BERDANDAN RATU DAN ROMBONGAN DANYANGNYA!
Ternyata mereka baru pulang dari pasar sejak subuh untuk mengambil bahan-bahan yang akan dimasak. Sedangkan di dapur orang-orang sudah bersiap untuk membuat masakan karena ijab kabul akan dilakukan pukul sembilan pagi."Waalaikumsalam!" sahut mereka semua. Mbak Alif berjalan ke belakang menemui Dinda."Kok sudah banyak sekali yang datang di depan,Dek? tapi di dapur ini-ini saja? Kemana mereka semua?" tanya Mbak Alif heran dengan jumlah sandal yang ada di ruang tamu."Lihatlah Mbak kelakuan ibumu," bisik Dinda."Di mana ibu?" tanya Mbak Alif."Tuh di kamar. Kau akan terkejut dan membaca istighfar berkali-kali, Mbak," ucap Dinda."Memang ada apa sih, Din?" tanya Mbak Alif penasaran dan langsung menaruh belanjaan secara serampangan."Ada apa, Din?" bisik Mbak Eva tak kalah penasarannya."Lihat saja di dalam sendiri, Mbak. Ibu berbuat ulah apa. Tak asik dong kalau spoiler di depan," kata Dinda."AstaghfiruSAHHH!!!"Mereka jangan boleh masuk ke dalam! Jika tidak acaranya akan buyar," tegas Hasan."Benar itu," sahut Mas Zain."Wis kau ke dalam saja, San. Biar yang di luar Mas yang handle," perintah Mas Zain."Benar itu setidaknya ada satu orang yang di luar. Zain ini kan acara pernikahan Ibumu lebih baik kau yang masuk. Biarkan Mas Andri saja yang berjaga di luar," ujar Mas Andri."Tidak Mas, sampeyan saja. Sampeyan yang lebih tahu cara mengurus semua secara administrasi sedangkan aku dan Hasan tidak begitu mengerti. Justru jika kau ikut keluar akan repot nanti kita semua di dalam," usul Mas Zain."Benar itu Mas. Ayok, temani aku ke dalam yo. Biar Mas Zain saja yang di luar," usul Hasan. Akhirnya Mas Andri pun mengangguk."Kau yakin tidak apa-apa tak menyaksikan acara ijab kabul Ibumu?" tanya Mas Andri."Tak masalah, Mas. Tak apa-apa, aku akan berjaga di luar agar acara ini berlangsung dengan hikmat tak mengurangi kesakralannya. Daripada acara ini harus diganggu dengan tingkah laku merek
KELUARGA BARU, PERUBAHAN BARU, AWAL LEMBARAN BARU DAN KEHIDUPAN BAHAGIA. "Sekarang Ibu tak perlu khawatir kesepian karena sudah memiliki Pak Hendi, begitupun dengan Pak Hendi sudah tak khawatir tidak ada apa-apa dengan putrinya. Karena rumahnya kan dekat. Insya Allah sebagai anak-anak dari Bu Nafis serta menantu, kami akan membantu sebisa mungkin," kata Mas Andri. "Terima kasih ya doanya, Le. Semoga memang ini membawa kebaikan untuk kita semua, pernikahan yang dilakukan di usia senja. Siapa yang menyangka jika kami akan berjodoh di usia setua ini, bahkan Nafis pun sudah memiliki cucu. Tapi memang pernikahan ini bukan pernikahan berdasarkan nafsu. Kami hanya ingin menghabiskan waktu tua bersama," ujar Pak Hendi. "Benar itu Pak Hendi, sekarang kau jangan memanggil Pak," kata Bu Nafis. "Lalu kami harus memanggil apa, Bu?" tanya Mbak Alif. "Apakah panggil Abah biar sama Seperti almarhum Abahmu?" pinta Bu Nafis. "Jangan Nafis! A
Rencana Dinda Untuk Menginap, Menghibur Anak Pak Hendi "Mbak Alif pun bahkan tidak sadar jika Safira dan Laras tidak ada di sana. Jika bukan kamu yang perhatian sampai sedetail itu, mungkin kedua anak itu akan kelaparan dan justru akan tambah membenci Ibu. Ambilah Dek, ambillah sepuasnya. Mbak sudah memasak kan lebih dari cukup jika hanya kau ambil untuk kedua anak itu," perintah Mbak Alif."Semoga ini awal yang baik," Dinda yang di balas anggukan Mbak Aif.Dinda pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Dia segera melanjutkan acara bungkus-bungkusnya, mengambilkan nasi dengan berbagai macam lauk dan berangkat ke rumah Pak Hendi, lewat belakang rumah untuk menuju ke sana. Terlihat pintu terkunci dengan rapat, DInda pun mengetuknya perlahan.'Tok tok tok'"Assalamualaikum," sapa Dinda."Assalamualaikum! Safira, Laras, Ini Mbak Dinda!" teriak Dinda dari luar."Waalaikum salam, iya Mbak," sahut suara seorang gadis dengan sahutan yang lirih.Dinda pun menghela napasnya, dia yakin seka
Kehidupan Lucu di Rumah Mertuaku"Apakah tadi ibu sudah kembali dari KUA, Mbak? Apakah mereka sudah sah menikah, Mbak?" tanya Safira."Sudah, Dek. Mereka sudah sah menikah. Taapi percayalah pada Mbak Dinda, bahwa meskipun mereka sudah menikah secara sah dalam agama dan negara, status Bu Nafis sekarang juga resmi menjadi Ibumu namun tak akan ada yang berubah. Mbak Dinda jamin itu," kata Dinda. Safira dan Laras menganggukkan kepalanya."Nah, sekarang mbak Dinda pulang dulu ya. Jangan lupa sholat magrib dan isya' nanti, kalian tidurlah dulu jika sudah mengantuk. Inysa' allah Mbak akan ke sini lagi. Namun, Mbak Dinda harus beres-beres dullu," jelas Dinda."Nanti kabari ya, Mbak," jawab Laras. Dinda menganggukkan kepalanya lalu pamit. Dinda berjalan perlahan sambil meninggalkan kedua anak itu di rumah di rumah Pak Hendi yang sepi. Dia bejalan pulang, jam hampir menunjukkan waktu ba'da ashar. Ternyata acara sudah berjalan cukup baik, bahkan acara sudah memasuki makan-makan."Loh, dari man
