Share

Bab 6a

POV Lisa

"Lisa! Apakah Mba Jihan sudah tahu kalau Mas Adnan sudah nikah?"

"Gak mungkin lah, Mak. Kenapa Mama terlihat sangat khawatir seperti ini? Aku yakin seratus persen dia gak tau. Kalau dia tau, pasti Mas Adnan akan dimintai untuk cerai. Atau setidaknya dia ke sini untuk mengurus surat cerainya, tapi tidak 'kan. Dia hanya datang menanyakan kabar suaminya."

Ibu mengangguk, mungkin mulai mengerti dengan penjelasanku. Aku mendekatinya kemudian menjelaskan kembali lebih detail agar ia makin tidak salah paham. Sekitar dua jam kami bercerita dan membahas yang lain entah apapun itu.

Meskipun sudah beberapa kali aku jelaskan, ia masih terlihat khawatir.

"Mereka sudah pulang belum, Lis?"

"Kayaknya belum, Mak. Tadi dia berjalan ke luar rumah saat Lisa keluar dari kamar."

"Oh, gitu! Sebaiknya, kamu hubungi Mas Adnan agar tidak menitipkan anak kecil itu untuk saat ini ke rumah. Ntar, Mba Jihan curiga lagi." Ibu mendesakku agar segera memberitahu Mas Adnan.

"Iya, ntar Lisa beritahu Mas Adnan."

Aku lupa membawa gawaiku. Gawai tersebut kutinggalkan di kamar tidur, malas balik lagi. Aku akan hubungi kalau sudah ke kamar lagi.

"Tapi dari mana dia tahu tentang Dita?"

"Lisa juga gak tau, Mak. Ntar, Lisa cari tahu, deh. Mungkin saja Mba Jihan tau dari tetangga. Tetangga kan gak ada yang tahu. Mereka taunya, Dita–anak Mas Adnan, berarti anak Mba Jihan juga. Udah, gak usah dipikirin, Mak."

"Sebaiknya, kita lebih hati-hati lagi. Terlebih lagi ama tetangga. Jangan sampai mereka tau."

"Oke, Mak."

"Sebenarnya, kasihan juga sama Mba Jihan." Tiba-tiba, ibu mengucapkan itu setelah kesunyian kami beberapa menit.

Aku baru saja dari kamar mengecek pesan masuk di grup alumni sekolah.

"Ih, kok, Mama kasihan segala, sih." Aku sedikit kesal mendengar ibu yang mulai berempati pada Mba Jihan.

"Iya, ibu kasihan karena abangmu itu kenapa harus menyembunyikan semua ini dari Mba Jihan. Kamu lihat sendiri Naya, putrinya sampai seperti itu."

"Mas Adnan sudah bilang Mak, kalau dia yang akan menjelaskan sendiri ke Mba Jihan. Mungkin Mas Adnan mencari waktu yang tepat. Jadi, tugas kita ya, harus menjaga rahasia ini dulu."

"Tapi, sampai kapan, Nak?"

"Ya, sampai Mas Adnan yang menjelaskannya sendiri. Gimana, sih, Mak!" tatapku kesal. Ibu mulai linglung, padahal dulu yang menyuruhku untuk diam. "Lagian Lisa gak suka Mba Jihan terlalu pelit."

"Pelit gimana? Tuh, handphone-mu Mba Jihan yang kasih."

"Ih, ini kan sudah lama, Mak! Tahun lalu Lisa minta dibeliin tas gak dikasih. Kan pelit namanya. Minimal kalau jadi ipar harus berbagi. Dia kan punya usaha katering pasti dong banyak duit. Masa tas seharga lima ratusan gak bisa beliin untuk Lisa!"

"Iya, juga, ya. Minimal ngasih hadiah atau apa gitu."

"Nah, Mama bisa lihat sendiri 'kan? Coba, Mama ingat-ingat lagi, Mba Jihan pernah ngirimin duit gak buat Mama?"

"Pernah, sih," jawab ibu sambil berpikir sejenak. Nampak ibu menimang-nimang ucapanku.

"Tapi, banyakan mana, dari Mba Jihan atau Mas Adnan?"

"Tentu, banyakan Mas Adnan."

"Nah, itu udah jelas namanya pelit."

"Iya, juga." Ibu nampak berpikir.

"Emang Mama mau Mas Adnan gak ngirimin duit lagi? Daripada nungguin duit dari bapak hanya bisa untuk makan."

"Gak, dong! Ntar Mama gimana mau shopping dan bisa makan enak."

"Maka dari itu, Mama gak usah mikirin yang aneh-aneh dulu. Pokoknya biarkan Mas Adnan sendiri yang nyelesain urusan mereka."

Setelah mendengarkan penjelasanku panjang lebar, Ibu mengangguk setuju. Ia beranjak dari tempat duduk dan menuju dapur.

"Bantu Mama di dapur, ya, nyiapin sarapan!"

"Duh, Ma. Lisa lagi capek."

"Capek! Emang kamu kerja apa, Lis, pagi ini? Perasaan kamu baru keluar dari kamar!"

"Ya, Lisa baru saja beresin kamar. Udah hampir sebulan Lisa gak beresin."

"Kamu itu memang kebiasaan, malasnya tidak ada obat. Kamu itu cewek, Lis, harusnya kebersihan itu jaga. Jangan hanya merawat muka dan kulit, tapi kamar juga."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status