Aku masih saja ingin tertawa saat mengingat wajah Zainab yang sangat lugu itu. Dia benar-benar mengira kalau aku sudah menyentuh bagian penting dari tubuhnya. Dan lagi karenanya, mi instan yang kubuat menjadi lembek dan kehabisan air.
Apes! "Bapak beneran gak ngapa-ngapain saya, 'kan?" tanyanya lagi. Sekarang kami duduk di sofa ruang tengah dan menyantap makan malam yang gagal. "Iya, sudah" jawabku sambil menikmati mi instan yang lembek. "Berarti, Bapak juga udah lihat—" Ucapannya kembali menggantung. "Iya," jawabku lagi. "Tuh, 'kan! Bapak curang." Zainab merengek sembari memukul bahuku cukup keras. Aku membuang napas, lalu meletakkan sendok dan garpu dengan kasar. Kugeser tubuh hingga berhadapan dengan Zainab. Kutatap mata indah itu lekat. Zainab mulai salah tingkah dan membuang muka. Aku sama sekali tidak mengeluarkan suara dan sedikit mengangkat bagian bawah kaus yang kukenakan."Bapak mau apa?" tanya Zainab. Suaranya terdengar bergetar. "Kamu bilang kalau aku curang. Biar impas, kamu juga harus lihat." Semakin tinggi kuangkat kaus berwarna tosca ini."Zaidan!" Deg! Suara itu. "Ibu," lirihku. Kubenarkan kembali kaus yang sudah memperlihatkan bagian perut. Kemudian, menghampiri Ibu yang masih berdiri mematung di ambang pintu rumah. Kuraih tangan Ibu dan mencium punggung tangannya. Zainab pun menyusul dan mengikuti jejakku untuk mencium tangan Ibu. Namun, Ibu menampiknya dengan kasar. "Kamu sudah lupa kalau masih punya Ibu, Dan? Kamu tega meninggalkan Ibu sendirian di rumah sebesar itu. Tidak ada artinyakah Ibu buat kamu?" cecar Ibu yang masih berdiri di tempatnya. "Astagfirullah, bukan seperti itu, Bu. Aku--.""Tidak perlu membela diri! Hanya karena perempuan gila ini, kamu menjadi anak durhaka," hardik Ibu sambil menujukan wajah Zainab. Gadis delapan belas tahun itu diam. Wajahnya meredup dan mata indahnya tampak berkaca-kaca. Apa yang harus kulakukan? "Jangan katakan itu, Bu! Sampai kapan pun, Ibu tetap Ibuku. Tolong jangan sebut aku sebagai anak durhaka! Aku hanya ingin menjadi suami yang baik untuk Zainab.""Terserah kamu, Dan. Ibu hanya ingin menagih jawaban atas permintaan Ibu. Menikahlah dengan Maira, maka Ibu akan memaafkanmu!"Aku kembali menoleh ke arah Zainab. Wajah gadis kecilku sudah basah dengan air mata. "Zaidan minta maaf, Bu! Zaidan gak bisa menikahi Maira. Zaidan sudah punya Zainab.""Mas Zaidan." Seorang perempuan yang sudah satu tahun ini tak kulihat wajahnya muncul dari balik punggung Ibu. Aku tidak menyadari kalau ternyata Maira bersembunyi di samping pintu. Parit kecil sudah tercetak jelas di pipinya. "Maira!" ucapku tak percaya. "Jadi, ini yang membuat Mas Zaidan mengurungkan niat untuk melamarku?" Suara Maira terdengar serak. Aku dihadapkan pada tiga orang wanita yang membuatku tidak bisa memilih. Mulut ini tidak bisa mengeluarkan kata. Aku membisu tanpa tahu apa yang harus menjadi utama kali ini. Ibu dia yang membuatku ada di dunia ini, tapi aku tidak bisa mengabaikan Zainab yang sudah jelas menjadi tanggung jawabku dunia akhirat. Sedangkan Maira, aku sudah memberikan harapan palsu untuknya. "Saya yang salah. Saya akan pergi dari sini setelah Pak Zaidan mengucapkan talak pada saya." Zainab membuka suara di saat keheningan menyergap. Kuraih tangan mungilnya, menautkan jemari kami dengan kuat. "Aku gak akan menceraikan Zainab." Sejenak kuhela napas lebih panjang. "Maaf, Maira! Mungkin takdir memang tidak berjodoh untuk kita. Kamu pasti akan mendapat laki-laki yang lebih baik dariku."Seketika, sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku. "Kamu tidak punya perasaan, Dan. Ibu membesarkanmu susah payah, dan ini balasanmu?""Bu," lirihku sembari memegang pipi yang terasa panas. "Ibu mau lihat sendiri kalau gadis gila ini memang sedang hamil. Kita periksa ke dokter. Kalau memang dia sedang mengandung cucu Ibu, Ibu akan terima dia. Namun, kalau kamu hanya berbohong, Ibu sendiri yang akan mengurus perceraian kalian.""Tidak perlu, Nyonya. Saya memang tidak hamil karena Pak Zaidan belum pernah menyentuh saya sekalipun. Saya akan pergi meskipun Pak Zaidan tidak mau mengucapkan talak untuk saya.""Kamu lupa, Za? Baru saja kita melakukannya. Dan Ibu, Zaidan minta maaf sebelumnya. Ini hidupku dan rumah tanggaku. Jadi, Ibu tidak berhak ikut campur."Astagfirullah, maafkan Zaidan, Bu! "Dan Maira, tolong ikhlaskan aku. Kamu bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dariku."