Bab 4 Sebuah keputusan
Bening membuka mata, dan terkejut saat ia benar - benar sadar, dirinya berada di ranjang rumah sakit, dengan jarum infus menancap di pergelangan tangan kirinya. Bagaimana aku bisa sampai di sini? Disusul ingatannya pada Evan, bayinya!
Secepat kilat Bening bangun. Tangannya menarik paksa selang infus di pergelangan tangannya yang membuat darah segar keluar dari bekas infus. Ia tidak peduli! Buru – buru ia membuka pintu kamar dan melihat wajah lelaki yang tak ia kenal muncul di depan pintu.
“Kamu mau ke mana?” tanya pemuda manis itu. Tangannya membawa tas kain berwarna hitam.
Bening mundur beberapa langkah dan mencoba mencerna perkataan lelaki itu dari mimik bibirnya.
“Evan… bayiku!” Bening lalu menerobos lelaki itu dan berlari sekencang – kencangnya. Ia mau melihat bayinya.
“Hey… tunggu!” Lelaki itu mengejar Bening dan berhasil menangkapnya di lorong rumah sakit. Ia memeluknya kuat – kuat.
“Lepaskan! Lepaskan!” Bening memberontak, mencoba melepaskan pelukan lelaki itu. Semakin kuat ia memberontak. Tangan lelaki itu makin kuat memeluknya.
Beberapa pengunjung yang hendak menengok pasien menoleh melihat kejadian itu. Mereka terdiam sejenak.
“Maaf, ini bukan seperti yang kalian pikirkan,” kata lelaki itu menghentikan keingin tahuan mereka.
Pria itu menatap lurus mata Bening dan berbicara lamban. “Oke, kamu harus tenang dulu. Sebentar lagi, aku mau mengantarkan kamu menemui bayimu. Tapi kamu harus memakai ini dulu.” Dia lalu membuka tas hitam. Isinya ternyata alat bantu dengar dan memberikannya pada Bening
Bening termangu… Bagaimana dia tahu aku tuli? Ia seperti tersihir saat lelaki itu menatapnya. Kakinya kaku dan seperti tertancap dalam pada ubin dingin.
“Pakailah! Kamu membutuhkannya.” Tanpa menunggu persetujuan Bening, lelaki berwajah manis itu membuka kotak dan memasangkan alat bantu dengar di telinga Bening. Kemudian ia mengetik sesuatu di ponselnya dan menyerahkan pada Bening.
Aku tahu kamu tunarungu dari hearing aid yang ada di sampingmu, tadi. Maaf alat itu tak bisa diperbaiki. Sehingga aku membeli yang baru untukmu. Aku membeli dua, supaya kamu bisa punya extra, dan dapat mendengar sepanjang hari.
Pria itu kemudian mengambil sesuatu di saku kemejanya, mengeluarkan alat bantu dengar milik Bening yang telah rusak. “Ini milikmu, kan?”
“Terima kasih.” Mata Bening berkaca – kaca. Ia tidak mengenal lelaki itu, tapi dia telah begitu baik kepadanya. Ia kini bisa mendengar,
Rasa marahnya muncul teringat pada Ibra yang memukulinya sebelum dia pingsan di sebuah gang buntu. “Maaf, aku harus pergi, anakku kritis di rumah sakit.” Rasa sesal dan ketakutan merayap di hatinya. Bagaimana jika hal buruk menimpa Evan.
“Kamu masih lemas. Sebaiknya aku antarkan kamu menemui anakmu.”
“Tidak! Aku harus menemui anakku segera! Maaf!!” Bening mendorong tubuh pria itu menjauhinya dan lari sekencang – kencangnya ke luar rumah sakit.
Wanita itu berlari seperti orang linglung menerjang jalanan yang padat. Penglihatannya agak kabur akibat genangan air mata menutupi kelompak matanya.
