“Bukankah itu sama artinya kau meragukan perkataanku Mas?” tanya Dinda dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tidak bermaksud begitu Dek, itu tadi hanya reflek dari tubuhku! Maaf jika itu membuatmu tersinggung, sekarang coba kau ceritakan semuanya, Mas akan mendengarkan dengan seksama,” jelas Hasan perlahan sambil duduk di hadapan istrinya.
"Ibu menuduhku mengadu pada Mas, jika beliau pergi senam, Dinda sudah mengatakan bahwa Ifah yang memberitahu, tapi malah Dinda yang di kira memfitnah Ifah, Dinda sudah berusaha menjelaskan Mas, tetapi Ibu pergi tanpa mendengarkan semuanya," ungkap Dinda.
Hasan diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya memeluk istrinya agar tenang. Dinda terisak di dekapan Hasan, batinnya bertanya mengapa suaminya tak bisa bijak dalam mengambil keputusan? Mengapa suaminya hanya diam jika itu berkaitan dengan Ibunya?
Hasan diam dengan sejuta pikiran. Satu sisi Dinda adalah istri yang ingin di belanya, namun di sisi lain ada ibu kandung yang akan menjadi musuhnya. Siapakah yang harus dia percaya? Dia akan menanyakan pada Ibunya besok.
Sejak subuh Dinda sudah bangun, membantu membersihkan rumah. Ibu Nafis memasak untuk jualan, Hasan membantu sebisanya. Sedangkah Ifah dia masih tertidur setelah sholat subuh.
"Bu, apakah semalam Ibu bertengkar dengan Dinda?" tanya Hasan sambil mengupas bawang.
"Apa dia mengadu padamu lagi?" sanggah bu Nafis.
"Tidak, semalam sepulangnya Hasan dari rumah Mas Eko, Dinda menangis di kamar, saat Hasan tanya katanya Ibu mengatai dia mandul, apa benar?" tanya Hasan dengan suara lembut.
Ibu Nafis tak menjawa. Dia langsung meletakkan panci sayurnya.
"Dinda, Nduk! Coba sini!" teriaknya dari dapur.
Dinda yang sedang menyapu halaman datang tergopoh-gopoh mendengar panggilan mertuanya.
"Kau mengadu apa?" tanya bu Nafis langsung.
Dinda memandang suaminya.
"Katakanlah, kau mengadu apa? Kenapa hanya menceritakan bahwa aku mengatakanmu mandul? Mengapa kau tak menjelaskan sebab apa aku mengatai dirimu mandul! Hah!" teriak bu Nafis.
"Bu, sudah jangan berteriak seperti itu, malu sama tetangga," potong Hasan.
"Asal kau tahu saja Hasan, dia mengungkit kendaraan yang kau pakai! Mengatakan pada Ibu agar tak lupa dan sadar diri bahwa itu miliknya, lalu dia juga memfitnah Ifah, mengapa dia tak menjelaskan detailnya! Hanya mengatakan bagian mandul sampai Ibu terlihat seperti mertua jahat!" bentak bu Nafis.
Dinda menangis, pertama kali dia di perlakukan seperti ini. Selama ini kedua orangtua Dinda medidik anak tanpa ada ucapan kasar atau nada tinggi. Sehingga bentakan bu Nafis membuat Dinda syok.
"Dinda hanya mengatakan bahwa bukan Dinda yang mengadu pada Mas Hasan," kata Dinda dengan suara bergetar.
"Memang bukan Dinda Bu, saat Ifah menelpon Ibu di sampingnya ada Hasan, jadi tuduhan Ibu tak terbukti," sanggah Hasan.
"Jika memang begitu mengapa dia tak menjelaskan perlahan, Ibu sudah tua Hasan, terkadang harus di jelaskan berulang kali agar paham, dan lagi Dinda membentak Ibu mengatakan harus tahu diri bahwa itu mobilnya! Tanpa dia menjelaskan Ibu sadar diri, itu memang mobilnya toh juga bukan mobil yang bagus, itu hanya mobil buntut yang di dapat dari menghabiskan seluruh tabungannya saat dia bekerja, mengapa dia mengatakan seolah itu barang yang sangat berharga sampai merendahkan Ibu? Bukankah di sini dia juga hanya menumpang pada Ibu, semua Ibu yang bayar mulai air, beras, lauk! Mengapa semua itu tak terlihat?" bu Nafis mengusap kedua matanya dengan ujung baju.