***Zainab mengurung diri di kamar dan menguncinya dari dalam sejak Ibu dan Maira pergi. Aku tahu, pasti Zainab sakit hati dengan ucapan Ibu. Aku takut kalau Zainab kembali nekat dan melukai dirinya lagi. Berkali-kali kugedor pintu kamar, tapi tidak ada sahutan dari Zainab. Hanya suara isak tangisnya yang terdengar menyayat hati. "Za, buka pintunya! Kita bicara baik-baik," rayuku dari depan pintu. Ah, aku tidak bisa diam saja seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu. Bagaimana kalau Zainab melakukan hal yang tidak terduga lagi? Kusiapkan ancang-ancang untuk mendobrak pintu kamar. Bismillah. Brak! Terlihat Zainab duduk meringkuk di pojokan kamar sambil memeluk kedua lutut. Kudekati gadis itu perlahan. Lantas, kusentuh bahunya dan menyeka air matanya. "Apa benar kalau Bapak sudah melakukannya pada saya?" tanyanya lirih. "Maaf, Za. Aku laki-laki normal dan kamu juga sudah sah menjadi istriku. Aku halal melakukannya padamu."Aku terpaksa berbohong. Namun, Zainab belum mengerti jika akan ada rasa sakit yang mengikuti setelah aku benar-benar melakukannya. Nyatanya, aku memang belum melakukannya. "Bapak jahat! Saya sudah minta Bapak ceraikan saya, tapi Bapak tidak mau. Saya masih ingin menikmati masa muda." Zainab memukuli dadaku dengan sembarangan. Aku tidak lagi membalas perkataannya dan hanya menemaninya duduk di lantai yang dingin. Awalnya, aku duduk di hadapannya, tapi setelah Zainab lebih tenang, aku mengubah posisi di sampingnya. Kemudian, meraih kepalanya untuk bersandar di dadaku. Cukup lama aku bertahan pada posisi ini hingga terdengar napas Zainab mulai teratur. Aku mengembuskan napas lega karena Zainab sudah tertidur. Perlahan, kupindahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Wajahnya tampak kuyu karena terlalu lama menangis. "Aku akan membuatmu nyaman denganku, Za."Aku ikut merebahkan badan sambil memeluknya hingga mata ini pun terpejam. Nyaman sekali. ***Kumandang azan Subuh membangunkanku dari lelap. Zainab sudah membuka mata, tapi dia tidak berusaha melepas pelukanku. Kedua mata kami saling bersitatap cukup lama. Namun, wajah imutnya menatapku dengan ekspresi datar. "Izinkan aku menjadi laki-laki bertanggung jawab, Za!""Saya akan menerima Bapak menjadi suami saya, tapi tidak saat di luar rumah.""Tentu, aku akan menjaga rahasia pernikahan kita."Kudaratkan kecupan di keningnya. Zainab pun tidak menolak. Semoga segera hadir cinta di antara kami! Selepas mandi dan salat Subuh, Zainab meninggalkan kamar. Sedangkan aku menyiapkan beberapa materi untuk jadual mengajar pagi ini. Setelah semua siap, aku menyusul Zainab. Tercium bau masakan yang cukup lezat memanjakan indera penciuman. Sepertinya, istri kecilku sedang memasak. Padahal, tidak ada bahan makanan di kulkas. "Kamu masak apa, Za?""Maaf, Pak. Saya hanya menemukan mi instan dan sayur kol, tapi saya buat dengan bumbu buatan saya sendiri. Saya tidak suka bumbu yang ada dalam kemasan.""Baunya enak, Za.""Semoga Bapak suka!"Zainab menyajikan mi buatannya di atas meja makan dan dua gelas air putih. Kami sarapan bersama sebelum berangkat ke kampus. Ini hari pertama Zainab mengikuti kelas. "Maaf sebelumnya, Pak. Saya tidak ingin orang-orang tahu tentang status hubungan kita. Saya ingin bebas berteman.""Aku