Setelah berkilo – kilo berlari, Bening sampai di depan kamar NICU Rumah Sakit Bunda dengan kaki lecet – lecet.
“Mama, Evan di mana?” ucap Bening lirih. Kakinya gemetar karena payah.
Iswati yang sedang mengaji di lorong, menoleh dan melihat anaknya berdiri dengan kaki gemetar. Cepat – cepat ia mengusap sisa air mata yang menempel di pipinya dan segera memeluk Bening.
‘Bening, anakku! Kamu dari mana, Nak?” Kami mencarimu ke mana – mana tadi.” Tanpa Bening kasih tahu, hatinya paham, anak perempuannya tidak baik – baik saja. “Evan masih di dalam, dan dia sudah sadar.”
“Benarkah, Ma?” Bening menubruk kaki mamanya. Bersimpuh di kaki wanita itu. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini, apakah rasa bahagia atau sedih.
“Bangun, Nak. Bangun, jangan menangis lagi.” Iswati membantu anaknya bangkit. “Kamu sebaiknya lihat Evan dulu. Dia pasti senang melihat mamanya.”
Bening mengangguk. Setelah mensterilkan tubuhnya. Ia masuk ke dalam ruang NICU. Di ranjang yang terletak di sudut ruang, ia melihat Evan tidur. Selang – selang bersliweran menempel di tubuhnya yang kecil. Hatinya giris melihatnya.
“Evan… ini Mama, Nak…” Bening memegang tangan bayinya dan menciumnya berkali – kali. “Terima kasih, kamu sudah sadar. Terima kasih, kamu kuat untuk Mama.”
Bayi itu merespon dengan membuka mata, memandang wajah mamanya. Seulas senyum tampak menghiasi wajahnya.
Dunia serasa terhenti berputar.
Bening begitu takjud melihatnya. Senyum itu memberinya kekuatan untuk bangkit. “Evan jangan takut, ada Mama di sini. Kamu harus kuat Nak, seperti karang di lautan.”
Dua hari kemudian, Evan sudah berada di ruang perawatan. Saat Bening menyusui bayinya. Kedua orang tua dan adiknya Elang masuk. Pemuda itu membawa tas milik perempuan itu.
“Kak, ada lelaki yang mengantarkan tas Kakak di rumah, tadi pagi.” Elang memberikan tas coklat itu kepada Bening.
Kening Bening mengernyit, mengingat – ingat di mana ia meninggalkan tasnya. Pikirannya sangat kacau dan hanya memikirkan kondisi Evan. “Siapa dia?” tanyanya ingin tahu.
“Namanya Kama, sepertinya dia lelaki baik, buktinya dia yang mengantarkan sendiri ke rumah.”
“Coba cek isinya, Nak. Siapa tahu ada yang hilang,” usul Iswati.
Bening menuruti usulan mamanya. Dia meletakkan Evan di ranjang, kemudian membuka tasnya. Uang di dalam dompet beserta isinya lengkap, juga kunci mobilnya juga ada.
Wanita itu mengingat – ingat lelaki yang telah menolongnya itu. “Elang, apa kamu punya nomor telepon dia? Kakak mau mengucapkan terima kasih.”
Elang nyengir. “Sayangnya tidak! Elang lupa menanyakannya.”
Bening menghela napas panjang. Pupus sudah harapannya untuk bertemu Dewa penolongnya. Ia lalu memikirkan hal lain. “Elang, Kakak butuh uang untuk biaya Evan. Tolong, jual mobil Kakak.” Dia menyerahkan kunci berikut surat – surat mobil yang ia sembunyikan di dalam tasnya.
Papa berdeham. “Ibra di mana? Apa dia tidak tahu anaknya opname di rumah sakit?”
Pertanyaan papanya membuat urat – urat di wajah Bening menegang. Hatinya mendadak gelisah, setelah hampir sebulan dia menyembunyikan masalah rumah tangganya pada orang tuanya.
