan. Tas berisi kotak bekal yang dia bawa dari rumah meluncur bebas begitu saja. Hingga menimbulkan bunyi 'Brakk' yang cukup nyaring, membuat Gavin langsung menyadari orang lain yang berada di dalam ruangannya. Lel
Alan tersenyum licik. Saat sudah menemukan benda yang tepat. Di gengamannya tersemat botol obat yang akan memuluskan rencananya. Dia tidak ingin menjadi wanita bodoh dan lemah lagi, jika Luna bisa merebut suaminya kenapa dia tidak. Dia harus menjadi lebih kuat dari wanita itu. Jika Luna menggunakan bayinya untuk meraih simpati dan perhatian Gavin, dia akan melakukan hal yang sama. Semua rencananya sudah terekam jelas di dalam kepalanya. Setelah membayar di kasir, Alan segera melesat keluar dari toko, dan kemudian menyetop Taksi. Ia masuk ke dalam kendaraan roda empat berwarna kuning tersebut. "Kita akan ke mana, Nyonya?" tanya si Supir setelah melihat penumpangnya duduk nyaman di dalam kursi jok belakang. "Woodridle strett nomor lima puluh tiga," jawabnya. "Baik," ucap si pengemudi Taksi yang sudah hampir memasuki usia senja telihat dari rambutnya yang telah memutih semua. Lelaki itu lantas melajukan Taksinya membelah jalan
Saat ini Alan tengah sibuk di dapur merancang rencananya untuk menjebak suaminya. Malam ini Alan tidak ingin ada kegagalan. Wanita itu pergi ke dapur, membuat susu hangat kesukaan Gavin. Dia yakin Gavin tidak akan menolak apapun buatannya, meskipun pria itu tak memiliki perasaan pada dirinya. "Kali ini aku pasti berhasil," gummanya begitu lirih. Bahkan semut pun tak mampu mendengarnya. Alan begitu bersemangat membuat susu hingga tak menyadari jika Nay sudah berdiri bersandar pada tembok tepat di di belaknganya dengan tersenyum manis seperti biasa. "Ehem." Gadis itu berdehem hingga membuat Alan terlonjak karena kaget. Dia takut, untung saja Nay belum melihatnya memasukan obat itu ke dalam susu milik Gavin. Jika Nay tahu, gadis itu pasti akan mengomel dan menentang rencananya. "Astaga, Nay. Sejak kapan kau di situ. Dirimu benar-benar membuatku hampir terkena serangan jantung," ujarnya.
Desahan saling bersahutan memenuhi kamar Alan malam ini. Wanita itu mabuk akan sentuhan yang suaminya lakukan. Akhirnya, mimpinya menjadikan Gavin miliknya seutuhnya terwujud malam ini meskipun dengan cara licik dia membuat laki-laki itu tak berdaya di bawah pengaruh obat. Alan menahan segala gejolak nikmat di dalam dadanya, saat keringat dari tubuh Gavin bercampur dengan miliknya. Gairahnya memuncak seolah dia terbang ke atas nirwana. Tubuhnya terlonjak di atas ranjang saat gempuran dari Gavin terus menghujamnya. Meleburnya menjadi nikmat yang tiada tara hingga saat dia mencampai puncak, dan bersamaan dengan pria itu yang menanamkan benihnya di dalam rahim Alan yang subur. Tubuh Gavin ambruk tepat di samping istrinya. Laki-laki itu menarik selimut dengan seperempat kesadarannya yang tersisa. Tenaganya terkuras habis. Alan yang menyaksikan suaminya hanya tersenyum puas dan dia benar-benar bahagia dengan hal yang baru saja dia lakukan bersama Gavin. Alan
Desiran angin malam menyibak helaian rambut hitam milik gadis lugu yang kini memilih duduk meringkuk di sudut balkon kamarnya. Kepalanya tertelungkup berbantalkan lutut di antara kedua kakinya yang ia tekuk. Wajahnya sudah basah oleh air matanya yang terus deras mengalir tanpa mau berhenti. Dadanya begitu nyeri. Apakah mencintai seseorang itu sebuah dosa? Kenapa rasanya begitu sulit, rasanya begitu sakit. Apalagi suara desahan yang terus terdengar di sepanjang malam hingga dini hari membuat hatinya semakin remuk. Sudah tidak ada harapan lagi, Gavin sudah bahagia dengan adik tirinya. Tidak ada kesempatan lagi untuknya bersama dengan suami yang paling ia cintai. Jujur, sejak tawaran ayah mertuanya untuk menikahkannya dengan Gavin membuatnya bahagia, impiannya untuk menjadi pasangan orang nomor satu di hatinya akhirnya terwujud. Tetapi, itu hanyalah ilusi semu, harapan masa depan bahagia dengan pemuda Wildberg itu tidak akan pernah terealisasikan. Jangankan