Ellysia pulang dengan kondisi mabuk. Kaki sempoyongan berusaha berdiri tegak dan berjalan menuju mobil. Namun belum sampai pintu mobil itu terbuka. Ellysia terjatuh pingsan.
Seorang pria asing berhasil menangkapnya. Karena melihat kondisi Ellysia yang tak memungkinkan, ia pun berpikir untuk mengantarnya pulang.
Berbekal identitas di tas Ellysia. Pria asing itu mengetahui nama dan alamat yang bisa dituju.
Tiba di depan sebuah rumah mewah yang sangat besar. Pagar tinggi menyambut kedatangan Ellysia. Seorang tenaga keamanan mengintip dari bilik kecil yang tersedia khusus untuknya. Agar mampu mengetahui siapa yang datang.
Melihat mobil Ellysia yang sedang menunggu. Ia pun segera membukakan pintu pagar. Membiarkan mobil itu melaju sedikit kencang dan terparkir sempurna di belakang mobil lainnya yang terparkir di halaman.
"Kencang banget bawa mobilnya," ucap penjaga rumah tadi. Ia pun berjalan mendekat dan membukakan pintu mobil seperti yang sering ia lakukan pada majikan mudanya.
Seorang yang asing muncul dari balik pintu. Mengejutkan mata satpam rumah kediaman keluarga Prayogi.
"Anda siapa?" tanya satpam tersebut.
"Saya bawa majikan kalian. Lebih baik tunjukan, di mana pintu masuk rumahnya?" ucap pria asing tersebut.
Setelah penjaga itu menunjukkan pintu masuk kediaman keluarga Prayogi. Sementara penjaga lain melaporkan apa yang sedang terjadi pada Nona Ellysia. Ada seorang yang terlihat sangat dewasa turun dari tangga melingkar di dalam rumah kediaman Ellysia.
Sosok itu mengenakan setelan piama santai. Tapi tidak dengan langkah kakinya yang sangat tidak santai.
"Pak, Nona Ell sudah pulang," ucap seorang asisten rumah tangga yang menyambut kedatangan Pak David ayo bi tak lain merupakan Papa dari Ellysia.
"Mana pria asing yang membawa putriku?" tanya David. Suaranya seketika menggema memenuhi ruang tamu yang sangat luas itu.
"Sedang menuju ke sini Pak!" jawab si asisten rumah tangga yang selalu berucap dengan menundukkan wajah.
David pun segera menuju sofa di ruang tamu. Diperhatikan pintu besar yang sudah terbuka. Ia menunggu kedatangan putrinya yang sudah sejak tadi dinanti sambil menahan emosi.
Emosi yang terpendam dan kembali tersulut karena ulah putri tunggalnya itu.
Pria asing itu mulai masuk ke pintu utama. Berjalan cepat sampai di sofa ruang tamu keluarga Prayogi. Diletakkan perlahan tubuh Ellysia di sofa.
"Tunggu!" ucap David mencegah pria asing tadi yang langsung berhenti melangkah.
David semakin mendekat ke tempat putrinya yang tak sadarkan diri. Diperhatikan tiap inci tubuh Ellysia. Kemudian ia melihat dengan dekat sosok yang membawa putrinya.
Pria asing itu terlihat berpendidikan dan dingin. Ada juga ketenangan yang terpancar dari matanya. Setelan jas dan sebuah jam tangan yang terlihat mahal sangat cocok melekat sempurna. Sepertinya dia bukan pria sembarangan. Meski begitu, David tidak akan melepaskan siapapun yang pernah menyentuh kulit putrinya. Termasuk pria di depannya.
"Sudah kamu apakan anak saya. Bagaimana bisa dia pulang dalam keadaan seperti ini?" tanya David. Ia semakin mendekat ke arah putrinya yang sedang tak sadarkan diri.
"Saya tidak melakukan apapun. Saya tidak sengaja melihatnya akan mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. Maka dari itu saya berusaha menolongnya. Ini kunci mobil putri Bapak. Saya, lebih baik pamit. Ini sudah malam," ucap pria asing itu dengan santai.
"Baik. Tapi, tolong sebutkan nama dan anak siapa kamu. Kalau kamu mau pergi dari sini dengan selamat. Sebab, jika nanti terjadi sesuatu sama anak saya. Saya tinggal cari kamu," jelas David tegas.
