Share

Bab 02

Kupu kupu pun berterbangan di dalam perutku.

Pernah juga, ketika pulang dari asrama putri, aku memutuskan untuk memutar melewati depan asrama menuju ndalem.

Kulihat sebuah mobil mewah terparkir di halaman. Aku tahu betul mobil siapa ini.

Namun bukan itu fokusku, melainkan kang Faiq yang sedang menatap tajam ke arah mobil itu.

Bukannya itu mobil juragan Harja, lantas kenapa kang Faiq memperhatikannya hingga sedemikian rupa?

Tanpa sengaja tatapan kami bersirobok, sebuah senyuman tipis terukir di sudut bibirnya. Reflek saja jantungku berdetak seperti halnya bedug di malam hari raya. Aku bingung harus berbuat apa. Hanya dengan senyumannya saja sudah berhasil memporak porandakan pertahananku.

"Murahan sekali perasaan ini," geramku dalam hati.

Kenangan satu tahun yang lalu itu masih saja melekat di benakku hingga saat ini. Bahkan ketika aku duduk bersebelahan dengan laki laki pilihan Abah.

Ya, hari ini adalah satu minggu setelah lamaran juragan Harja.

Doa² ku ternyata belum dikabulkan. Buktinya ijab qobul yang tak pernah aku harapkan itu terjadi.

"Saya terima nikah dan kawinnya Monalisa Adzkia binti kyai Ahmad Baharudin dengan mas kawin tersebut di bayar tunai, "

Sah

Sah

Teriakan sah dari mereka seperti dengungan ribuan lebah di telingaku. Airmataku menetes begitu saja. Bukan karena terharu apalagi bahagia.

Harapanku pupus.

Rasa yang ku pelihara selama setahun ini, kini sudah haram untukku. Bisa atau tidak semua yang kumiliki kini menjadi hak lelaki yang mengucapkan ijab qobul beberapa menit yang lalu.

"Tangan suaminya disambut nduk,"

Ucapan ummi membuyarkan lamunanku. Entah sejak kapan tangan itu berada di hadapanku.

Ku sambut uluran tangannya, ku kecup sebagai awal tanda baktiku sebagai istri.

Tidak ada usapan di kepala, atau doa yang ditiupkan ke ubun ubun seperti impianku.

*******

Sore harinya, aku langsung dibawa oleh suamiku ke rumahnya.

Ummi memelukku dengan erat, tangisnya tidak berhenti mengalir dari kedua netranya.

Sedangkan abah?

Aku tahu abah peka akan keresahan hatiku, terlihat dari tatapannya yang berkaca kaca. Ku dekati cinta pertamaku itu, ku ambil tangannya untuk ku kecup.

"Mona pamit ya bah,"

"Do'a abah selalu menyertaimu nduk, maafkan abah belum bisa memberikan yang terbaik untukmu,"

Aku hanya mengangguk. Suaraku seperti tercekat di tenggorokan untuk menjawabnya.

Mobil mewah yang ku tumpangi melaju meninggalkan halaman ndalem. Sempat ku lihat dari spion, seorang laki laki yang dulu sering ku sebut namanya dalam doa itu berdiri di pojokan samping pohon nangka. Tepatnya di sebelah jendela kamarku.

Aku berusaha menghapus bayang bayangnya dari ingatanku.

"Mas, rumahnya jauh gak sih? " tanyaku mengusir keheningan dalam mobil yang hanya terisi aku dan mas Arya.

Sedangkan keluarga besarnya sudah pulang terlebih dahulu setelah selesai akad tadi.

Mas Arya diam. Sepertinya ia tidak berniat menimpali pertanyaanku.

"Mas, soalnya aku terkadang mengalami mabuk kendaraan,"

"Kampungan."

Satu kata yang terucap dari bibirnya berhasil menarik atensiku.

"Kan mas emang tahu kalau aku berasal dari kampung. Lagian aku juga jarang kok bepergian jauh, "

"Diem bisa gak sih, pusing aku denger kamu ngomong mulu dari tadi,"

Eh, beginikah suamiku? Aku memilih diam. Mungkin karena dia sedang lelah saja.

Mobil yang ku tumpangi berhenti, di antara ruko ruko yang berjejer. Mas Arya turun tanpa mengajakku. Kulihat saja pergerakannya dari dalam mobil. Dan mengapa ia menghampiri seorang wanita dengan pakaian yang kurang bahan menurutku.

Belum reda rasa penasaranku, kini kedua bola mataku melotot saat suamiku dan si wanita itu bercepika cepiki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status