Aku tidak mau melakukan kekerasan di rumah sakit ini. Tapi tangan ini sudah tak tahan ingin menutup mulutnya. Mataku melotot dan itu mewakili isi hatiku."Kenapa denganmu, Bas? Mau marah dan memukulku? Coba saja kalau berani. Aku akan memanggil petugas keamanan dan kamulah yang akan diusir. Sedang aku bisa bercanda dengan bayiku dan ibunya yang cantik."BEG.Satu pukulan melayang dipipinya. Aku puas bisa menutup mulutnya. Dia mendongak dan hendak membalasku. Tapi Emak keburu mencegahnya."Stop, Rom. Jangan membuat ribut di sini. Yang ada kita akan diusir dari sini. Tujuan kita cuma untuk melihat bayi Isma." Emak menepuk lengan Mas Romi.Tanpa aku mengizinkan, Emak menyerobot celah pintu dan disusul Mas Romi di belakangnya. Badanku terhuyung tapi tak sampai jatuh ke lantai. Tanpa menyapa Isma, Emak mengambil bayinya dari tangannya."Wah, lucu sekali. Emak jadi pengen gendong terus." Emak menimangnya dan menyanyikan lagu yang aku tak tahu artinya. Jika yang ada dalam gendongannya dara
"Ternyata kalian sudah pulang. Eh, Ibas, dengar-dengar bayimu beneran darah daging Romi. Terus, apa kamu masih mau merawatnya? Kalau aku sih ogah, Bas." Budi--suami Mbak diah menanyaiku ketika aku pulang. Ucapannya memang pelan dan terbilang lembut. Hanya saja cukup menusuk ke dadaku.Aku memicingkan mata, kemudian bertanya, "Mas Budi tahu dari siapa kok dengar-dengar?"Mas Budi tertawa. "Bas, Emakmu yang menyebarkan berita itu. Dengan bangga dia berjalan dan memberi tahu pada orang-orang yang ia temui di jalan."Emak? Aku tidak menyangka kalau dia setega itu padaku. "Bas, apa berita itu benar dan sudah terbukti?" Mas Budi memelankan suaranya. Aku mengangguk. Dari sudut mata, kulihat Isma tidak nyaman dengan perbincangan ini."Oalah, Bas. Punya musuh kok ya saudara sendiri. Aku ikut prihatin." Mas Budi penepuk pundakku beberapa kali."Maaf, Mas. Aku harus masuk. Kasihan Isma dan bayinya. Pemisi." Aku sedikit menunduk dan disambut anggukan oleh lelaki yang umurnya di atasku.Aku memba
"Kamu lagi. Ngapain kamu ke sini? Apa omonganku waktu itu kurang jelas? Kamu bukan kakakku lagi. Kita sudah tak ada hubungan keluarga," hardikku. Kuanggat alisku yang rambutnya berwarna hitam pekat.Emak pasang badan dan membela putra kesayangannya itu. "Sadar, Rom. Memutus tali silaturahmi itu tidak baik. Kamu tahu itu kan?"Emak salah. Seharusnya Emak yang sadar. Emak sudah memelihara penjahat di dalam rumah. Aku heran, jangan-jangan Mas Romi sudah mencuci otak Emak.""Jaga bicaramu, Bas!" Emak cuma ingin kalian tidak bermusuhan. Itu saja. Ini cuma masalah sepele, Bas. Jangan terlalu dibesar-besarkan. Kalau memang kamu enggak mau meninggalkan istrimu, jangan salahkan Romi jika dia akan sering ke sini menemui istrimu. Eh, menemui anaknya maksud Emak. Emak tidak akan membiarkan hubungan persaudaraan kalian putus begitu saja. Kalau ada yang harus pergi, dia adalah Isma.""Kalian enggak punya hati.""Enggak punya hati katamu? Aku ke sini baik-baik, Bas. Aku mau meminta maaf pada Isma. S
Aku mencoba ikhlas dengan takdir hidup yang Tuhan berikan. Tapi ternyata ikhlas tak semudah mengucapkan. Tiap kali aku memberi saran pada teman yang curhat denganku, selalu aku berkata agar dia bisa ikhlas. Kenyataannya, memanglah berat. Aku jadi lebih banyak diam dan melamun. Bukan karena mengingat kejadian di malam gelap itu. Tapi, ketika Mas Ibas mendekatiku dan menyentuhku, aku merasa sangat kotor dan tak pantas ia jamah. Aku selalu diliputi rasa bersalah karena hamil dengan pria lain ketika suami berjuang mencari nafkah. Yang biasanya banyak lelaki selingkuh dan beristri baru ketika di luar kota, dia justru rela menerimaku dengan segala kekuranganku saat ini. Masih pantaskah aku menyalahkan Tuhan?Jika pria lain yang berada di posisi Mas Ibas, mungkin dia akan memilih pergi dan mencari pengganti. Karena aku yakin. Bukan hal yang mudah menerima barang yang sudah ternoda orang lain. Apa lagi menerima anak yang kulahirkan dan jelas hasil kajahatan saudara sendiri. Mas Ibas terlal