"Anda tidak perlu khawatir. Putri Bapak dalam keadaan baik-baik saja. Tapi, kalau Bapak berniat ingin tahu nama saya."
"Sudah sebutkan saja, siapa namamu! Aku tidak akan melepas kamu begitu saja."
"Nama saya, Alvan Raditya Anderson. Saya anak dari Tomi Pratama. Pemilik dari perusahaan Anderson yang ada di kota ini."
"Maksud kamu, Anderson Group?"
"Iya Pak. Kalau begitu, saya permisi," ucap pria yang mengaku bernama Alvan itu. Ia lalu pergi menuju pintu utama untuk keluar.
"Jadi, dia anak tunggal Tomi," pikir David mulai mencerna keadaan. "Kalian, cepat bawa Nona Ell ke kamarnya!" perintah David pada asisten rumah tangga yang sedang bersiap menunggu perintah.
**
Pagi cerah mulai menyapa bumi. Dingin embun sudah hilang sejak tadi. Matahari bersinar terang, sinarnya masuk melalui jendela kaca yang tirainya sudah dibuka.
"Aku masih mau tidur!" ucap Ellysia di atas tempat tidurnya. Ia menarik tubuhnya agar merasa rileks. Selimut kembali menutupi dirinya menghalangi cahaya menyilaukan matanya.
"Nona Ell, ayo cepat bangun. Ini sudah siang!" pinta Tita, asisten rumah tangga yang usianya hanya di atas Ellysia dua tahun. Wajahnya cantik, namun tinggi badannya cukup mungil.
"Aku masih mau tidur!" teriak Ellysia dari tempat tidur.
Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan sangat keras. Seorang pengawal yang sekaligus menjadi sopir pribadi David bernama Alan masuk tanpa permisi. Langkahnya diikuti David dari belakang.
"Selamat pagi Tuan David!" sapa Tita pada papa Ellysia. Tampak sekali wajah majikannya itu geram.
"Cepat bangun dan ikut Papa, Ell!" pinta David di tepi tempat tidur Ellysia.
Ellysia tak menjawab, ia bahkan tak peduli kehadiran sang Papa di kamar.
"Cepat bangunkan Ell, suruh dia siap-siap. Aku mau mengajaknya keluar pagi ini. Ada urusan penting yang harus segera dilakukan," terang David lagi.
"Baik Tuan!" jawab Tita sambil menundukkan wajah memberi hormat.
**
Mobil yang dikendarai David dengan sopirnya telah sampai di depan sebuah gedung. Kini mobil tersebut mulai mencari tempat untuk parkir.
"Pa, Papa mau ajak Ell ke mana sih?" tanya Ellysia yang masih belum tahu apa-apa.
"Ke restoran seafood dekat kantor Papa," jawab Pak David datar.
"Hah, ngapain? Aku kan udah sarapan, terus di sana ada apa, sama siapa? Papa jangan aneh-aneh deh!"
"Di sana ada dokter sama psikiater!"
"Ngapain ada dokter sama psikiater? Pa, mereka bukan buat Ell kan?" Ellysia makin cemas. Ia sedang mencerna apa rencana sang papa untuk dirinya.
"Ya buat kamu lah!"
"What, are you sure Pa?"
"I am sure honey."
**
Tiba di sebuah restoran, Ellysia dan Papanya menuju ke sebuah bagian restoran yang berada sedikit jauh dari keramaian.
"Papa!" panggil Ellysia, gadis itu berharap akan mendapatkan sedikit penjelasan.
"Hemb!" sahut Papanya tak peduli.
"Kita ngapain sih Pa, ke sini?"
"Papa cuma pingin tahu, apa pria yang semalam pulang sama kamu. Benar-benar nggak ngapa-ngapain kamu!"
"Maksudnya, ngapa-ngapain gimana?"
"Jangan-jangan kamu sudah ditiduri sama pria itu."
Ellysia mengingatnya. Ia semalam diantar seorang pria yang bahkan wajahnya pun sudah ia lupakan.
"Pa, ya nggak mungkin lha itu terjadi!" Ellysia menyangkal. Padahal tak ada satupun yang diingat selain dirinya hampir pingsan saat akan masuk ke dalam mobil.
"Kamu pulang dalam keadaan pingsan. Mana mungkin kamu tahu! Itu dia, mereka yang akan memastikan apa kamu masih gadis," ucap David sambil mengarahkan pandangannya ke sebuah meja yang sudah dihuni oleh dua orang.
