Tinggal aku dan dirinya saja dalam kamar ini."Apa kamu masih sayang padaku, Mas?" Aku memberanikan diri bersuara setelah beberapa minggu saling diam."Bagaimana aku bisa membencimu, sedangkan kamu adalah separuh jiwaku. Tapi bentuk tubuhmu membuatku tak bisa berlama-lama melihatmu. Aku ingin bertahan dalam pernikahan ini, tapi rasanya menyakitkan. Jika pergi, ternyata tak semudah yang kubayangkan."Ingin rasanya aku berteriak, kalau aku juga tidak mau berpisah darinya. Tapi, aku tak mampu karena aku merasa tak pantas lagi untuknya."Jika bertahan membuatmu tersiksa, aku ikhlas jika harus berpisah darimu, Mas." Air kembali melesat dari dari sudut mata."Sudah kukatakan, aku tak akan menalakmu."***Beberapa minggu kemudian, ketika aku sedang menyapu, air keluar dari miss-vi-ku. Seperti ombak yang menyambar dengan tekanan yang sangat besar. Aku terkejut saat melihat sekeliling."Apa ini?" gumamku. Perutku tidak terasa sakit sedikit pun. Air itu terus keluar seperti sedang datang bulan.
Hari ini Isma melahirkan. Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih ketika bayi itu lahir. Apa aku sanggup melihat wajahnya? Dokter memanggilku untuk mengazani bayi yang masih merah itu. Jantungku berdegup kencang. Tangan ini gemetar membayangkan menyentuh kulitnya."Silahkan, Pak. Diazani dulu!" seru wanita berseragam putih itu. Dia meletakkan di tanganku tanpa bisa kutolak. Dengan terpaksa aku melantunkan azan di salah satu telinganya. Dia sangat imut dan lucu. Wajahnya teduh sekali. Sejenak kuperhatikan Isma yang masih terbaring lemah di ranjang. Dia tak berkata apa-apa dan memalingkan wajahnya dari pandanganku.Setelah kuazani, kuletakkan bayi itu di samping Isma. Dia terlelap dan terlihat tenang."Apa kamu tidak mau melihat bayimu?" "Sudah," jawabnya lirih."Lalu apa keputusanmu? Mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, memberikan pada Mas Romi, atau membuangnya?" tanyaku dengan berat berucap."Aku dilema." Tatapannya lurus ke depan. "Ingin sekali kubuang dia jauh dari pandangan.
Aku tidak mau melakukan kekerasan di rumah sakit ini. Tapi tangan ini sudah tak tahan ingin menutup mulutnya. Mataku melotot dan itu mewakili isi hatiku."Kenapa denganmu, Bas? Mau marah dan memukulku? Coba saja kalau berani. Aku akan memanggil petugas keamanan dan kamulah yang akan diusir. Sedang aku bisa bercanda dengan bayiku dan ibunya yang cantik."BEG.Satu pukulan melayang dipipinya. Aku puas bisa menutup mulutnya. Dia mendongak dan hendak membalasku. Tapi Emak keburu mencegahnya."Stop, Rom. Jangan membuat ribut di sini. Yang ada kita akan diusir dari sini. Tujuan kita cuma untuk melihat bayi Isma." Emak menepuk lengan Mas Romi.Tanpa aku mengizinkan, Emak menyerobot celah pintu dan disusul Mas Romi di belakangnya. Badanku terhuyung tapi tak sampai jatuh ke lantai. Tanpa menyapa Isma, Emak mengambil bayinya dari tangannya."Wah, lucu sekali. Emak jadi pengen gendong terus." Emak menimangnya dan menyanyikan lagu yang aku tak tahu artinya. Jika yang ada dalam gendongannya dara
"Ternyata kalian sudah pulang. Eh, Ibas, dengar-dengar bayimu beneran darah daging Romi. Terus, apa kamu masih mau merawatnya? Kalau aku sih ogah, Bas." Budi--suami Mbak diah menanyaiku ketika aku pulang. Ucapannya memang pelan dan terbilang lembut. Hanya saja cukup menusuk ke dadaku.Aku memicingkan mata, kemudian bertanya, "Mas Budi tahu dari siapa kok dengar-dengar?"Mas Budi tertawa. "Bas, Emakmu yang menyebarkan berita itu. Dengan bangga dia berjalan dan memberi tahu pada orang-orang yang ia temui di jalan."Emak? Aku tidak menyangka kalau dia setega itu padaku. "Bas, apa berita itu benar dan sudah terbukti?" Mas Budi memelankan suaranya. Aku mengangguk. Dari sudut mata, kulihat Isma tidak nyaman dengan perbincangan ini."Oalah, Bas. Punya musuh kok ya saudara sendiri. Aku ikut prihatin." Mas Budi penepuk pundakku beberapa kali."Maaf, Mas. Aku harus masuk. Kasihan Isma dan bayinya. Pemisi." Aku sedikit menunduk dan disambut anggukan oleh lelaki yang umurnya di atasku.Aku memba