"Bu, sudah jangan menangis, mungkin Dinda tak bermaksud seperti itu, iya kan Dek? minta maaflah pada Ibu!" perintah Hasan.
Sepersekian detik Dinda terdiam mencerna semua yang terjadi. Mengapa harus dirinya yang meminta maaf.
"Dek, cepatlah minta maaf ke Ibu!" bentak Hasan.
"Sudahlah Hasan, jangan paksa Dinda! Ibu harus tahu diri, maafkan Ibu ya Dinda," kata bu Nafis sambil berjalan pergi ke kamar.
"Dek jangan membuatku memilih!” pekik Hasan dengan suara tertahan.
Hasan menyusul Ibunya, meninggalkan Dinda sendiri.
"Mengapa kau tak berlaku adil Mas? Mengapa baktimu membuatku merasa cemburu?" kata Dinda lirih bersama air mata yang luruh.
Suara dering telpon menyadarkan Dinda yang terdiam mematung dengan linangan air mata. Dia segera bergegas mencari sumber suara itu. Saat melewati kamar ibu mertuanya, terlihat Hasan sedang membujuk sang ibu yang merajuk dengan tidur membelakangi Hasan.
Dinda bergegas pergi meninggalkan pemandangan itu. Sakit hatinya melihat sang suami lebih peduli pada ibunya dari pada dia. Terlihat nama ‘papa’ di layar Hp yang berdering. Rupanya Papanya menelpon.
“Assalamualaikum, Pah,” sapa Dinda.
“Waalaikumsalam Nduk, kau sedang apa? Apa Papa menganggu?” tanya suara lelaki di sebrang.
“Tidak Pah, baru saja Dinda membantu Bu Nafis untuk membersihkan rumah,” jawab Dinda.
“Mengapa suaramu terdengar parau? Apa kau menangis Nduk?” tanya papa Dinda.
“Apakah aku harus mengatakan dengan jujur apa yang terjadi saat ini?” tanya Dinda dalam hati.
Jawaban apa yang harus Dinda katakan pada papanya.
BERSAMBUNG
“Nduk? Apa kau yakin tak sedang menangis?” tanya papa Dinda. “Tidak Pah, mungkin speaker Dinda bermasalah, tumben Papa telpon pagi sekali?” tanya Dinda mengalihkan pembicaraan. “Entah kenapa hati Papa tak tenang sejak semalam, teringat padamu! Apa sekarang kau baik-baik saja? Bagaimana perlakuan Hasan dan keluarganya?” tanya Papa Dinda. “Dinda baik-baik saja kok Pa, jadi Papa tak perlu khawatir,” jawab Dinda. “Baik, kabari Papa jika mereka memperlakukanmu dengan buruk! Ya walaupun Papa tak setuju kau menikah dengan Hasan tetapi kau harus ingat di sana ikut dengan mertua! Jaga sikap dan bicaramu, ingatlah kau bukan sedang di rumah sendiri, jangan menyamakan keadaan di sana seperti rumah sendiri, ujar papa Dinda. “Dinda selalu ingat pesan Papa,” jawab Dinda. “Jangan lupa makan dan jaga kesehatan, ! Assalamualaikum,” kata papa Dinda. ‘Tut’ telpon terputus, Dinda mendekap erat Hpnya. Air mata yang sedari tadi di tahannya jatuh lagi, mengapa pernikahan yang di impikannya menjadi sep
“Tapi Bu, aku sudah menikah dengan Dinda! Tak mungkin Hasan tega menduakannya,” jelas Hasan. “Siapa suruh kau memilih Dinda? Dia bukan selera Ibu!” bentak Bu Nafis. “Bukankah Ibu dulu juga merestui? Bahkan Ibu yang menyuruh Hasan cepat menikahi Dinda,” “Ya karena Ibu dulu salah sangka, rumah gedong itu Ibu pikir milik Dinda ternyata bukan, apalagi Ibu kira Dinda dulu tetap kerja nyatanya keluar, kesini hanya bawa mobil buntut!” jelas bu Nafis. “Hasan Bu yang melarangnya bekerja,” “Sudah-sudah, selera Ibu punya mantu PNS seperti ini, bagaimana mau kan?” bujuk bu Nafis. “Istigfar Bu!” perintah Hasan sambil meninggalkan ibunya. Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, jam di mana Dinda selalu bangun untuk sholat tahajud. ‘Tring...tring’ notif alarm HP Hasan berbunyi berkali kali. Dinda menoleh, dia melihat Hasan masih tertidur lelap, pasti dia lelah setelah pulang bekerja harus membantu Dinda mengemasi madumongso jualan bu Nafis. Dinda sudah melarangnya tetapi Hasan ingin membant