Tanpa berpamitan pada Emak, aku dan Mas Ibas meninggalkan kampung halaman. Dengan harapan hidup kami tak akan diganggu oleh kehadiran Mas Romi. Rencana awal suamiku, kita akan pergi setelah anak ini agak besar. Tapi, melihat keadaan yang semakin memberi celah pada Emak dan Mas Romi, mempercepat akan lebih baik.Kebetulan melalui teman-teman Mas Ibas, kami bisa mendapatkan kontrakan dengan harga yang relatif murah dan jauh dari harga pasaran.***Ketika sampai di kontrakan yang akan kami tempati, aku syok. Apa lagi ketika masuk ke dalamnya. Luasnya tiga kali lipat dari rumahku. Hanya saja ini bangunan tua. Terlihat dari temboknya banyak yang retak. Kemudian ternit ada beberapa yang sudah roboh. "Mas, apa kita akan tinggal di sini?" tanyaku sembari mengedarkan ke setiap sudut ruangan."Iya, Dek. Untuk sementara waktu. Kalau rumah kita sudah terjual, kita pindah. Ini satu-satunya kontrakan yang paling murah, Dek. Kebetulan si empunya rumah, sedang butuh uang untuk membayar hutang. Lagi
"Itu enggak mungkin, Mak. Lagi pula, aku memang sengaja enggak berpamitan pada Emak. Percuma. Emak pasti melarang dengan berbagai alasan. Kalau Emak datang ke sini hanya untuk memaksa, lebih baik Emak pulang. Aku bukan anak kecil lagi. Aku berhak menentukan hidupku sendiri.""Keterlaluan kamu, Bas! Tega sama Emak. Ingat, Bas. Kamu itu enggak ujug-ujug gede. Kamu Emak susui, Emak rawat sampai dewasa. Disekolahkan supaya jadi anak yang pinter. Sekarang ini balasanmu?" Emak menangis. Tapi aku paham. Itu hanya air mata buaya."Tolong, Mak. Jangan seperti ini. Malu didengar tetangga." Aku mengelus pundak Emak."Minggir tanganmu! Enggak perlu sok peduli pada Emak. Apa kamu memang sengaja mau membuat Emak dan Romi malu?! Hah! Kamu tiba-tiba pergi ketika video itu tersebar di grup RT. Romi dicecar oleh teman-temannya. Pun dengan Emak. Ibu-ibu jadi tidak mau berkawan.""Video? Kalau itu benar, seharusnya Emak dan Mas Romi sadar kalau perbuatan kalian itu tidak memalukan. Kenapa Emak malah meny
Aku sedikit kesal karena istriku hanya diam ketika direndahkan orang. Meski aku salut pada kesabarannya dalam menjalani hidup. Dulu Isma adalah tetanggaku sendiri. Aku mengenalnya sejak kecil. Aku menyukai sederhanaannya, keluguannya, dan kesabarannya. Aku sadar, memang tak mudah untuk merubah sifat dan karakter seseorang. Bahkan aku sering mendengar, kalau batuk bisa diobati. Tapi, belum tentu dengan watak. Setidaknya, aku tidak merubahnya, hanya memberi semangat pada dirinya."Lain kali jika kamu mendengar lagi tetangga sebelah membicarakanmu dan kamu melihat langsung, jawab saja. Jangan takut. Sabar atau mengalah memang bagus, Dek. Tapi, jika terlalu sabar pada orang-orang seperti mereka, yang ada kamu akan diinjak-injak. Terkecuali kamu sabar menghadapi suami yang suka menaruh handuk basah di kasur atau menikmati irama mendengkurku ketika sedang tidur." Kuangkat sebelah alisku dan melirik Isma. Di tersenyum mendengar ulasan terakhirku."Akan kucoba, Mas. Tapi, aku enggak yakin bis
Pagi harinya, seperti biasa istriku membeli sayur. Aku memperhatikannya dari teras rumah agar bisa mendengar jika ada yang menggunjing kami lagi. Sembari menggendong Tegar aku menimangnya. Dalam hati berdoa. Agar kelak dia tak mewarisi sifat Mas Romi. Ada yang bilang, kalau anak dirawat dari bayi, nanti akan mirip dengan yang mengasuhnya. Kuperhatikan semakin lama, dia memang sedikit mirip denganku. Atau karena aku sudah terlanjur sayang pada si Tegar?"Isma, apa kamu enggak kasihan dengan suamimu? Masak ditinggal merantu malah selingkuh. Sampai ada anaknya pula. Ist, amit-amit." Dari kejauhan bibir Mbak Tias terlihat mengerucut.Aku berharap Isma bisa menguasai hatinya agar tidak baperan dan diam tanpa melawan."Sebaiknya Mbak Tias belajar menjadi wartawan. Agar tidak termakan berita hoak dan lebih teliti dalam mencerna berita. Mulutmu harimaumu, Mbak." Suara istriku akhirnya keluar. Dia terlihat tenang sembari memilah sayur yang ada di gerobak."Eh, hoak apaan? Orang ini sumbernya