Share

Bab 5

Setelah berjalan beberapa menit mengitari daerah kediaman mertuaku, aku memutuskan kembali ke rumah.

Matahari sudah mulai terik menyinari. Keringat mengucur deras di punggung.

"Mba Jihan ... Assalamualaikum!" Aku menoleh ke sumber suara yang menyapa.

"Waalaikumsalam, Bu Sumi ...."

"Abis jalan pagi?"

"Iya, nih. Lumayan keringatan!"

"Aku pikir udah pulang!"

"Belum. Sebentar lagi, kami pulang. Mungkin sekitar jam sembilan."

"Oh, gitu! Dita, putri Mba Jihan di mana, kok aku gak lihat?"

"Dita bukan putri saya, Bu. Putri saya, namanya Naya."

Aku memutuskan untuk jujur saja daripada ikut berbohong dan akibatnya aku akan kena imbas dari kepura-puraan keluarga suamiku juga.

"Loh, Mba Jihan gimana, sih! Kok, saya jadi bingung. Trus, Dita itu anak siapa?"

"Aku juga gak ngerti, Bu. Aku baru tahu kemarin dari Bu Sumi sendiri kalau ada anakku di rumah Bu Sari."

"Tapi, aku dengar sendiri dari Mba Lisa, katanya Dita anak Mas Adnan. Itu berarti anak Mba Jihan juga."

"Anak kami, namanya Naya. Aku juga bingung, kenapa tiba-tiba ada anak itu. Sudah setahun lebih Mas Adnan gak ada kabar. Maka dari itu, aku ke sini menanyakan kabarnya, tapi nihil."

"Maksudnya, mereka gak beritahu Mba Jihan?"

"Bisa dibilang seperti itu."

"Aku turut sedih, ya, Mba. Kok, tega mereka seperti itu ke Mba Jihan. Padahal Mba Jihan gak pernah buat kesalahan sama mereka."

"Begitulah, Bu. Aku juga tidak mengerti ada apa sebenarnya? Tolong Bu Sumi jangan dulu disebarkan ke orang-orang, ya. Takutnya, aku yang salah informasi."

"Iya, aku gak mungkin hianati Mba Jihan," ucap Bu Sumi sambil memperagakan kedua jarinya mengapit bibir sebagai tanda menutup mulut.

"Makasih, Bu." Aku hanya membalas senyum.

Kami cukup akrab dari dulu, semenjak tinggal di rumah kedua mertuaku. Bu Sumi ialah teman ceritaku setiap saat bila waktu senggang atau saat berbelanja ke warung miliknya. Kami sangat dekat, sehingga tidak heran kalau kami sering memperagakan beberapa adegan yang pernah kami tonton di serial TV.

Taulah, seperti apa ibu-ibu kalau udah ketemu di warung. Belinya sebungkus bumbu atau garam, ceritanya sejam-an.

"Yang sabar, ya, Mba Jihan. Ntar aku infoin kalau aku lihat Mas Adnan ke rumah orang tuanya."

"Oh, iya. Makasih. Minta nomor HP Bu Sumi, mungkin aku bisa nanyain ke Bu Sumi nanti."

"Oke, sangat boleh. Lagian nomormu yang lama kayaknya udah gak aktif 'kan?"

"Iya, sudah hilang bersama HP-nya. Jadi, aku ganti yang baru."

"Eh, aku juga pernah lihat wanita seumuran Mba Jihan ngantar Dita ke rumah orang tua Mas Adnan, tapi hanya sekali. Apa mungkin dia istri Mas Adnan? Astaghfirullah! Aku sudah suudzon, Mba. Maaf, ya." Ia menutup mulut sambil membulatkan mata.

Aku masih menelaah ucapan Bu Sumi. Ucapannya sama dengan Mba Rani tadi. Aku semakin yakin ada hal yang disembunyikan dariku.

"Bu Sumi gak salah, kok. Bisa saja Bu Sumi benar," sambungku sambil menghela napas panjang. Gemuruh di dada ini semakin sakit, seakan sangat sempit untuk menarik napas.

"Berarti Mba Jihan ...." Ia makin terperanjat seakan tak percaya.

"Iya, aku baru tahu dari salah seorang netizen yang mengirimkan foto mereka."

"Astaghfirullah!" ujar Bu Sumi sambil mengelus dada. "Yang tabah, ya, Mba!" ucapnya iba padaku sambil mengelus punggungku.

"Iya, Bu. Makasih."

"Aku turut prihatin sama Mba Jihan. Aku akan kabari secepatnya bila menemukan kabar tentang Mas Adnan. Mba Jihan harus kuat. Aku tidak pernah berpikir kenapa mereka tega menyembunyikan semua dari Mba Jihan. Sebenarnya, apa motif mereka?"

"Iya, Bu. Jihan juga belum mengerti. Tapi, aku tidak akan menyerah untuk mencari tahu apa maksud Mas Adnan menyembunyikan semua ini dariku," ujarku seraya bersiap-siap untuk pergi.

"Aku pamit, ya, mau balik ke rumah sekaligus berkemas-kemas untuk pulang. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

Tak ingin berlama-lama di warung Bu Sumi karena khawatir Naya sudah bangun dan mencariku, aku mempercepat langkah kakiku menuju rumah.