MENANTU ATAU MERTUA DAKJAL? “Hey Mantu Dakjal kau ya! Berani membentak Ibu Mertuamu sendiri!” teriak Ibu- ibu berbaju kolaborasi macan dan jilbab zebra. “Lihatkan, kalian bisa lihat sendiri sekarang, aku tak mengada- ada ya memang begitulah Dinda menantuku ini, huhuhu” isak bu Nafis. Dinda begitu muak melihat kelakuan Ibu mertuanya. “Dinda, maafkan Ibu Nak! Maafkan Ibu,” ujar bu Nafis dengan acting menangis. “Bu! Hentikan! Mengapa Ibu bersandiwara?” tanya Dinda berjalan mendekat menuju ibu mertuanya. “Heh berhenti menantu Dakjal! Tak akan ku biarkan kau menyiksa anggota- ku! Sini lawan aku!” tantang ibu- ibu lain. “Apa yang sebenarnya Ibu katakana pada mereka? Mengapa mereka begitu membenciku padahal sama sekali aku tak mengenal mereka!” seru Dinda. “Heh Dakjal!” seru ibu- ibu baju macan. “Namaku Dinda! Dasar norak baju corak kebun binatang!” sanggah Dinda tak kalah lantang. “Namaku Ibu Ningsih bukan kebun binatang! Bagaimana kami tak membenci menantu modelan seperti dirimu!
"Waalaikumsalam Dek, tumben telpon jam segini ada apa?" tanya Hasan heran.Tak biasanya Dinda menelpon di jam kerja. Mengapa suara Dinda serak dan parau? Ah pastilah dia bertengkar lagi dengan ibunya. Hasan menarik nafas panjang."Kau kenapa Dek?" Hasan mengulangi pertanyaannya lagi."Huhuhu, Mas marilah kita pindah, apa aku saja yang ngekos jika Mas keberatan pindah! Dinda tak masalah kok Mas asal tak tinggal satu atap dengan ibu lagi, dulu aku juga terbiasa hidup sendiri di Kos," dengan terbata- bata Dinda menyampaikannya."Kenapa lagi dengan Ibu, Dek? Apa kau tadi sudah membelikan Ibu hadiah atau roti, bagaimana belanjamu?" Hasan masih terus mencoba mengalihkan pembicaraan Dinda."Mas, tolonglah Dinda, rasanya Dinda tak kuat lagi sekarang... huhuhu" isak tangis Dinda makin menjadi."Tunggulah," ujar Hasan mematikan telpon tanpa mengucapkan salam.Hasan segera mengambil kunci mobil dan bergegas pulang."Her aku izin keluar sebentar ya, jika ada yang mencariku katakan suruh tunggu sa
“Apa maksud ini semua Dek?” tanya Hasan sambil menyerahkan kertas bukti struk pembelanjaan. “Kau lebih peduli pada struk itu Mas dari pada keadaan Istrimu sendiri?” tatap Dinda setengah tak percaya mendapati suaminya melakukan hal ini. Dinda pikir Hasan datang akan menenangkannya. Sebelumnya Dinda begitu bangga saat Hasan membela dirinya di hadapan ibu- ibu geng mertua. Lagi dia ternyata terlalu berharap pada Hasan. “Bukan itu maksudku,” Hasan menoleh sekelilingnya. Semua mata ibu- ibu menuju ke arahnya dan Dinda. Tak baik rasanya jika menanyakan masalah keuangan saat ini. “Maafkan aku, mari kita keluar dan menyelesaikan semuanya Dek! Agar tak ada kesalapahaman lagi, tenanglah Mas akan berada di posisimu selama kau benar,” ucap Hasan menenangkan perasaan Dinda. Dinda mengangguk patuh. Dia keluar dengan mengandeng lengan suaminya. Bukan untuk memamerkan kemesraan tetapi mencari sumber kekuatan. “Baiklah Ibu- ibu mari kita duduk dulu,” perintah Hasan. Mereka semua duduk melingkar
