Share

PILIHAN SULIT ANAK LELAKI

“Nduk? Apa kau yakin tak sedang menangis?” tanya papa Dinda.

“Tidak Pah, mungkin speaker Dinda bermasalah, tumben Papa telpon pagi sekali?” tanya Dinda mengalihkan pembicaraan.

“Entah kenapa hati Papa tak tenang sejak semalam, teringat padamu! Apa sekarang kau baik-baik saja? Bagaimana perlakuan Hasan dan keluarganya?” tanya Papa Dinda.

“Dinda baik-baik saja kok Pa, jadi Papa tak perlu khawatir,” jawab Dinda.

“Baik, kabari Papa jika mereka memperlakukanmu dengan buruk! Ya walaupun Papa tak setuju kau menikah dengan Hasan tetapi kau harus ingat di sana ikut dengan mertua! Jaga sikap dan bicaramu, ingatlah kau bukan sedang di rumah sendiri, jangan menyamakan keadaan di sana seperti rumah sendiri, ujar papa Dinda.

“Dinda selalu ingat pesan Papa,” jawab Dinda.

“Jangan lupa makan dan jaga kesehatan, ! Assalamualaikum,” kata papa Dinda.

‘Tut’ telpon terputus, Dinda mendekap erat Hpnya. Air mata yang sedari tadi di tahannya jatuh lagi, mengapa pernikahan yang di impikannya menjadi seperti ini. Jauh berbeda dengan apa yang di bayangkan Dinda. Kehidupannya yang nyaman saat masih tinggal bersama keluarganya kini berubah seratus delapan puluh derajat ketika dia di boyong suami.

“Siapa yang telpon Dek?” tanya Hasan yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar.

“Oh em itu Bos Dinda dulu Mas,” jawab Dinda sedikit gelagapan.

Dinda takut Hasan curiga. Karena selama ini Hasan belum mengetahui sejatinya siapa Dinda. Mereka menikah dengan ta’aruf atau perjodohan dari saudara jauh masing-masing. Pernikahan tertutup rapat hanya di hadiri keluarga inti dan di lakukan di masjid dekat perumahan Dinda.

Ini dikarenakan Papa menentang konsep taaruf yang di lakukan oleh Dinda dan Hasan. Bukan karena taarufnya yang salah tetapi Papa Dinda sudah menyebar informan untuk menyelidiki latar belakang keluarga Hasan sebelumnya. Memang Hasan lelaki baik, tapi tidak dengan ibunya yang gemar memosting semua di media sosial bersama oara gengnya.

Apalagi saat akad akan berlangsung, ibu Hasan berseloroh merendahkan keluarga mereka. Hal itu karena keluarga besar Dinda yang mengutamakan kesederhanaan. Sedangkan keluarga Hasan memandang semua dari harta.

Masih jelas di ingatan Dinda bagaimana bu Nafis mengatakan

"Halah dapat besan semua kok miskin! Ndak ada yang memakai perhiasan," seloroh ibu Nafis saat akad akan di mulai.

Hampir saja Papa Dinda membatalkan akad pagi itu. Tetapi Dinda merayu papanya agar tetap merestui pernikahan mereka. Karena Dinda telah jatuh hati pada pandangan pertama akan kesantunan dan kesopanan Hasan dalam bertutur kata. Dengan terpaksa Papa Dinda setuju dengan syarat Dinda tak menunjukkan identitas asli keluarganya.

“Bosmu? Lalu mengapa kau menangis Dek?” tanya Hasan heran.

“Dinda terharu Mas, walaupun Dinda sudah tak bekerja di sana tetapi masih memiliki Bos perhatian,” jawab Dinda.

“Ingat Dek jangan pernah berfikir bekerja lagi, tugas istri melayani suaminya, kamu itu tulang rusuk, bukan tulang punggung! Mengerti?” tanya Hasan.

Dinda mengangguk, dia tahu sebenarnya suaminya orang baik. Tetapi kadang kala dia di hadapkan pada kondisi dan pilihan sulit saat menghadapi Dinda dan Ibunya.

“Mas, maafkan Dinda,” ujar Dinda.

“Kenapa kau meminta maaf Dek? Harusnya Mas yang meminta maaf karena tadi meninggalkanmu sendiri untuk mengejar Ibu!” Hasan berjalan menuju Dinda dan memeluk istrinya.

“Maafkan jika bakti Mas pada Ibu terlalu berlebihan, maafkan Mas yang kadang masih lupa untuk memuliakanmu sebagai istri, terkadang Mas di posisi sulit berada diantara Istri dan Ibu! Maafkan Mas yang kadang masih berlaku dzolim padamu karena terlalu mementingkan Ibu,” sambung Hasan.