paham, Za. Aku akan mengikuti permintaanmu yang satu ini.""Za!" panggilku sesaat setelah mobil berhenti di tempat parkir kampus."Iya," jawabnya dengan mata yang kembali berbinar.Kamu memang masih tergolong remaja, Za. Cantik meskipun tanpa polesan wajah sama sekali. Beberapa saat aku kembali terpesona dengan wajah cantik istri kecilku."Ini buat pegangan. Kamu bisa pakai untuk jajan atau membeli sesuatu yang kamu butuhkan." Kuserahkan beberapa lembar uang berwarna merah untuknya."Apa tidak kebanyakan, Pak? Ayah biasanya kasih saya uang saku cuma sepuluh ribu, paling banyak dua puluh ribu."Aku tersenyum mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya. Zainab benar-benar gadis yang sangat lugu. Aku semakin mengaguminya."Kamu itu istriku, Za. Kamu berhak mendapat nafkah dariku.""Ini saya terima ya, Pak. Mau saya tabung buat beli handphone." Dimasukkannya uang itu secara asal di dalam tasnya."Kalau handphone, nanti aku belikan setelah pulang dari kampus. Nanti, kala
Makan malam ini terasa sangat kaku karena aku dan Zainab sama-sama diam. Entah masakan apa ini, tapi cukup enak dan nyaman di lidahku. Aku juga tidak tahu kapan dia memasak.Ah, sudahlah! Aku tidak ingin lagi memedulikan apa yang dilakukannya setelah ucapannya yang menganggapku bukan siapa-siapa.Selesai makan malam, aku mulai mengemasi barang-barangku di kamar utama dan memindahkannya ke kamar sebelah. Lebih baik aku dan Zainab tidur terpisah. Aku tidak ingin jika cinta ini malah menyiksaku lahir dan batin.Aku harus mengakui kalau sudah ada rasa cinta di hati ini, tapi aku juga tahu diri. Mana mungkin Zainab mau mencintai pembunuh ayahnya."Barang-barang Bapak mau dibawa ke mana?" tanyanya, tapi enggan kujawab.Zainab mengekorku hingga masuk ke kamar yang akan kutempati."Bapak kenapa? Sejak dari Mal tadi, Bapak tidak banyak bicara seperti biasanya. Bapak ada masalah?" tanyanya lugu.Dasar Zainab! Apa dia tidak
Aku menatap langit-langit kamar dengan pikiran melayang pada nama Zainab. Sikap dan tingkahnya tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat semenjak pulang dari kampus. Dia tidak seperti Zainab yang kukenal dua bulan terakhir ini."Nanti, Bapak mau aku masakin apa? Di rumah masih komplet bahan makanannya." Zainab terus menggamit lenganku hingga sampai di tempat parkir.Aku yang seharusnya senang, tapi nyatanya aku malah merasa risih karena banyak pasang mata yang memandang aneh dan penuh selidik. Kemudian, terlihat mereka saling kasak-kusuk dengan orang di sebelahnya.Aku tidak ingin jika nama Zainab menjadi gunjingan di kalangan mahasiswa karena dituduh mendekati dosennya untuk mendapat nilai sempurna. Namun, berita akan berbalik jika mereka tahu kami sudah menikah. Entah aku atau Zainab yang akan mendapat image buruk. Hingga tanpa sadar, perkataan yang tidak semestinya terlontar."Aku gak suka dengan sikapmu yang seperti ini. Seperti
Hari ini genap dua bulan pernikahan tak terencana itu. Dan lebih tepatnya satu pekan setelah Zainab keluar dari rumah sakit. Aku mengajak Zainab untuk makan malam di luar. Candle light dinner istilahnya. Gaun warna hijau muda dipadu jilbab pasmina warna senada membuat wajah Zainab yang baby face itu tampak lebih dewasa. Cantik.Aku sampai terpana saat melihatnya keluar dari salon. Meskipun make up yang diaplikasikan di wajahnya tidak begitu tebal, istri kecilku itu tampak sangat anggun dan memesona. Dia sebenarnya tidak mau memakai make up. Tidak biasa katanya. Namun, demi menuruti perintahku, Zainab menekan egonya."Tapi jangan tebal-tebal!" pintanya dengan raut muka sedikit masam.Sebuah hotel yang cukup terkenal di kota ini menjadi tujuanku. Satu kamar dengan dekorasi indah di lantai sepuluh sudah kupesan secara khusus. Bahkan, aku meminta untuk membuatkan makan malam istimewa di balkon kamar. Aku ingin membuat satu hari istimewa untuk Zainab kare