"Oh, itu ini, em Mas uang Dinda," jawab Dinda dengan gugup dan terbata- bata."Iya Mas Hasan tahu Dek itu uangmu, tapi yang Mas Hasan pertanyaka dari mana Dinda mendapatkan uang itu?" tanya Hasan sekali lagi."Kan dari jatah bulanan yang Mas Hasan berikan selama ini," ujar Dinda."Dek, Mas bukanlah orang yang kaya sehingga mampu memberikanmu uang puluhan juta dalam satu bulan, Mas hanya bisa memberikanmu uang satu juta rupiah perbulan, kita menikah baru dua bulan itu artinya hanya dua juta rupiah, di tambah dua ratus ribu yang Mas berikan tadi pagi totalnya jadi dua juta dua ratus ribu rupiah, sedangkan nota belanjamu berapa Dek? Empat juta tujuh ratus ribu Dek," kata Hasan.Dia menghela nafas panjang."Dek Mas hanya ingin kejujuranmu," sambung Hasan."Jangan takut Mas, uang itu halal, selama ini Dinda bekerja, maafkan Dinda yang tak jujur pada Mas Hasan," jawab Dinda sambil menunduk."Kerja? Kau kerja apa Dek?" Hasan bingung selama ini Dinda selalu di rumah tak pernah keluar tanpa i
"Tenanglah aku pernah ada di posisimu, kita sama- sama menantu di keluarga ini," kata Eva.Dinda menatap iparnya dengan pandangan heran."Makan dengan lauk sisa, hanya Ifah dan suami yang makan lauk enak, selalu di katakan benalu, mandul, pemalas, benar bukan? Ibarat makan aku sudah terlalu kenyang mengalami hal itu," ucap Eva agar Dinda yakin."Stttt! Belum selesai ketika teman- teman gengnya berkumpul selalu menjadi mertua terbaik, memperlakukan menantu spesial, dan lagi kita adalah menantu durhaka! Hahaha," tawa Eva membahana.'Prok... Prok...' Dinda bertepuk tangan."Hebat banget Mbak Eva bisa tahu, apakah ini artinya kita akan jadi Bestie?" tanya Dinda."Tentu, aku lima tahun hidup dengan Ibu Nafis mertuamu itu," ucap Eva."Mbak tolong! Please, mertuaku itu juga mertuamu," sanggah Dinda."Hahahaha, kalau bisa kau ambil aja! Pengen ku tukar tambah mertua tapi anaknya baik, gimana dong?" Kata Eva sambil menutup bagasi mobil tua milik Hasan yang selama ini di pinjamnya."Sudah nanti
"Aku... Aku tak merasa mengatakan sesuatu Mas," jawab Dinda tergagap."Yakin? Jangan samapi penialaian Mas Zain terhadapmu berubah ya!" ancam Zain.Dinda mengangguk pelan. Untung Eva datang dari belakang sambil membawa ember air dan kain pel. Dia heran mengapa suaminya duduk berhadapan dengan Dinda. Dia yakin pasti ada sesuatu yang tak beres."Ada apa ini? Masih sore lo masak iya sudah mau mengadakan acara rapat musyawarah mufakat?" ledek Eva."Bukan begitu Mi, ini lo Ibu di kamar nangis- nangis bercerita jika Dinda mengoloknya dengan kata- kata yang tak pantas lah pokoknya di sebutkan," jawab Zain.Eva melanjutkan kegiatannya mengepel lantai. Sedangkan Dinda hanya mampu duduk terdiam memandang ke lantai bawah."Halah sampean (kamu) itu kayak ndak hapal sama kelakuan Ibumu to Bi, bukannya apa- apa kalau seperti ini Abi yang salah! Dinda ini baru dalam keluarga sini, wajar kalau salah! Tapi Abi tak berhak langsung menghakiminya layaknya tersangka begitu, bagaimanapun Abi harus mengharg