Share

3. Dokter Reinhard

"Kalau begitu saya permisi!" pamit Dokter Reinhard di depan rumah Arika.

"Iya Dok,"

Dokter Reinhard berjalan pergi. Dengan berjalan memunggungi Arika, Dokter Reinhard menyeringai penuh misteri.

************

Sore hari setelah Dokter Reinhard pulang, Bibi Delvi pun menemui Arika di rumahnya.

"Jadi apa kamu menerima lamaran Dokter Rein?" Tanya Bibi Delvi dengan mulut penuh kacang yang masih dia jejalkan lagi ke dalam mulutnya.

Arika memperhatikan Bibi Delvi yang duduk di sofa - bersebrangan dengannya - begitu semangat membuka kulit kacang kulit yang disuguhkan Arika.

"Aku belum menjawab. Aku masih meminta waktu." jawab Arika.

"Waktu untuk apa lagi?" Sungut Bibi Delvi dengan matanya yang semakin menyipit.

"Sudah terima saja. Ini tawaran bagus makanya aku memberikan kepadamu bukan kepada wanita lain. Dia itu dokter gigi terkenal di kota kita. Semua orang tahu tentang dia. Dokter muda, tampan, ahli dibidangnya, baik hati, kaya raya, dermawan dan juga ramah. Banyak pasien yang berobat kepadanya," Cerocos Bibi Delvi semangat.

"Kalau aku masih muda, aku akan menawarkan diri jadi istrinya...hahaha..." kelakar Bibi tertawa terbahak-bahak. "Itu juga kalau dia mau...hahahha..."

Arika tertawa bersamanya, "Semua orang tahu tentang dia, kenapa aku nggak tahu?" Tanya Arika.

"Sejak menikah kerjaanmu hanya di rumah. Mengurung diri di sana sambil mengasuh anak. Jadi mana kamu tahu dunia luar." Kekeh Bibi Delvi menyindir. "Sudah terima saja. Jangan terlalu lama. Nanti dia mundur mencari yang lain kamu pasti menyesal."

"Entahlah Bi." Arika menghela napas panjang. "Aku masih ragu. Ada aura aneh yang aku rasakan dari Dokter Reinhard."

"Pasti itu karena kamu masih kepikiran gairah se* dia yang tinggi, kan?" Terka Bibi Delvi. "Tenang saja Arika. Itu mungkin terjadi karena Dokter Rein yang kelamaan menjomblo. Karena hasratnya tidak keluar dia jadi seperti itu. Nanti lama-lama kalian juga terbiasa."

"Aku tidak memikirkan hal itu Bi. Tetapi yang lain. Kesan misterinya seperti menyimpan sesuatu yang besar."

"Itu hanya perasaanmu saja Arika. Semua orang mengakui kebaikan Dokter Rein. Dia bukan orang yang macam-macam. Apalagi kamu yang bilang dia orang jujur karena mau mengakui kekurangan dia. Lagipula dia sudah rela mau membantu mu merebut hak asuk Armelia."

"Kalau kamu mau nanti aku buatkan temu janji lagi dengan dirinya," usul Bibi Delvi.

"Jangan mengecewakan Dokter Rein, Arika. Dia terlihat serius padamu sampai-sampai dia mau membantumu." Pungkas Bibi Delvi.

"Mana bir untukku?" Tanya Bibi yang tidak melihat Arika menyuguhkannya minuman untuknya.

"Oh iya, aku lupa!" Arika nyengir.

*********

Malam Minggu berikutnya Bibi Delvi mengatur pertemuan Dokter Rein dengan Arika di sebuah restoran mewah bintang lima. Jangan berpikir Bibi Delvi yang membayar semua. Sudah bisa dipastikan semua biaya ditanggung Dokter Reinhard.

Dokter Reinhard dan Arika menikmati menu paling recommended di restoran tersebut tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut mereka.

"Apa kamu benar-benar sudah membuat keputusan?" Tanya Dokter Reinhard menyeka sudut mulutnya dengan serbet makan.

Arika membuka mulutnya hendak berbicara,

"Tunggu!" Sergah Dokter Reinhard. "Diluar apapun keputusanmu. Aku akan memastikan, aku tetap akan membantumu mengurus hak asuh anakmu. Jadi kamu jangan terpaksa menerima aku karena takut aku nggak akan membantumu."

"Terimakasih sebelumnya atas kebaikan anda Dokter Reinhard," ungkap Arika. "Bibi Delvi pun sudah mengatakannya. Saya memutuskan akan menerima lamaran Dokter kalau dokter benar-benar serius dengan pernikahan ini."