Bening menelan ludahnya yang kering. “Ibra berselingkuh dengan Intan, Ma, dan dia telah mengusir Bening serta Evan.” Bening menghembuskan napas pelan, mengeluarkan sesak di dadanya. Dia lalu menceritakan masalahnya.
Iswati menangis sesenggukan mendengar jawaban anaknya. Kekhawatirannya terjawab sudah. “Ya Allah, nasibmu kenapa begini, Nak?”
“Tolong bantu Bening mengurus perceraian dengann Ibra, Pa!” jawab Bening kelu.
Iswati terbelalak. “Ya Allah! Istighfar Nak. Apakah tidak ada jalan lain. Siapa tahu Ibra khilaf dan dia butuh pengertianmu saat ini. Ingat, Evan masih bayi. Dia butuh sosok Ayah.”
Elang yang ada di situ berang. Dia dari dulu memang tidak suka dengan Ibra. “Ma, ngapain juga mempertahankan menantu brengsek begitu. Apa Mama mau, anak Mama sengsara dan mati karena dipukuli terus? Apa Mama tahu, selama ini Kak Bening bohong, Mas Ibra tidak pernah ke Luar Negeri, dia malah bersenang – senang dengan gundiknya yang tidak tahu malu itu!”
Pikiran Iswati berbeda. Dia terlalu memikirkan nasib cucunya kelak. “Tapi Lang, keponakanmu butuh Papa. Kita carikan Ibra dukun saja, supaya kembali lagi ke Bening.”
Bab 5 Aku Mau Kamu MenderitaSiang itu, sinar matahari begitu terik. Setelah memarkir motornya, Bening bergegas menuju lobbi Hotel Frangipani. Siang itu dia ada janji meeting dengan client.Tiba – tiba, mata Bening tersangkut pada lelaki yang tengah berjalan menuju mobil HRV berwarna putih. Mata perempuan itu menyipit. Ibra!! Perempuan itu lalu membelokkan langkah dan bersembunyi di belakang mobil tersebut,Saat Ibra hendak membuka pintu. Cepat – cepat kaki Bening menahannya.“Mau apa kamu di sini, Heh!” tanya Ibra kaku. Matanya seperti melihat setan saat melihat istrinya.“Aku mau kita bercerai dan tolong tinggalkan rumahku segera!” kata Bening tegas. Ego wanita itu tersulut. Semua urat sarafnya menegang. Mukanya merah menahan amarah yang siap meledak setelah tiga bulan ia bisa menemui Ibra secara tak sengaja di pelataran hotel.Ibra berupaya mengimbangi energy Bening yang marah. Ia mengusap – usap dagunya pelan, dan tersenyum sinis. Tatapannya menantang bahkan terkesan mengejek. “Ba
Bab 6 Bertemu dengan sang penolongSementara Bening, tergopoh – gopoh masuk ke Café Amour yang berada di dalam Hotel Frangipani.“Stop Bening!” kata Kama dengan suara berat.Bening berhenti dan kaget ada yang memanggil namanya. Perempuan itu menoleh ke belakang dan melihat lelaki yang menolongnya barusan berdiri satu meter di belakangnya.“Bagaimana bisa kamu menjatuhkan portfoliomu? Padahal kamu butuh presentasi pada Ibu Tita Maheswara.” Kama memberikan portfolio itu pada Bening.“Maaf, saya mungkin menjatuhkannya tadi sewaktu berdebat dengan suami saya?” kata Beming sambil menunduk. “Tapi, bagaimana Anda tahu saya mau bertemu dengan Ibu Tita Mahewara?” tanyanya curiga.Lelaki itu melempar senyuman manis. Dia memberikan kartu namanya. “Saya Kama, adik kandung Ibu Tita, client yang rencananya bertemu dengan Anda hari ini.” Dia lalu mengajak Bening masuk ke Café Amour dan mengambil tempat duduk di hadapan Bening. “Kakak saya masih terjebak macet.”Bening tidak serta merta menjawab. Ia
