"Sedang apa, Dek?" tanya Mas Ibas di seberang sana.
"Nyantai, Mas.""Entah kenapa dari semalam perasaanku enggak enak. Bawaannya pengen segera pulang."Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa itu yang dinamakan ikatan batin? Disaat pasangannya ada masalah, dia akan ikut merasakannya."Enggak, Mas. Aku baik-baik saja." Aku berusaha tetap tegar meski dalamnya rapuh. Aku tidak mau membuat Mas Ibas khawatir.***Semakin hari aku merasa tak enak badan. Perut mual dan pengen yang aneh aneh. Dan setelah kusadari, ternyata aku terlambat datang bulan. Dan ... selama aku ditinggal merantau, aku tak lagi meminum pil KB. Ini memang salahku.Kuremas perut ini karena tak ingin ada janin tumbuh di sana. Aku pergi periksa ke dokter dan aku dinyatakan hamil. Langit seakan runtuh. Aku tak sanggup menahan cobaan ini. Aku berusaha makan dan minum sesuatu yang bisa menghilangkannya. Tapi selalu gagal dan janinku dinyatakan baik-baik saja. Demi menutupi perut yang kian membesar, aku memakai pakaian yang longgar baik di dalam maupun di luar rumah. Semua orang mengira aku gemukan karena cuma makan tidur. Tapi, ada juga yang menduga aku hamil. Semakin hari pikiranku kalut. Apa lagi Mas Romi selalu datang ke rumah bersama Emak. Ingin sekali aku bicara pada Emak, tapi aku yakin, dia tak akan percaya. Karena di mata Emak, Mas Romi adalah orang yang penyayang dan tidak mungkin menyakiti orang lain. "Jangan takut kalau hamil. Aku akan bertanggung jawab." Bisiknya ketika aku membuatkan segelas teh untuk Emak di dapur.""Lebih baik aku mati dari pada menikah denganmu." Rahangku mengeras dengan gigi yang rapat."Jangan coba-coba melapor polisi. Karena tak guna. Tak ada saksi atau barang bukti yanng kuat. Yang ada aku akan membalikkan fakta, jika kamu yang mengajakku ke rumahmu dan kamu memintaku menidurimu karena kamu kesepian. Semua orang akan percaya dan kita akan di arak kampung karena berzina." Tatapannya tajam padaku. Lalu keluar menemui Ibu dengan sikap ramahnya.Sungguh, aku tak bisa menjalani ini sendirian. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan pada Mas Ibas jika dia pulang nanti.***Waktu terus berjalan dan Mas Ibas kembali ke rumah. Dia pasti kaget melihat bentuk tubuhku yang berbeda. Awalnya dia percaya kalau ini adalah timbunan lemak. Tapi, akhirnya dia curiga dan membawaku periksa ke dokter. Aku pasrah dan menurut apa maunya. Aku sudah siap dengan apapun yang akan terjadi pada akhirnya.Setelah dokter menyampaikan kalau aku berbadan dua, Mas Ibas naik pitam. Dia marah, murka, sampai barang-barang yang ada di rumah berantakan akibat ulahnya. Aku hanya bisa merunduk, menangis, karena sudah membuatnya kecewa. Aku tidak bisa jaga diri.Sampai dia mengambil benda tajam di dapur dan hampir melayangkan benda itu ke arahku. Aku pasrah, jika memang akhir hidupku harus di tangan suamiku. Tapi ternyata, perbuatan itu urung dilakukannya. Apa lagi ketika aku memberi tahu jika janin ini ada karena Mas Romi, dia kian murka dan melabrak ke rumah kakaknya. Aku dijemput Miko untuk memberikan kejelasan di rumah Emak. Ketika duduk di kursi kayu itu, badanku terasa panas meski suasana sedang dingin.Aku menceritakan apa yang terjadi. Tapi sepertinya tidak ada yang mau percaya padaku. Meski Mas Romi mengakuinya, tetap saja Mas Ibas masih ragu. Yang aku takutkan, Mas Ibas akan mengira aku telah berselingkuh pada kakaknya. Dan aku dianggap mengarang cerita. Apalagi Mas Romi terang-terangan bilang, kalau dia menyukaiku.Setelah sidang itu, aku masih serumah dengan Mas Ibas. Dia masih memberiku nafkan lahir. Tapi tidak untuk nafkah lahir. Dia cuek dan mendiamkanku seolah aku tak ada. Dia