"Papa, udah gila. Mending aku kabur!" batin Ellysia menyusun rencana.
Ellysia mulai mengambil langkah. Ia akan segera berlari saat sang papa sudah fokus pada kedua orang yang sedang menunggu di meja makan. Tampaknya mereka berdua yang akan mengecek kondisi mental dan fisik diri Ellysia.Hati Ellysia mulai bersiap menghitung. Cukup diawali dengan langkah perlahan lalu lari secepatnya."Satu dua tiga!" batin Ellysia berucap.Mereka yang sedang menunggu David beserta putrinya terlihat bingung. David sendiri tak menyadari putrinya sudah lari. Karena tak ada suara yang bisa ia curigai. Kecuali keramaian hiruk pikuk pengunjung restoran.David dengan sangat ramah menjabat tangan kedua rekan yang telah menunggu kedatangan dirinya. Ia pun mempersilahkan Ellysia untuk ikut bersalaman. Namun, sudah terlambat."Lho, mana Ell?" ucap David yang cukup bisa didengar oleh kedua orang tadi."Maksud Pak David, anak perempuan yang tadi jalan bareng sama Pak David kesini tadi?" tanya salah satu dari mereka."Iya, a
Sebuah mobil mewah mulai memasuki perkampungan. Jalanan yang semakin sempit terpaksa menghentikan laju mobil itu."Van, kayaknya ini mobil udah nggak bisa masuk deh!" ucap Bima."Kayaknya masih jauh. Udah paksa jalan aja!""Kita bisa tabrakan. Ini jalan cuma muat mobil sebiji!" tambah Bima.Alvan menghela nafas panjang. Dilipat lengan kemejanya hingga siku. Berharap lelahnya selama perjalanan bisa sedikit berkurang."Terus, gimana kita bisa sampai ke penginapan?" tanya Alvan sambil menggeser layar gawai. Barangkali ia menemukan kontak yang bisa dihubungi.Bima masih memperhatikan lalu lalang jalanan. Jarang ada mobil yang lewat, kecuali mobil pickup untuk mengangkut barang. Sisanya hanya ada motor, sepeda dan si roda tiga. Selain itu tak terlihat jenis angkutan umum lainnya."Kamu nggak simpan nomornya Pak Seno, yang ngurusin penginapan?" tanya Bima."Ada sih, tapi dari tadi aku hubungi nggak bisa. Udah jalan aja lagi!""Jalannya
Ellysia harus menarik napas dalam. Ia berusaha keras meyakinkan hatinya. Bahwa yang ada di depannya sekarang adalah kamarnya.Kakinya melangkah lagi untuk masuk, terasa cukup berat. Aroma kayu yang tersiram air hujan masih bisa dihirup. Atapnya terlihat seperti kebocoran. Tapi, gadis yang kerap disapa dengan nama Ell tersebut masih berusaha menerima."Ini seperti mimpi buruk," gumam Ellysia."Apa Nona," sahut Tari. Ia seperti mendengar sedikit ucapan nona mudanya itu."Bukan apa-apa Bi.""Kalau gitu, Bibi tinggal ke dapur dulu ya. Kebetulan Bibi belum siapkan makan siang."Ellysia tersenyum. "Iya Bi!"Kedua pasang mata Ellysia tak bisa berhenti melihat setiap sudut kamarnya. Jendela kecil yang pengaitnya hanya terbuat dari paku yang dibengkokkan. Baginya terlalu mengenaskan. Belum lagi lemari yang ukurannya begitu kecil bagi Ellysia."Ya ampunnn," ucap Ellysia sekali lagi.Kini tubuhnya berusaha duduk di kasur.