“Dinda...Dindaaa...! Keluar kamu!” teriak bu Nafis mertuanya. Gedoran pintu yang keras dari luar, membuat Dinda segera berdiri. Dia mengusap air mata. Dinda tak ingin mertuanya tahu jika dia menangis. “Nggih (ya),” kata Dinda, “Kau mengadu lagi pada Hasan? Iyakan? Hahahaha! Dinda... Dinda sampai kapanpun Hasan itu surganya ada di telapak kakiku! Dia akan selalu menuruti semua perkataanku sebagai seorang Ibu yang telah melahirkannya, kau hanya wanita asing yang baru di nikahi kemarin sore, jadi jangan harap kau bisa mempengaruhi anakku, mengerti!” bentak bu Nafis. Bu Nafis berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu. Dinda hanya mampu beristigfar dalam hati dan berkali-kali sambil mengelus dada, kemana perginya Hasan. Andai saja Hasan mengetahui semua perlakuan ibunya, mungkin dia akan membela Dinda. Mungkin, karena semakin ke sini Dinda juga ragu dengan ketegasan suaminya. “Sudah, sana kau cuci semua perkakas kotor di dapur bekas memasak tadi pagi! Kau pikir hidup itu gratis,
"Oh Ibu sedang ikut senam PKK di Kecamatan paling bareng sama teman gengnya itu lo Mas! Mbak Dinda tolong buatin telur goreng dong, Ifah capek banget abis endors," ujar Ifah satai. "Aduh mengapa Ifah tak tanggap pada kodenya," gumam Dinda lirih.Sayang sekali Ifah tak menyadari deheman Dinda yang memiliki arti tadi. Sekarang Dinda hanya bisa berdoa semoga mertuanya tak ngamuk saat pulang senam nanti. "Mbakmu kan sedang mencuci piring, ketimbang goreng telur masak harus menyuruh Mbak Dinda, kau kan anak perempuan belajarlah memasak untuk suamimu nanti," tegur Hasan. "Halah Ifah masih SMA Mas, masih pengen kuliah! Lagian Ifah tuh capek Mas! Endors dari pagi, lanjut sekolah belum lagi ngajar les, untuk tambahan uang saku! Mbak Dinda lo nganggur di rumah jadi wajar dong kalau Ifah minta tolong, ya kan Mbak?" rengek Ifah dengan suara manja pada Dinda. "Sudahlah Mas, cuma menggoreng telur saja bukan hal yang sulit, istirahatlah Fah! nanti Mbak panggil, sana pergi dari pada Masmu marah!"
“Bukankah itu sama artinya kau meragukan perkataanku Mas?” tanya Dinda dengan mata berkaca-kaca.“Aku tidak bermaksud begitu Dek, itu tadi hanya reflek dari tubuhku! Maaf jika itu membuatmu tersinggung, sekarang coba kau ceritakan semuanya, Mas akan mendengarkan dengan seksama,” jelas Hasan perlahan sambil duduk di hadapan istrinya."Ibu menuduhku mengadu pada Mas, jika beliau pergi senam, Dinda sudah mengatakan bahwa Ifah yang memberitahu, tapi malah Dinda yang di kira memfitnah Ifah, Dinda sudah berusaha menjelaskan Mas, tetapi Ibu pergi tanpa mendengarkan semuanya," ungkap Dinda.Hasan diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya memeluk istrinya agar tenang. Dinda terisak di dekapan Hasan, batinnya bertanya mengapa suaminya tak bisa bijak dalam mengambil keputusan? Mengapa suaminya hanya diam jika itu berkaitan dengan Ibunya?Hasan diam dengan sejuta pikiran. Satu sisi Dinda adalah istri yang ingin di belanya, namun di sisi lain ada ibu kandung yang akan menjadi musuhnya. Si
“Nduk? Apa kau yakin tak sedang menangis?” tanya papa Dinda. “Tidak Pah, mungkin speaker Dinda bermasalah, tumben Papa telpon pagi sekali?” tanya Dinda mengalihkan pembicaraan. “Entah kenapa hati Papa tak tenang sejak semalam, teringat padamu! Apa sekarang kau baik-baik saja? Bagaimana perlakuan Hasan dan keluarganya?” tanya Papa Dinda. “Dinda baik-baik saja kok Pa, jadi Papa tak perlu khawatir,” jawab Dinda. “Baik, kabari Papa jika mereka memperlakukanmu dengan buruk! Ya walaupun Papa tak setuju kau menikah dengan Hasan tetapi kau harus ingat di sana ikut dengan mertua! Jaga sikap dan bicaramu, ingatlah kau bukan sedang di rumah sendiri, jangan menyamakan keadaan di sana seperti rumah sendiri, ujar papa Dinda. “Dinda selalu ingat pesan Papa,” jawab Dinda. “Jangan lupa makan dan jaga kesehatan, ! Assalamualaikum,” kata papa Dinda. ‘Tut’ telpon terputus, Dinda mendekap erat Hpnya. Air mata yang sedari tadi di tahannya jatuh lagi, mengapa pernikahan yang di impikannya menjadi sep