Bab 7 Tuduhan membabi butaSementara itu Bening, waspada, matanya tak lepas dari kaca spion. Ia tahu, Ibra mengikutinya semenjak keluar Hotel Frangipani. Setelah merasa aman, barulah dia memutar motornya menuju Joli Flower.Jam waktu itu menjelang magrib, Ismail dan Tanto sedang memasukkan bunga – bunga segar ke dalam toko. Hari ini, toko mereka tidak begitu sibuk. Ada 10 orderan rangkaian bunga dan sudah dikirim siang tadi.“Malam…” sapa Bening, dia lalu masuk ke dalam kantornya yang tak begitu luas.“Malam, Mba Bening. Kami mau pulang dulu, ya,” pamit Tanto, setelah selesai memasukkan semua bunga ke dalam. Lelaki kemayu itu memakai kuteks berwarna merah.“Silahkan, saya mau di sini sebentar.” Bening melihat Tanto dan Ismail. “Awal bulan depan, Joli Flower menangani pernikahan anak Ibu Tieta Maheswara. Dia salah satu anak konglomerat dan pertanda baik bagi kita. Saya berjanji mau memberikan bonus dua kali lipat gaji pada kalian, tiap kita mendapatkan order besar, asal kalian giat bek
Bab 8 BangkrutIbra bangun dan melihat Kama Maheswara sedang membantu Bening.“Pak Kama? Ini masalah saya, Anda jangan turut campur!” bentak Ibra gusar. Ia tak habis pikir, kenapa laki – laki itu selalu ada dan membela Bening.Alih – alih menjawab pertanyaan Ibra, Kama justru bertanya pada Bening. “Apakah kamu baik – baik saja!”Bening mengangguk.Merasa diabaikan Ibra semakin galak. “Pak Kama, saya bertanya pada Anda, kenapa Anda di sini!! Apakah Anda menguntit istri saya!”Sejurus kemudian Kama mengangkat alisnya ke atas. “Saya mau melindungi wanita yang disakiti suaminya. Anda sudah memukulinya berkali – kali, kan. Termasuk di gang dekat kantor Anda. Saya melihatnya dan itu salah satu penyebab, kenapa saya tidak mau bekerja sama dengan Anda!”Kama memandang Ibra dengan tatapan sinis. “Saya melihat partner itu dari bagaimana mereka memperlakukan orang sekitarnya, terutama keluarganya.”Ibra tercengang. Mukanya merah menahan malu. Ia berbalik dan melangkah pergi.“Hei, kembalikan dul
Bab 9 Kejutan di pagi hariBening menggigit bibir bawahnya, getir. Diakuinya asumsi Elang beralasan.Iswati bergeming, ia lalu duduk di samping suaminya. “Pa, apa benar begitu?” Ia tak dapat menyembunyikan garis – garis ketegangan di wajahnya kentara sekali.Gatot yang mulai tadi mendengarkan percakapan anak dan istrinya menjawab dengan suara gamang. “Ngomong – ngomong, di mana sertifikat rumahmu?”JRENGBening terkesiap! Lidahnya mendadak kelu. Tangannya mulai berkeringat, membayangkan hal buruk yang akan terjadi. Ia sama sekali tidak kepikiran untuk membawa atau mengambilnya. “Ada di brangkas rumah.”Tubuh Iswati semakin menegang. Ketakutan mulai merayap di dadanya, mengingat, ia tahu, bagaimana pengorbanan Bening untuk membeli rumah tersebut. “Apa Ibra tahu password brankasnya?” Pertanyaan konyol yang ia tanyakan. Ibra dan Bening pernah serumah dan status mereka suami istri. Tapi tetap saja ia menginginkan jawaban yang berbeda dari anaknya.Bening mengangguk lemah. “Di sana juga ad