Satu per satu lumpur yang menempel di tubuh Ellysia terkikis. Jatuh bersama air yang mengalir langsung ke sungai."Tadi Pak Heru kan udah bilang. Awas kepereset. Nggak tahunya kepereset beneran," ucap Pak Heru yang melihat Ellysia membersihkan tubuhnya dibantu oleh Bibi Tari."Udah Non, lanjutin di kamar mandi aja!" pinta bibi Tari pada Ellysia yang masih kesal dengan aroma yang berasal dari tubuhnya sendiri.Ellysia membuang napas kaaar. Matanya terpejam merasa lelah dengan segalanya. Ia seperti sudah jatuh harus tertimpa tangga. Susah payah dirinya mencoba mencari hiburan di sebuah kampung kecil yang tidak ada apa-apa. Yang terjadi dirinya malah harus terpelosok di sawah. Ia merasa hidupnya mulai mengenaskan."Ya udah deh. Bantuin Bi!" Ellysia menegakkan tubuh. Menjulurkan tangan agar Bibi Tari membatunya untuk berdiri. Rasanya ia masih tak percaya dengan keadaan yang menimpa dirinya sekarang.Ellysia seperti malas bergerak. Ia geli dengan tubuhn
"Cepat nak, bantuin Bapak ya!" pinta Pak Heru saat itu juga. Ia melihat Alvan masih terbengong sendiri. Agak bingung sebenarnya, mengapa Alvan melihat Ellysia sampai seperti itu."I, iya Pak," jawab Alvan agak terbata.Alvan menarik napas cukup dalam. Ia kini berhadapan lagi dengan gadis yang selalu menyusahkan sejak pertama kali bertemu.Bagaimana bisa takdir bertindak seperti ini. Ia seperti dipermainkan keadaan. Sejauh ia berjalan ke bagian terpencil bumi. Tetap saja sosok gadis ini yang ditemui. Apa tidak ada lagi wanita lain untuk dipertemukan dengan dirinya.Tidak butuh banyak tenaga untuk menggendong Ellysia. Alvan melakukannya dengan begitu mudah. Tapi tidak dengan hatinya yang seperti menahan beban cukup berat.Dengan jarak sedekat itu, Alvan bisa melihat tiap garis wajah dari gadis muda tersebut. Mata yang tertutup terlihat cantik dengan bulu mata lentik. Alis tebalnya tampak menawan ditambah ada tahi lalat kecil
Ellysia berusaha duduk dengan tegap di atas motornya. Sesekali Alvan harus mengerem tiba-tiba hingga membuat Ellyisa berpikir pria di depannya adalah pria mesum yang suka memanfaatkan keadaan.Spontan karena motor kembali direm mendadak. Ellyisa memukul bahu kanan Alvan. Cukup keras pukulan itu. Hingga membuat Alvan sangat terkejut dan merasa sakit."Hey, hati-hati. Kamu mau kita jatuh. Emang kamu nggak mau kita sampai rumah dengan selamat?" teriak Alvan di tengah hujan yang kembali mengguyur. Tidak sederas tadi. Namun, tetesannya berhasil masuk ke mulut Alvan saat dirinya sedang berbicara dan ia merasa gak terganggu dengan hal tersebut."Aku juga maunya selamat sampai tujuan
"Ngelamun Si Alvan. Ihhhhh, ogah banget. Emang dia siapa. Cuma cowok yang kebetulan lewat dan mengacaukan hariku," gumam Ellysia yang sedang mandi.Ia mulai membuat dirinya basah. Sabun dengan aroma vanilla disebar di seluruh tubuh hingga harumnya membuat tenang.Sesaat rasanya Ellysia bisa sejenak melupakan masalah yang menimpanya. Bukan perkara gampang bagi seorang Ell menerima kenyataan pahit yang tiba-tiba datang dalam hidupnya.Kenyataan tentang keluarganya yang bangkrut. Belum lagi ia harus tinggal di perkampungan yang amat jauh dari kota. Mimpinya mengenyam pendidikan di luar negeri juga harus pupus."Menyebalkannn, terus gimana nasibku setelah ini," ucap Ellysia yang masih di dalam kamar mandi.
Alvan membuang wajahnya menatap bagian lain dari langit yang gelap. Dipejamkan matanya sesaat setelan meletakkan gelas kopinya di atas meja.Tiba-tiba sebuah langkah kaki yang cukup keras mengejutkan. Alvan menoleh ke langkah kaki yang berasal dari dalam rumahnya itu."Bima, apaaan sih lari-lari di dalam rumah," ucap Alvan sedikit berteriak karena kesal merasa dikegeti.Bima dengan cepat duduk di sebelah Alvan sambil menunjukkan ponsel pintarnya. "Gawat Van. Kayaknya kita emang harus masuk ke pabrik Papa kamu buat memastikan semuanya. Aku udah minta perkiraan laba bulan lalu ke perusahaan pusat dan mencocokkan dengan hasil di komputer pabrik yang ada di sini. Hasilnya, ternyata selisih banyak Bro. Banyak banget," terang Bima sambil menunjukkan perbandingan laporan.Alvan