Aku meninggalkan warung Bu Sumi sambil menimang-nimang kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Aku belum membayangkan kemungkinan tersebut jika sudah di depan mata.

Perasaan khawatir dan gelisah sudah berkecamuk di dalam hati.

Setelah sampai, aku membuka pintu hendak masuk. Setelah memberi salam, aku melangkah menuju kamar. Mba Lisa seperti tak acuh mendengar salamku, bahkan tidak menoleh sedikit pun.

Mungkin saja dia tidak mendengar karena volume suara TV sangat besar, sehingga bunyi suara pintu dikunci pun tidak terdengar olehnya atau mungkin seperti dugaanku tadi, tak acuh.

Wanita bertubuh bongsor itu sedang asyik menonton TV. Ia tidak punya pekerjaan lain selain duduk dan menonton TV, terkadang berselancar di dunia maya dengan smartphone miliknya.

Smartphone tersebut merupakan hadiah dari pamanku saat kami nikah dan aku berikan padanya karena dia tidak memiliki handphone saat itu.

Sampai sekarang dia belum berinisiatif untuk mencari kerja, katanya sulit untuk lulusan SMA. Aku pernah menyarankannya untuk kuliah malam atau disebut kelas karyawan, tetapi ditolak. Katanya menghabiskan biaya.

Pernah juga aku mengajaknya bekerjasama denganku, untuk membuka cabang katering di sini, tetapi sama saja ditolak juga.

Mungkin dia belum kepikiran untuk berusaha, karena selama ini dia mengharapkan segala sesuatu dari abangnya, Mas Adnan.

Mas Adnan selalu mengirim uang kepada mereka. Jadi, Mba Lisa masih merasa tercukupi kebutuhannya selama ini.

Mas Adnan bekerja di tempat konstruksi bangunan sebagai sopir truk yang membawa beberapa material pasir, batu, atau yang lainnya.

Truk yang dikendarainya ialah pemberian ayahku. Ayah memberikan kepada kami sebagai hadiah juga modal kami untuk berumah tangga.

Ayah memiliki beberapa truk untuk disewakan. Jadi dulu sebelum kami menikah, Mas Adnan bekerja untuk Ayah dan Mas Adnan menyetor sebagian penghasilannya sebagai biaya penyewaan mobil truk.

Sampai suatu ketika Mas Adnan melamarku. Aku tidak pernah berpikir bahwa dia diam-diam menyukaiku. Aku menerima lamarannya karena saran Ayah. Menurut ayah, dia lelaki pekerja keras dan sangat bertanggung jawab.

Itulah kenapa aku mau menerima. Apalagi jika lampu hijau sudah diberi kode oleh seorang ayah, lelaki yang selalu menjadi tauladanku untuk mencari seorang suami seperti sosoknya yang sangat peduli terhadap kami, anak-anaknya.

"Naya! Putri Mama, sudah lama bangun?"

"Iya, Ma. Mama dali mana? Naya caliin dali tadi."

"Mama baru saja jalan pagi agar sedikit segar. Naya mandi dulu, ya, kita berkemas-kemas untuk pulang sebentar!"

"Kita pulang sekalang, Ma? Tlus, ayah di mana? Kok, Naya belum ketemu?"

Aduh, seperti ada sekat yang tersimpan di tenggorokan ini mendengar pertanyaan putriku tersebut. Sudah dua hari kami di sini, tetapi aku belum juga mendapatkan kabar tentang ayahnya.

Aku bingung ingin menjelaskannya seperti apa.

"Ayah belum pulang, nanti kita akan ke sini lagi, ya. Besok Naya sudah harus ke sekolah."

"Naya gak mau pulang, Ma. Naya nungguin ayah aja."

Bingung harus bagaimana, aku juga tidak punya pilihan selain balik ke rumah. Tidak mungkin harus berlama-lama di sini.

"Mama janji akan memberitahu Naya kalau ayah sudah pulang, okay?"

Wajah Naya berubah menjadi lebih cemberut. Ia enggan beranjak dari tempat duduknya. Aku tak tahu dengan cara apalagi aku membujuknya agar pulang.

Ia menangis semakin histeris, enggan untuk pulang. Koper yang aku bawa sudah di tangan, siap untuk aku bawa keluar. Namun, Naya masih bersikeras menunggu dulu.

Aku sangat kasihan melihat wajahnya yang semakin pucat dan tidak bersemangat.

Sebenarnya, aku sangat sedih melihat keadaannya seperti ini.

"Mari, Sayang!" Aku menarik koper, berjalan menuju pintu.

Aku berbalik ke belakang karena tidak mendengar langkah kaki Naya, putriku.

"Naya!" karena panik, kulepas saja koper di tangan dan berlari ke putriku yang telah tergeletak di atas lantai. "Naya ... bangun, Nak!" Aku mengguncang tubuhnya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
klu g becus jaga ada anak lebih baik anak mu mati aka. gunakan otak mu dan gbusah sok hebat. banyak peluang utk tau tapi kau sia2kan. percuma lau kuliah nyet.
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Ah paling sebel bocah kayak gitu. Ganggu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status