Bab 10 Tanda tangan palsu“Jangan asal ngomong kamu ya, ini rumah saya, enak sekali kamu mengaku – ngaku rumah orang!” protes si ibu berdaster itu.Pak Alwi menautkan kedua alisnya. “Tolong jangan ribut. Jika kalian terus ribut, kita tak bisa mengetahui duduk perkaranya. Sebaiknya kita duduk dan membicarakan masalah ini baik – baik,” pintanya bijakKe lima orang itu lalu duduk di ruang tamu.“Coba jelaskan Pak Rahman, bagaimana Anda bisa menuduh Ibu Bening dan adiknya pencuri di sini?”Pak Rahman – pria bersarung itu menceritakan kronologisnya. “Jadi begitu ceritanya, Pak.”Pak Alwi manggut – manggut. Dia melihat ke Bening yang tampak cemas. “Sekarang, tolong gantian Ibu Bening yang bercerita, biar saya tidak salah paham.”Bening menarik napas dalam – dalam sebelum bicara. “Rumah ini adalah rumah saya, Pak RT. Saya membelinya saat masih lajang, sebelum menikah dengan Mas Ibra. Beberapa bulan lalu, perkawinan kami diterpa badai. Mas Ibra dan selingkuhannya, Intan mengusir saya bersama
Bab 11 Melabrak Besan“Lho, kok nanya saya, memangnya situ tidak punya anak, tanya dong sama Bening, kok jauh – jauh datang ke sini menanyakan di mana anak lanang saya?” Tangan Herni merapikan rambutnya. “Ibu Besan, jangan asal menuduh anak saya, menjual rumah Bening dengan tanda tangan palsu. Buktinya mana? Apa Ibu Besan tidak takut saya melaporkan Ibu Besan karena mencemarkan nama baik keluarga terpandang saya.”Iswati gemas sekali dengan jawaban besannya. “Untuk apa saya jauh – jauh datang ke sini, kalau Bening tahu di mana Ibra? Apa Ibu tahu apa yang dilakukan Ibra? Apa Ibu pernah kepikiran untuk menengok Evan? Ini sudah 6 bulan lho, saya belum pernah lihat Ibu datang menengoknya.”Iswati menarik napas panjang, sebelum melanjutkan kalimatnya. “Oh ya, saya lupa, Ibu Besan sibuk sekali shopping dan jalan – jalan ke Luar Negeri bersama teman – teman sosialita, menghabiskan uang anak dan menantunya. Hingga tidak tahu Ibra selingkuh dengan Intan asistennya! Asal Ibu tahu, Ibra telah me
Bab 12 ManipulatifAndini tidak mau mengalah. Dia menggedor – gedor pintu. “Pak, tolonglah, ini darurat! Istri Pak Zulfikar berselingkuh dengan suami sahabat saya. Saya mau meminta penjelasan.” Akan tetapi sipir penjara tersebut mengabaikan teriakan Andini.“Sudahlah! Kita pulang saja,” ajak Bening dengan nada kecewa.“Tidak bisa begitu dong, Be. Kita sudah jauh – jauh datang ke sini mau mencari tahu tentang Intan, masak kita mau mengalah.”“Jika Zulfikar tidak mau menemui kita, terus kita bisa apa?” ucap Bening. Matanya terkulai layu. Ia bersedih dan merasa semua jalan yang ditempuhnya buntu. Kemudian ekor matanya menangkap sosok wanita yang dicarinya, keluar mengendap - ngendap dari arah pintu pengunjung.“Intan!” sontak Bening mengejarnya.Intan terkejut saat melihat Bening berlari ke arahnya. “Sialan!” rutuknya kesal sembari berlari menjauh, sayangnya dia kerepotan dengan highheel yang dipakainya. Cepat – cepat ia melepaskan high heelnya.Namun, Bening dan Andini keburu menangkapn