Share

Putri Kyai Baharudin

🌹Adakah orang yang mencicipi manisnya cinta lalu menginginkan yang bukan halalnya.

***********

"Yang pertama, aku menerima perjodohan ini karena warisan. Aku tidak akan mendapat warisan jika menolak perjodohan ini.

Yang kedua, ayah menjodohkanku denganmu hanya untuk popularitas, ia ingin dikenal banyak orang jika putranya menikahi putri seorang kyai. Jadi so, jangan menganggap kamu penting di keluarga kami," ucap mas Arya sambil menyeringai dan berlalu pergi.

Meninggalkan aku yang diam terpaku. Hatiku benar benar sakit, aku merasa menjadi perempuan tidak berguna. Ku usap dengan kasar air mataku yang mengalir begitu saja.

Aku beranjak keluar dari rumah. Jangan sampai mas Arya melihatku menangis atau aku akan lebih dihinakan. Ku langkahkan kakiku tak tentu arah. Hingga akhirnya sebuah taman menjadi pilihanku untuk berhenti.

Aku duduk di sebuah gazebo yang jauh dari kebisingan. Meratapi betapa sulitnya takdir yang ku dapatkan. Bulir bulir air hujan yang menerobos lewat lubang atap membasahi jilbab lebarku. Sepertinya langit pun ikut prihatin dengan kisah ini.

Aku mendongak kala tetesan itu hilang, padahal di depanku hujan masih mengguyur dengan begitu derasnya. Sebuah payung berwarna biru terhampar di atas kepalaku. Ku tolehkan wajah menghadap si pemegang.

Jantungku kembali bertalu. Kala mata teduh itu menatapku sendu.

Ya Allah kenapa ini terjadi lagi?

"Lanjutkan kegiatannya, anggap saja aku hanya pengganti atap gazebo yang sudah tidak berbentuk ini,"

Aku tertegun, bagaimana harus menjawab perkataannya. Bahkan lidahku selalu kelu saat berhadapan dengannya.

"Kang Faiq kenapa bisa di sini?" akhirnya hanya kata itu yang bisa terucap dari bibirku.

"Hanya sedang melintas saja, dan tidak sengaja melihat putri kyai Baharudin kehujanan." Jawabnya. Dan setelah itu tidak ada lagi obrolan di antara kami.

Hampir setengah jam aku bertahan di posisi ini, saling diam dengan kang Faiq yang masih memegangi payung untukku.

"Pulanglah, hujan sudah mulai reda. Tidak baik memakai pakaian basah terlalu lama,"

Aku menatap kang Faiq yang sedang memberikan payungnya untukku.

"Tidak usah kang, bawa njenegan saja. Rumahku dekat kok dari sini," tolakku.

"Tidak apa, aku bisa membelinya lagi nanti. Lagian aku bawa kendaraan, jadi tidak terlalu membutuhkannya. Assalamualaikum," ucap kang Faiq meletakkan payung itu di hadapanku, dan berlalu pergi.

"Waalaikumsalam."

Ku tatap sosoknya yang hilang ditelan pepohonan. Entah kenapa aku merasa jika ada wibawa saat ia berbicara.

Aku berjalan pulang menerobos gerimis berbekal payung yang diberikan kang Faiq tadi.

Lagi lagi ku lihat sebuah high heels terparkir rapi di depan pintu.

Ku buka pintu perlahan, takut jika mendapati sesuatu yang tidak ku inginkan. Langkahku yang hendak ke kamar sebelah tangga terhenti ketika mendengar sebuah des*han.

Jantungku berpacu. Ingin rasanya ku abaikan saja, namun rasa penasaranku lebih mendominasi. Aku berjalan perlahan menaiki satu persatu anak tangga.

Ketika sampai di ujung teratas, suara itu terdengar lebih jelas. Ku longokkan kepalaku, pertama yang kulihat adalah dua buah pintu berjejer. Namun bukan dari situ suaranya, melainkan...

Astagfirullahal'adzim

Tanpa bisa berkata, aku berlari turun dan langsung masuk ke dalam kamar. Tak ku hiraukan gamis dan jilbabku yang basah. Ku telungkupkan wajah di kasur.

Mereka benar benar berbuat zina. Di depan mataku, suamiku berbuat hal yang seharusnya menjadi nafkah batin untukku. Sayangnya ia malah memberikannya kepada wanita lain yang bukan mahramnya.

Ku puas puaskan menangis. Setelah ini tidak akan ada lagi air mata yang akan ku keluarkan untuk takdir ini. Sudah jelas ini sia sia.

Suara dering ponsel menganggu indra pendengaranku. Aku tidak berniat mengangkatnya. Moodku benar benar sedang buruk sekarang.

Namun ketika melihat nama "Ummi" terpampang di layar utama aku bergegas mengubah niatku. Sejak aku menikah dengan mas Arya, baru kali ini ummi menelfonku. Biasanya aku yang sering menelfonnya, membicarakan banyak hal tanpa membongkar keburukan mas Arya.

("Assalamualaikum Ummi,")

(Waalaikumsalam, Mona apa yang kamu lakukan? kamu ingin mencoreng muka abah dengan perbuatanmu itu?")

Aku bingung apa maksudnya Abah, tidak biasanya juga abah mau berbicafa lewat sambungan telfon.

("Maksud Abah bagaimana nggih?")

("Lihat foto yang telah ummimu kirimkan, dan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.")

Tut

Panggilan terputus begitu saja. Aku langsung membuka wa dari ummi sekitar lima belas menit yang lalu.

Ummi mengirim tiga foto yang belum terdownload. Aku mendownloadnya satu persatu.

Mataku terbelalak melihat foto itu. Bagaimana bisa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status