Dengan perlahan Dinda melepaskan pelukan suaminya, dia mengelus tangan Hasan.

“Memang benar Mas, seorang anak harus berbakti kepada orang tua apalagi Ibu, tetapi jangan sampai bakti itu menjadikan lupa kewajiban seorang suami untuk memenuhi hak istrinya,” ucap Dinda.

“Ingat Mas, kebaktian yang di bangun di atas kedzoliman itu namanya tetap dzolim bukan bakti! Mungkin Mas pikir doa seorang Ibu lebih mustajab, memang itu benar! Tetapi Mas lupa bahwa doa orang yang di dzolimi lebih mustajab lagi, jadi hendaknya Mas lebih bijak,” ujar Dinda.

Hasan menganggukkan kepala sambil mencium tangan Dinda.

“Tegur Mas jika salah Dek, kita masih dalam proses mengenal satu sama lain, jadi Mas harap kau maklum dan mahfum terhadap keluargaku Dek,” pinta Hasan.

“Begitupun Dinda Mas, sebagai seorang istri tentu Dinda tak luput dari salah! Mungkin Dinda yang harus berusaha lebih lagi agar bisa mendapatkan hati Ibu,” kata Dinda.

“Dek, bisakah kali ini Mas memintamu untuk datang meminta maaf ke Ibu?" tanya Hasan.

“Bukankah jelas Ibu yang salah paham dan mengatakan aku mandul?” tanya Dinda.

“Ya aku tahu, tapi tak ada salahnya kan Dek sebagai anak kita inisiatif dahulu, toh meminta maaf bukan berarti kalah, Ayok! Sekali ini saja Dek, demi Mas,” ajak Hasan menggandeng tangan istrinya.

Dinda hanya mampu menurut semua perkataan dan ajakan suaminya. Sesampainya di kamar, ibu Nafis masih tidur dengan posisi membelakangi mereka.

“Bu, ini Dinda datang ingin meminta maaf,” ujar Hasan.

Ibu Nafis tak bergeming. Mereka berdua mendekatinya, Dinda mengelus tangan ibu mertuanya.

“Maafkan Dinda Bu, jika perkataan Dinda semalam menyinggung hati dan perasaan Ibu, maafkan...” bisik Dinda lirih.

“Bu, sudahlah! Dinda sudah datang dan meminta maaf untuk memperbaiki semuanya,” bujuk Hasan.

Bu Nafis bangun dari tempat tidur dan duduk. Dia menangis sesegukan sambil memeluk Dinda.

“Maafkan Ibu ya Din, maafkan Ibu jika banyak salah denganmu mengatakan kau mandul! Ibu lakukan ini semua demi kebaikanmu,” dengan terisak bu Nafis mengatakannya.

Mendengar hal itu Dinda trenyuh, dia membalas pelukan ibu mertuanya. Menurunkan sedikit ego demi bisa berbaikan dengan mertuanya bukanlah ide buruk. Hasan tersenyum melihat dua wanita yang di sayanginya saling berpelukan.

“Dek pagi ini Mas akan pergi bertemu orang IMS perusahaan kereta yang ingin mengadakan kerja sama dengan perusahaan terkait suplai Minyak dan batu bara, kau tak apa tinggal di rumah? Ibu masih mengantar makanan di rumah sakit,” kata Hasan.

“Pergilah Mas jangan khawatir,” jawab Dinda.

Tak masalah berada di rumah sendiri, justru Dinda menantikan saat itu tiba. Bisa mengatur keluarga kecil dengan suami dan anak mereka nanti. Membayangkan hal itu saja Dinda sudah bahagia.

“Dinda... Din! Bantu Ibu!” teriak bu Nafis dari luar.

Dinda segera keluar, dia melihat ibu mertuanya yang kerepotan. Kresek dan kardus belanjaan memenuhi stang motor sampai jok belakang.

“Ibu baru belanja? Mengapa tak mengajak Dinda naik mobil saja jika bawaannya sebanyak ini?” kata Dinda.

“Halah menyuruhmu akan tambah lama, kau kan lelet karena keberatan membawa badan,” celetuk bu Nafis.

‘Ces’ sakit hati Dinda mendengar perkataan mertuanya. Baru saja mereka berbaikan belum ada dua puluh empat jam tetapi mulut jahatnya berulah lagi.

“Eh Dinda mending kau diet deh, jangan-jangan kau tak bisa hamil karena terlalu gemuk sehingga lemakmu menutupi rahim,” seloroh bu Nafis.

Dinda diam dan memilih membawa masuk barang belanjaan dari pada menanggapinya.