lebih sering berada di luar rumah tanpa aku tahu apa kegiatannya. Setiap kutanya, jawabnya hanya ingin sendiri. Mungkin, dia jijik menyentuhku karena aku telah dijamah pria lain. Aku bisa memakluminya. Tapi, semakin perut ini membesar aku semakin tersiksa. Suamiku tak peduli padaku meski kami seatap. Isi rahimku bukan yang aku harapkan. Lalu, apa tujuan hidupku saat ini? Impian membina rumah tangga SAMARA tinggal mimpi.Tanpa sepengetahuan Mas Ibas, aku meminum obat pelemah kandungan. Hingga aku merasakan kontraksi yang sangat hebat sampai tak bisa menahannya. Aku dibawa ke dokter dan lagi-lagi tidak ada masalah. Janinku masih aman. Ini menjadi kabar yang menyenangkan bagi wanita yang mengidamkan seorang anak. Tapi, apa yang kualami ini menjadikan diriku semakin prustasi. Yang ada di dalam otakku hanya ingin mengakhiri kesedihan.Aku tidak mengerti dengan sikap Mas Ibas. Dia cuek, tapi juga peduli dengan keadaanku.Kali ini saja dia acuh dan tak menyentuhku. Lalu, setelah bayi lahir, pasti dia meninggalkanku. Jadi untuk apa aku bertahan hidup? Jika aku harus berpisah dengan orang yang kucintai dengan cara yang bukan karena kesalahanku.Mas Romi dan Emak datang ke rumah saat aku pulang dari klinik. Tapi, kudengar dengan lantang Mas Ibas mengusirnya. Aku lega karena tak harus melihat wajah lelaki brengsek itu. Lalu, jika bayi ini lahir, apa aku bisa menerimanya? Melihatnya akan membuat bayangan malam itu akan terus tengiang.Emak menyambangiku ke kamar. Dia menanyakan keadaanku dan aku hanya menjawab sesuai yang ada di otakku. Bahwa aku sudah tak kuat hidup lagi. Dia memelukku layaknya anak sendiri."Nak, bayimu enggak berdosa. Jangan kamu sakiti dirinya." Emak mengelus rambutku."Dia akan lahir menjadi anak haram. Jadi, lebih baik kuhabisi sebelum dia melihat dunia yang kejam ini. Dari pada di dunia nantinya menanggung malu seperti ibunya." Aku masih dalam posisi melihat lurus ke depan."Jangan bicara seperti itu, Isma. Romi pasti bertanggung jawab dan menikahimu. Emak tahu dia menyukaimu. Emak sering melihat Romi melamun di kamarnya dengan memandangi fotomu. Emak enggak tega melihatnya," Emak menunduk."Lalu, Emak tega melihat keluargaku berantakan?" Aku menoleh Emak yang masih menunduk."Apapun alasannya, tindakan Mas Romi salah, Mak. Seseorang yang sudah menjamah istri orang lain, lebih berharga dari hewan." Mas Ibas masuk ke kamar. ."Aku enggak akan menceraikan Isma, Mak. Aku aku membalas sakit hatiku pada Mas Romi. Supaya dia tahu, jika barang milik orang lain yang dicuri itu bisa saja kembali pada pemiliknya. Meski aku belum tahu bisa menerima Isma seutuhnya atau tidak nantinya."Aku terkesiap kala mendengar Mas Ibas berkata tak akan meninggalkanku. Pun dengan Emak. Dia melebarkan matanya. Tapi, apa artinya jika perasaannya tak bisa sama seperti dulu lagi? "Jadi, apa Mas Ibas mau memperalatku saja demi ambisi?" Aku menoleh dan menatapnya dengan samar. Karena air yang masih menggenang di mata ini membuat penglihatanku sedikit kabur. Mas Ibas hanya diam. Kemudian duduk di kursi plastik berwarna hijau yang ada di sampingnya. Dia memejamkan mata, lalu membukanya lagi dan berkata. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Melepasmu, kemudian melihat kamu menikah dengan orang yang sudah berbuat jahat padamu? Lalu aku tertawa dan memberi restu? Kamu pikir dengan aku menceraikanmu, kamu akan bahagia dengan Mas Romi? Hah, kurasa tidak mungkin." Matanya berkaca-kaca. Tapi tidak sampai menjatuhkan air mata.Mendengar ucapan Mas Ibas, rasanya tenggorokan ini mengering sampai ludah terasa berat kutelan.Mati segan, hidup pun tak mau. Mungkin itu perumpaan yang pantas untukku.