"Aku tentu saja serius. Namun Apakah kamu juga sudah mempertimbangkan tentang itu?" Sorot matanya menyeledik dan terbungkus rasa penasaran.

Deg....

Ada pukulan cepat mengenai jantungnya ketika mengingat hal itu.

"A-aku...Aku akan melakukan sebaik yang aku bisa," jawab Arika menunduk.

"Baiklah. Semoga kamu nggak akan menyesali keputusanmu," tanggap Dokter Rein tersenyum.

***********

"Dokter Rein memintamu menandatangi surat perjanjian pra nikah," Bibi Delvi menyerahkan beberapa kertas yang di klip menyatu di dalam sebuah map.

"Bibi sudah membaca isinya?" tanya Arika membaca halaman pertama yang memuat nama kedua belah pihak.

"Sudah," jawab Bibi Delvi mendelik ke arah lain. "Baca lagi saja!" suruhnya.

"Nggak perlu kalau Bibi sudah membaca nya," Arika membubuhkan tanda tangan di atas kertas perjanjian. "Aku percaya sama bibi," sambung Arika membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang berisi namanya.

"Dulu aku menikah dengan Jay nggak ada surat perjanjian segala," dengus Arika.

"Ya beda Arika. Jay itu kan memang kekasihmu. Sebelum menikah kalian sudah dua tahun berpacaran. Sampai akhirnya kamu hamil,"

"Iya, kenapa dulu aku harus hamil?" gumam Arika menerawang.

"Apa?...kamu ngomong apa?" tanya Bibi Delvi yang nggak bisa mendengar jelas gumaman Arika.

"Nggak...aku nggak ngomong apa-apa kok," kelit Arika.

****************

Setelah persiapan pernikahan semua beres, Arika dan Dokter Reinhard akhirnya menikah. Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri keluarga Arika karena Dokter Reinhard merupakan anak yatim piatu dan tidak memilik sanak saudara lain di kota ini.

Setelah menikah Arika tinggal bersama Dokter Reinhard di rumah Dokter Reinhard.

Setelah acara pernikahan Arika pulang bersama Dokter Reinhard. Arika mengekor Dokter Reinhard menuju ke kamarnya. Matanya berkeliling memperhatikan setiap detail rumah Dokter Reinhard yang besar dan mewah. Dan yang lebih menakjubkan bagi Arika adalah rumah itu terlihat sangat bersih dan kinclong tanpa terlihat noda secuil pun.

Mereka memasuki kamar yang besar, lapang dan mewah, luasnya bahkan melebihi luas rumah kontrakan Arika yang sekarang. Ruangan dengan langit-langit tinggi dan dihias warna cokelat dan emas dan krem. Perpaduan yang membuat ruangan itu terlihat elegant dan klasik.

Arika berdiri di ambang pintu sedikit masuk ke dalam kamar, memperhatikan Dokter Reinhard membuka jas hitamnya, meninggalkan kemeja linen putih di badannya.

"Masuklah!" suruhnya. "Ini juga kan kamarmu. Buatlah dirimu nyaman di sini," pintanya menarik sudut bibirnya ke atas.

"Terimakasih," sahut Arika berjalan masuk lebih dalam ke kamar. Masih dalam balutan gaun pernikahan sederhana berwarna putih, Arika memposisikan dengan nyaman bokongnya di ujung tempat tidur Dokter Reinhard yang sangat empuk. Tempat tidur yang bahkan ukurannya lebih besar dari ukuran king size.

Dokter Reinhard berhadapan dengan kaca meja rias yang memantulkan diri Arika di dalamnya. Membuka kancing tangan kemejanya sambil melihat Arika melalui cermin.

"Yang perlu kamu tahu," Dokter Reinhard mulai percakapan sambil melepas jam tangannya. "Aku tidak mempekerjakan asisten rumah tangga di rumahku. Aku melakukan semua tugas rumah tangga sendiri. Dan sekarang kamu sudah menjadi istriku, apakah kamu bersedia membantu ku untuk segala tugas rumah tangga?"

"Tentu. Aku sudah terbiasa dengan semua tugas itu," jawab Arika.

"Baguslah," Dia tersenyum kembali lalu mengambil kaos hitam di dalam lemarinya.

Dengan santai dia membuka kemeja putihnya membelakangi Arika. Memamerkan punggungnya yang putih, berotot, pinggang yang ramping dan bokong yang tercetak sempurna dibalik celana panjang hitam yang masih dipakainya. Arika menelan salivanya lalu memalingkan wajahnya. Desiran gairah memompa darah di sekujur tubuhnya.

****************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status