“Bu, ini belanjaan taruh mana?” tanya Dinda sambil membawa barang belanjaan terakhir di tangan.

“Taruh sana saja, nanti Ibu tata sendiri!” perintah Ibu mertuanya.

Dinda kembali ke kamar, menyelesaikan pekerjaannya mulai menyetrika sampai mengecek data laporan keuangan perusahaan papanya sampai malam tiba.

“Assalamualaikum,” suara Hasan dari luar rumah tanda dia baru pulang bekerja.

Secepat kilat dinda langsung mematikan laptop agar Hasan tak mengetahui semua rahasianya.

“Kau sedang apa Dek kok di kamar? Tak membantu Ibu di dapur?” tanya Hasan.

“Hah? Em... Itu Mas, sedang menyetrika baju, baru saja selesai, memang Ibu sibuk Mas?”

“Tuh lagi bungkus madumongso produk UMKM andalan PKK, katanya tadi sudah meminta bantuanmu tapi kau tak mau membantu,” ujar Hasan.

“Astagfirulloh Mas, dari tadi Dinda berada di kamar sekalipun Ibu tak pernah memanggil Dinda untuk meminta tolong,” jelas Dinda yang tak terima tuduhan Hasan.

“Sudahlah Dek, bantu Ibu sana!” perintah Hasan.

Dinda berjalan ke dapur, bu Nafis terlihat sedang membungkus madumongso di kertas warna- warni.

“Buk, sini Dinda bantu,” tawar Dinda.

Bu Nafis tak menjawab. Dia hanya diam sambil terus memasukkan madumongso buatannya. Dinda duduk di samping bu Nafis.

“Mengapa Ibu sepertinya kesal begitu?” tanya Dinda pelan.

“Tuh Bu Damar tadi ke warung Ibu, pas Ibu di sana, dia pamer anak perempuannya sekarang jadi PNS baru diangkat dapat SK dari pemerintah kota,” kata Bu Nafis.

“Lalu apa yang salah Bu?” tanya Dinda.

“Ya secara tak langsung dia itu ngenyek (menghina) Ibu, dapet mantu pengangguran, padahal dulu anaknya Damar suka sama Hasan tetapi di tolak eh sekarang dia jadi PNS terus Si Hasan dapetnya kamu pengangguran,” sambung bu Nafis.

Dinda menghela nafasnya panjang mengatur semua emosinya agar stabil dan tak terpancing dengan ucapan mertua.

“Memang kalau menantu PNS ibu bangga?” tanya Dinda.

“Yo bangga! Jadi pas kumpul acara apapun bisa cerita oh itu mantu saya PNS, mantu saya kerja di sini, lah ini kamu nganggur apa yang bisa ibu banggakan? Bayangkan enaknya punya anak mantu gajian bilang ini di tas dan sepatu buat Ibu,” jelas bu Nafis.

“Kalau hanya untuk membeli sepatu dan tas Dinda juga bisa kok Bu, memang Ibu pengen sepatu yang kayak gimana to?” tanya Dinda.

“Halah wong kamu duit juga dapet dari Hasan sok-sok an mau belikan! Ibu pengennya beli di Matahari sana yang ber- merk! Bukan di online ndak jelas,” jawab bu Nafis.

“Iya, nanti Dinda belikan ya Bu,” ujar Dinda.

“Heleh- heleh wong bajumu saja gimblik (jelek seperti itu) dari pada kamu membelikan Ibu mending beli sendiri agar Ibu tak malu jika jalan denganmu! Lanjutkan Ibu mau panggil Hasan!” bu Nafis berdiri meninggalkan Dinda yang terdiam.

“Hasan...San!” teriak bu Nafis.

“Ada apa to Bu?” tanya Hasan.

“Sttttt! Diam jangan berisik, Sini!” perintah bu Nafis sambil menengok ke kanan dan kiri memastikan bahwa Dinda tak melihat mereka.

“Lihat ini kau masih ingat siapa dia?” tanya bu Nafis menyodorkan layar Hpnya.

“Memang siapa dia Bu?”

“Ah rupanya kau lupa, memang seragam PNS ini membuat orang tambah cantik! Ini anaknya Bu Damar temen PKK ibu, kau ingat kan? Bagaimana kalau kau menikahi dia, dia sudah bekerja jadi PNS! Kau tahu sampai detik ini dia masih mencintaimu,” bisik bu Nafis.

“Astagfirulloh Ibu,”

“Kau lupa? Surga seorang lelaki meskipun sudah menikah tetap berada di bawah telapak kaki Ibunya Hasan!” bentak bu Nafis.

“Tapi Bu....”

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status