Share

Ipar Ipar Serakah
Ipar Ipar Serakah
Penulis: Amoyngapak

Bab 1

Bab 1 

"Sam, sore ini kamu datang ke rumah, ya. Ada yang ingin bapak bicarakan pada semua anak dan menantu," titah mertuaku yang tumbenan sekali sepagi ini sudah datang ke rumah.  

"Insya Allah, Pak. Nanti sehabis pulang dari sawah, Samsul dan Rindu pasti ke rumah. Kalau boleh tau, memangnya ada apa ya, Pak?" jawab dan tanya suamiku. Aku rasa ia sama halnya denganku, yaitu penasaran. 

"Nanti juga kamu tahu, Sam. Pokoknya datang saja sudah! Kamu peringati itu istrimu, agar jangan membuat ulah nanti!" peringat bapak mertua yang sudah seperti kode keras untukku. 

Aku yang tengah menguping di dapur pun merasa gondok setengah mati, nggak bapak mertua, nggak ibu mertua, bahkan adik-adik suamiku pun sama-sama menyebalkan. Mereka tidak bisa membedakan mana benar dan mana salah, mana tulus dan mana modus. 

Selama empat tahun aku menjadi bagian dari keluarga Mas Samsul, selalu saja apa pun yang aku lakukan selalu salah di mata mereka. 

***

Aku, Rindu Septiani berusia 28 tahun dan suamiku Samsul Bahri berusia 30 tahun. Awal pertemuan kami di Kota Jakarta, lebih tepatnya di daerah Rawa Bebek. Saat itu Mas Samsul bekerja sebagai kurir di sebuah tempat isi ulang air mineral, hampir setiap hari ia mengirim ke pabrik tempat aku bekerja. 

Awalnya, aku yang sedang ditugaskan untuk mengambil minuman untuk teman-teman bertemu dengannya secara tidak sengaja. Di pabrik tempat aku bekerja memiliki peraturan yang menurutku sedikit aneh. Yang mana, setiap harinya di sela-sela jam kerja salah satu diantara kami harus mengumpulkan botol minum para karyawan yang satu line atau datu leader.  Setiap orang pasti akan mendapatkan jatah piketnya masing-masing untuk mengambil air minum, yang letaknya di kantin bersih pabrik. Sama halnya denganku hari itu. 

Saat itu, kebetulan isi galon hanya menyisakan isi setengahnya saja, yang otomatis tidak akan cukup untuk mengisi semua botol-botol minum karyawan yang aku bawa. Beruntungnya, tepat saat itu Mas Samsul datang sambil membawa beberapa galon penuh berisi air minum stok untuk pabrik. 

"Maaf, hari ini saya sedikit terlambat, soalnya jalanannya banjir tadi. Jadi harus menunggu agak sedikit surut," ujarnya sambil menata beberapa galon di pojokan. 

"Oh iya, Mas. Untung aja sampean cepat datang, jadi saya nggak kelamaan menunggu. Kasihan juga yang menggantikan megang mesin saya, takut keteteran!" sahutku. 

Pabrik tempat aku bekerja memproduksi aneka barang perabot rumah tangga dari bahan plastik. Tidak semua orang bisa memegang mesin, apalagi anak-anak baru. Kecepatan mesin pres dan tangan harus seimbang, kalau tidak pasti keteter dan hasilnya menumpuk. 

Saat itu, aku mengenal sosok Mas Samsul seorang yang sederhana, pekerja keras, dan juga lembut. Semenjak pertemuan pertama itu, entah kenapa kami jadi sering bertemu. Kadang saat aku pulang kerja, atau bahkan saat tengah belanja di pasar kala aku libur. Rupanya, kontrakan aku tidak jauh dari tempatnya bekerja, yang sekaligus yang menjadi tempat tinggalnya. Pantas saja kami jadi sering bertemu. 

Seiring berjalannya waktu, kami jadi sering ngobrol dan bertukar nomor telepon. Kami saling curhat bareng via SMS atau pun BB, bahkan kami saling memfollow akun media sosial masing-masing. 