"Kamu lagi. Ngapain kamu ke sini? Apa omonganku waktu itu kurang jelas? Kamu bukan kakakku lagi. Kita sudah tak ada hubungan keluarga," hardikku. Kuanggat alisku yang rambutnya berwarna hitam pekat.Emak pasang badan dan membela putra kesayangannya itu. "Sadar, Rom. Memutus tali silaturahmi itu tidak baik. Kamu tahu itu kan?"Emak salah. Seharusnya Emak yang sadar. Emak sudah memelihara penjahat di dalam rumah. Aku heran, jangan-jangan Mas Romi sudah mencuci otak Emak.""Jaga bicaramu, Bas!" Emak cuma ingin kalian tidak bermusuhan. Itu saja. Ini cuma masalah sepele, Bas. Jangan terlalu dibesar-besarkan. Kalau memang kamu enggak mau meninggalkan istrimu, jangan salahkan Romi jika dia akan sering ke sini menemui istrimu. Eh, menemui anaknya maksud Emak. Emak tidak akan membiarkan hubungan persaudaraan kalian putus begitu saja. Kalau ada yang harus pergi, dia adalah Isma.""Kalian enggak punya hati.""Enggak punya hati katamu? Aku ke sini baik-baik, Bas. Aku mau meminta maaf pada Isma. S
Aku mencoba ikhlas dengan takdir hidup yang Tuhan berikan. Tapi ternyata ikhlas tak semudah mengucapkan. Tiap kali aku memberi saran pada teman yang curhat denganku, selalu aku berkata agar dia bisa ikhlas. Kenyataannya, memanglah berat. Aku jadi lebih banyak diam dan melamun. Bukan karena mengingat kejadian di malam gelap itu. Tapi, ketika Mas Ibas mendekatiku dan menyentuhku, aku merasa sangat kotor dan tak pantas ia jamah. Aku selalu diliputi rasa bersalah karena hamil dengan pria lain ketika suami berjuang mencari nafkah. Yang biasanya banyak lelaki selingkuh dan beristri baru ketika di luar kota, dia justru rela menerimaku dengan segala kekuranganku saat ini. Masih pantaskah aku menyalahkan Tuhan?Jika pria lain yang berada di posisi Mas Ibas, mungkin dia akan memilih pergi dan mencari pengganti. Karena aku yakin. Bukan hal yang mudah menerima barang yang sudah ternoda orang lain. Apa lagi menerima anak yang kulahirkan dan jelas hasil kajahatan saudara sendiri. Mas Ibas terlal
Tanpa berpamitan pada Emak, aku dan Mas Ibas meninggalkan kampung halaman. Dengan harapan hidup kami tak akan diganggu oleh kehadiran Mas Romi. Rencana awal suamiku, kita akan pergi setelah anak ini agak besar. Tapi, melihat keadaan yang semakin memberi celah pada Emak dan Mas Romi, mempercepat akan lebih baik.Kebetulan melalui teman-teman Mas Ibas, kami bisa mendapatkan kontrakan dengan harga yang relatif murah dan jauh dari harga pasaran.***Ketika sampai di kontrakan yang akan kami tempati, aku syok. Apa lagi ketika masuk ke dalamnya. Luasnya tiga kali lipat dari rumahku. Hanya saja ini bangunan tua. Terlihat dari temboknya banyak yang retak. Kemudian ternit ada beberapa yang sudah roboh. "Mas, apa kita akan tinggal di sini?" tanyaku sembari mengedarkan ke setiap sudut ruangan."Iya, Dek. Untuk sementara waktu. Kalau rumah kita sudah terjual, kita pindah. Ini satu-satunya kontrakan yang paling murah, Dek. Kebetulan si empunya rumah, sedang butuh uang untuk membayar hutang. Lagi
"Itu enggak mungkin, Mak. Lagi pula, aku memang sengaja enggak berpamitan pada Emak. Percuma. Emak pasti melarang dengan berbagai alasan. Kalau Emak datang ke sini hanya untuk memaksa, lebih baik Emak pulang. Aku bukan anak kecil lagi. Aku berhak menentukan hidupku sendiri.""Keterlaluan kamu, Bas! Tega sama Emak. Ingat, Bas. Kamu itu enggak ujug-ujug gede. Kamu Emak susui, Emak rawat sampai dewasa. Disekolahkan supaya jadi anak yang pinter. Sekarang ini balasanmu?" Emak menangis. Tapi aku paham. Itu hanya air mata buaya."Tolong, Mak. Jangan seperti ini. Malu didengar tetangga." Aku mengelus pundak Emak."Minggir tanganmu! Enggak perlu sok peduli pada Emak. Apa kamu memang sengaja mau membuat Emak dan Romi malu?! Hah! Kamu tiba-tiba pergi ketika video itu tersebar di grup RT. Romi dicecar oleh teman-temannya. Pun dengan Emak. Ibu-ibu jadi tidak mau berkawan.""Video? Kalau itu benar, seharusnya Emak dan Mas Romi sadar kalau perbuatan kalian itu tidak memalukan. Kenapa Emak malah meny