Aku terkejut pada respon Zainab yang biasa saja saat kuperlihatkan berita miring yang sedang beredar di kampus. Dia malah tertawa kecil di hadapanku. Padahal, berita ini pasti akan menjatuhkan image-ku sebagai dosen yang biasanya cukup disegani oleh para mahasiswa.Namun, Zainab sepertinya tidak mengerti kegelisahanku. Sebentar lagi, pasti akan ada telepon dari Pak Syamsul selaku rektor di kampus.Tamatlah riwayatku!"Mas Idan gak perlu takut. Kita kan, sudah menikah. Kita tinggal bawa bukti surat nikah kita, dan semua beres," jawab Zainab enteng."Aku tahu itu, Za. Namun, bagaimana dengan persepsi mereka saat melihat pernikahan kita dengan usia yang terpaut cukup jauh. Bahkan, mereka pasti mengira kalau kita menyembunyikan pernikahan ini karena ada aib.""Katanya dosen bahasa dan sastra, tapi kok, gak bisa merangkai kata?" balas Zainab.Mati aku! Kenapa Zainab malah memojokkanku seperti itu? Dia sama sekali tidak takut dengan masalah yang s
Aku dan Zainab sekarang berada di ruang redaksi majalah kampus yang berisi mahasiwa jurusan jurnalistik. Kami layaknya tahanan yang diinterogasi karena melakukan tindakan kriminal. Menyebalkan!Seorang mahasiswa yang belakangan mendekati Zainab juga ada di ruangan ini. Tatapan matanya tampak sinis memandangku."Ham, lo potoin Pak Zaidan sama Zainab!" perintah salah satu mahasiswa yang tadi mewawancaraiku dan Zainab.Aku dan Zainab diminta memegang surat nikah kami di depan dada lalu difoto oleh mahasiswa yang selalu dipanggil 'Ham'.Setelah masalah berita hoax di kampus itu tuntas, aku berencana mengajak Zainab untuk mengunjungi Ibu. Sudah satu bulan ini aku tidak pernah mengunjunginya. Tidak tega juga rasanya membiarkannya hidup sendirian di usia senja. Sekaligus meminta restu agar aku bisa dengan terang-terangan mengatakan pada dunia kalau Zainab adalah istriku."Za, karena hari ini tidak ada kelas, aku mau nengok Ibu sebentar, ya. Nant
Setelah status pernikahanku dan Zainab terbongkar, kami tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi saat bertemu di kampus. Meskipun tetap ada yang tidak suka, tapi lebih banyak yang mulai mendekati Zainab.Eits, tapi tunggu dulu! Aku sudah berpesan pada istri kecilku itu untuk menjaga jarak jika dengan laki-laki. Dan dia juga paham."Mas Idan tenang saja. Aku tidak akan tergoda dengan laki-laki lain karena suamiku lebih menggoda," ucapnya suatu malam.Untungnya, kebanyakan yang mendekati Zainab adalah perempuan. Jadi, aku tidak perlu terlalu khawatir. Namun, mereka juga ga punya maksud tersembunyi pastinya. Mendekati Zainab untuk menarik simpatiku. Tahu sendirilah niat mahasiswa yang mendekati istri dosennya.Satu bulan terlewat sejak terakhir aku datang ke rumah Ibu. Sebenarnya, aku ingin sekali menemui Ibu, tapi sekarang ada Maira yang sengaja diminta tinggal di sana. Katanya, dia diminta untuk mengajar lagi di SMA yang tempatnya bekerja dulu.&n
"Zaidan masuk rumah sakit. Kalau bisa, kamu segera menyusulnya ke Bandung."Ucapan Pak Handoko membuat rasa khawatirku tak terkendali. Ada apa dengan Mas Zaidan?Tanpa pikir panjang, aku langsung berpamitan dan meninggalkan teman-teman mahasiswa yang sedang berdiskusi untuk tugas kelompok matakuliah leksikografi yang diampu oleh Bu Mery."Kamu mau ke mana, Za?" tanya Elisa."Pak Zaidan masuk rumah sakit. Aku mau nyusul ke Bandung," jawabku setengah berteriak. Kemudian, melanjutkan langkah menuju halte di depan kampus untuk mencari angkutan umum. Aku akan ke Bandung naik kereta.Perjalanan sekitar tiga jam terasa sangat lama bagiku karena tidak ada satu orang pun bisa dihubungi untuk sekadar menanyakan kabar Mas Zaidan. Pak Handoko hanya bilang kalau Mas Zaidan belum sadar sejak ditemukan pingsan di kamar sekitar pukul satu siang dan beliau baru memberiku kabar pukul tiga sore.Menjelang Magrib aku sampai di Rumah sakit temp