Tinggal aku dan dirinya saja dalam kamar ini."Apa kamu masih sayang padaku, Mas?" Aku memberanikan diri bersuara setelah beberapa minggu saling diam."Bagaimana aku bisa membencimu, sedangkan kamu adalah separuh jiwaku. Tapi bentuk tubuhmu membuatku tak bisa berlama-lama melihatmu. Aku ingin bertahan dalam pernikahan ini, tapi rasanya menyakitkan. Jika pergi, ternyata tak semudah yang kubayangkan."Ingin rasanya aku berteriak, kalau aku juga tidak mau berpisah darinya. Tapi, aku tak mampu karena aku merasa tak pantas lagi untuknya."Jika bertahan membuatmu tersiksa, aku ikhlas jika harus berpisah darimu, Mas." Air kembali melesat dari dari sudut mata."Sudah kukatakan, aku tak akan menalakmu."***Beberapa minggu kemudian, ketika aku sedang menyapu, air keluar dari miss-vi-ku. Seperti ombak yang menyambar dengan tekanan yang sangat besar. Aku terkejut saat melihat sekeliling."Apa ini?" gumamku. Perutku tidak terasa sakit sedikit pun. Air itu terus keluar seperti sedang datang bulan.
Hari ini Isma melahirkan. Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih ketika bayi itu lahir. Apa aku sanggup melihat wajahnya? Dokter memanggilku untuk mengazani bayi yang masih merah itu. Jantungku berdegup kencang. Tangan ini gemetar membayangkan menyentuh kulitnya."Silahkan, Pak. Diazani dulu!" seru wanita berseragam putih itu. Dia meletakkan di tanganku tanpa bisa kutolak. Dengan terpaksa aku melantunkan azan di salah satu telinganya. Dia sangat imut dan lucu. Wajahnya teduh sekali. Sejenak kuperhatikan Isma yang masih terbaring lemah di ranjang. Dia tak berkata apa-apa dan memalingkan wajahnya dari pandanganku.Setelah kuazani, kuletakkan bayi itu di samping Isma. Dia terlelap dan terlihat tenang."Apa kamu tidak mau melihat bayimu?" "Sudah," jawabnya lirih."Lalu apa keputusanmu? Mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, memberikan pada Mas Romi, atau membuangnya?" tanyaku dengan berat berucap."Aku dilema." Tatapannya lurus ke depan. "Ingin sekali kubuang dia jauh dari pandangan.
Aku tidak mau melakukan kekerasan di rumah sakit ini. Tapi tangan ini sudah tak tahan ingin menutup mulutnya. Mataku melotot dan itu mewakili isi hatiku."Kenapa denganmu, Bas? Mau marah dan memukulku? Coba saja kalau berani. Aku akan memanggil petugas keamanan dan kamulah yang akan diusir. Sedang aku bisa bercanda dengan bayiku dan ibunya yang cantik."BEG.Satu pukulan melayang dipipinya. Aku puas bisa menutup mulutnya. Dia mendongak dan hendak membalasku. Tapi Emak keburu mencegahnya."Stop, Rom. Jangan membuat ribut di sini. Yang ada kita akan diusir dari sini. Tujuan kita cuma untuk melihat bayi Isma." Emak menepuk lengan Mas Romi.Tanpa aku mengizinkan, Emak menyerobot celah pintu dan disusul Mas Romi di belakangnya. Badanku terhuyung tapi tak sampai jatuh ke lantai. Tanpa menyapa Isma, Emak mengambil bayinya dari tangannya."Wah, lucu sekali. Emak jadi pengen gendong terus." Emak menimangnya dan menyanyikan lagu yang aku tak tahu artinya. Jika yang ada dalam gendongannya dara