Benih-benih cinta pun mulai tumbuh di antara kami, hingga pada akhirnya awal tahun 2014. Mas Samsul membawaku untuk bertemu dengan keluarganya di Yogyakarta. Setelah pulang dari sana, Mas Samsul beserta keluarganya pun mendatangi rumah orang tuaku di Purwokerto untuk melamar. Satu tahun setelah acara lamaran itu berlangsung, kami berdua pun akhirnya memutuskan untuk menikah. Namun sayangnya, hingga sampai saat ini Allah belum juga mengarunia kami seorang keturunan. Sempat beberapa kali aku hamil, tetapi keguguran. 

"Dek ...." panggilan Mas Samsul membuyarkan lamunanku tentang masa lalu kami. 

"Eh, Mas. Maaf, aku kelamaan bikin kopinya," ujarku sedikit tersentak. 

"Kamu lagi melamunin apa, dari tadi Mas panggil-panggil tapi nggak nyahut?" tanya Mas Samsul lembut. 

"Ah, enggak kok, Mas. Aku cuma lagi mengingat kisah awal pertemuan kita, aku nggak pernah menyangka kalau pernikahan kita masih bisa bertahan sampai hari ini," ungkapku jujur. 

Aku sedikit menundukan pandangan, mengingat semuanya sudah banyak yang berubah. Awalnya, ibu mertua sangat menyayangiku sampai-sampai istri adik iparku yang tertua bernama Desrina merasa iri. Bahkan, sikap Desrina padaku cenderung ketus. 

"Dek, tadi bapak datang ke sini. Beliau meminta kita untuk datang ke rumahnya nanti sore, katanya ada yang ingin beliau bicarakan pada kita semua. Nanti kamu ikut ya," ajak Mas Samsul memberi tahu. Padahal, tanpa ia beritahu pun aku sudah mengetahuinya karena sempat menguping pembicaraan mereka tadi. 

"Eum ... Apa nggak sebaiknya Mas sendiri saja yang pergi ke sana, aku takut kalau nanti pas sudah sampai sana. Aku nggak bisa menahan emosi dan berujung pertengkaran bersama keluargamu, terutama iparmu itu," ujarku mencoba mengemukakan pendapat.  

"Abaikan saja mereka, Dek. Kedatangan kita ke sana 'kan atas undangan dari bapak, jadi kalau nantinya di sana tedengar kata-kata sumbang dari mereka, nggak usah kamu dengarkan," nasihat Mas Samsul padaku. 

'Ish, mana bisa begitu! Kalau mereka menyindir dan menghina kita ya harus aku lawan, lah. Enak aja, kalau kita selalu diam nanti lama-lama mereka tambah kurang ajar!' seruku dalam hati. 

"Tapi, Mas ...."

"Sudah, nurut aja apa kata suami. Mas juga nggak mungkin nggak belain kamu kalau memang nanti mereka bersikap atau berkata yang keterlaluan sama kamu, Dek." 

Kalau suamiku sudah berkata seperti itu, aku bisa apa. Untuk terus membantahnya pun percuma saja, Mas Samsul pasti akan terus memaksaku untuk ikut dengannya. Jadi, mending diiyakan saja, bukan. 

"Ya sudah, terserah mas saja. Aku manut!" ucapku akhirnya mengalah juga. 

"Nah, begitu dong! Ini baru namanya istri sholehahnya mas," pujinya membuatku tersipu. 

Mas Samsul adalah tipikal laki-laki yang pendiam, tidak romantis, dan juga sedikit kaku. Ia tidak banyak omong jika bukan dengan istri, anak, atau keluarganya. Orangnya cenderung tertutup pada orang yang baru dikenalnya. Namun, bila sudah akrab dan merasa cocok. Ia akan mampu bercerita panjang lebar dengan orang tersebut. 

Sedikit unik memang, tapi itulah yang membuat aku jatuh hati padanya. Selama empat tahun pernikahan kami, tak pernah sekali pun ia melakukan KDRT sebesar apa pun emosinya. Paling-paling, adat jeleknya dia adalah memukul barang dan sedikit membentak. Akan tetapi itu pun tidak sering, jika sedang marah suamiku itu banyak diamnya. Berbeda dengan aku yang lebih bersifat emosian dan sering meledak-ledak bila sedang marah. Aku juga tipikal orang yang sedikit cerewet. Namun, justru karena karakter itulah kami jadi saling melengkapi satu sama lain. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status