"Ternyata kalian sudah pulang. Eh, Ibas, dengar-dengar bayimu beneran darah daging Romi. Terus, apa kamu masih mau merawatnya? Kalau aku sih ogah, Bas." Budi--suami Mbak diah menanyaiku ketika aku pulang. Ucapannya memang pelan dan terbilang lembut. Hanya saja cukup menusuk ke dadaku.Aku memicingkan mata, kemudian bertanya, "Mas Budi tahu dari siapa kok dengar-dengar?"Mas Budi tertawa. "Bas, Emakmu yang menyebarkan berita itu. Dengan bangga dia berjalan dan memberi tahu pada orang-orang yang ia temui di jalan."Emak? Aku tidak menyangka kalau dia setega itu padaku. "Bas, apa berita itu benar dan sudah terbukti?" Mas Budi memelankan suaranya. Aku mengangguk. Dari sudut mata, kulihat Isma tidak nyaman dengan perbincangan ini."Oalah, Bas. Punya musuh kok ya saudara sendiri. Aku ikut prihatin." Mas Budi penepuk pundakku beberapa kali."Maaf, Mas. Aku harus masuk. Kasihan Isma dan bayinya. Pemisi." Aku sedikit menunduk dan disambut anggukan oleh lelaki yang umurnya di atasku.Aku memba
"Kamu lagi. Ngapain kamu ke sini? Apa omonganku waktu itu kurang jelas? Kamu bukan kakakku lagi. Kita sudah tak ada hubungan keluarga," hardikku. Kuanggat alisku yang rambutnya berwarna hitam pekat.Emak pasang badan dan membela putra kesayangannya itu. "Sadar, Rom. Memutus tali silaturahmi itu tidak baik. Kamu tahu itu kan?"Emak salah. Seharusnya Emak yang sadar. Emak sudah memelihara penjahat di dalam rumah. Aku heran, jangan-jangan Mas Romi sudah mencuci otak Emak.""Jaga bicaramu, Bas!" Emak cuma ingin kalian tidak bermusuhan. Itu saja. Ini cuma masalah sepele, Bas. Jangan terlalu dibesar-besarkan. Kalau memang kamu enggak mau meninggalkan istrimu, jangan salahkan Romi jika dia akan sering ke sini menemui istrimu. Eh, menemui anaknya maksud Emak. Emak tidak akan membiarkan hubungan persaudaraan kalian putus begitu saja. Kalau ada yang harus pergi, dia adalah Isma.""Kalian enggak punya hati.""Enggak punya hati katamu? Aku ke sini baik-baik, Bas. Aku mau meminta maaf pada Isma. S
Aku mencoba ikhlas dengan takdir hidup yang Tuhan berikan. Tapi ternyata ikhlas tak semudah mengucapkan. Tiap kali aku memberi saran pada teman yang curhat denganku, selalu aku berkata agar dia bisa ikhlas. Kenyataannya, memanglah berat. Aku jadi lebih banyak diam dan melamun. Bukan karena mengingat kejadian di malam gelap itu. Tapi, ketika Mas Ibas mendekatiku dan menyentuhku, aku merasa sangat kotor dan tak pantas ia jamah. Aku selalu diliputi rasa bersalah karena hamil dengan pria lain ketika suami berjuang mencari nafkah. Yang biasanya banyak lelaki selingkuh dan beristri baru ketika di luar kota, dia justru rela menerimaku dengan segala kekuranganku saat ini. Masih pantaskah aku menyalahkan Tuhan?Jika pria lain yang berada di posisi Mas Ibas, mungkin dia akan memilih pergi dan mencari pengganti. Karena aku yakin. Bukan hal yang mudah menerima barang yang sudah ternoda orang lain. Apa lagi menerima anak yang kulahirkan dan jelas hasil kajahatan saudara sendiri. Mas Ibas terlal
Tanpa berpamitan pada Emak, aku dan Mas Ibas meninggalkan kampung halaman. Dengan harapan hidup kami tak akan diganggu oleh kehadiran Mas Romi. Rencana awal suamiku, kita akan pergi setelah anak ini agak besar. Tapi, melihat keadaan yang semakin memberi celah pada Emak dan Mas Romi, mempercepat akan lebih baik.Kebetulan melalui teman-teman Mas Ibas, kami bisa mendapatkan kontrakan dengan harga yang relatif murah dan jauh dari harga pasaran.***Ketika sampai di kontrakan yang akan kami tempati, aku syok. Apa lagi ketika masuk ke dalamnya. Luasnya tiga kali lipat dari rumahku. Hanya saja ini bangunan tua. Terlihat dari temboknya banyak yang retak. Kemudian ternit ada beberapa yang sudah roboh. "Mas, apa kita akan tinggal di sini?" tanyaku sembari mengedarkan ke setiap sudut ruangan."Iya, Dek. Untuk sementara waktu. Kalau rumah kita sudah terjual, kita pindah. Ini satu-satunya kontrakan yang paling murah, Dek. Kebetulan si empunya rumah, sedang butuh uang untuk membayar hutang. Lagi