Share

Bab 4

Setelah meletakkan piring bekas makanku dan Naya ke westafel, aku kembali ke kamar. Selera makanku tiba-tiba hilang begitu saja. Duduk terlalu lama bersama mereka akan membuatku semakin tidak berselera.

"Nak Jihan, tunggu sebentar!" Ibu berlari menghampiriku.

"Iya, Bu. Kenapa?"

"Maksud Nak Jihan sudah tahu itu, apa?"

"Tahu apa ya, Bu?" tanyaku sekedar mengulang kembali ingatan di otak.

"Barusan Nak Jihan bilang sudah tahu, tahu apa? Trus, bilang kami menyembunyikan sesuatu, maksudmu kami sembunyikan apa?"

Aku tak tahu kenapa dia tiba-tiba terlihat sangat gelisah seperti ini. Sehingga dia berlari untuk menghampiriku dan hanya ingin tahu apa yang telah aku ketahui.

"Oh, itu .... Anak kecil bernama Dita apakah ada hubungannya dengan Mas Adnan?" tanyaku ke Ibu dengan nada sedikit menyelidik.

Seketika ibu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin aku mengetahui gelagatnya yang mencurigakan.

Mungkin dia tidak menyangka bagaimana aku tahu nama anak kecil itu. Namun semakin dia menoleh, semakin aku menaruh curiga padanya.

"Oh, Dita! Dia anak Mba Salsa, sepupuku." Lisa ikut menyahut dan mendekat.

"Mba Salsa yang mana, ya, Mba?"

"Kalau aku jelaskan, kamu gak bakal tahu juga. Lagian kalian belum pernah saling bertemu. Mba Salsa itu keponakan bapak."

"Mba Salsa? Waktu kami nikah, semua keponakan bapak hadir, loh, Mba. Dan nama Mba Salsa, gak ada." Aku mencoba menelaah jawabannya.

"Kan, sudah saya bilang, Mba Jihan gak bakal tahu. Dia tidak hadir waktu kalian menikah," tutur Mba Lisa kesal dan Nadanya terkesan mengejek.

"Suaminya siapa, ya, Mba?"

"Itu ... Ma-s Farhan."

Wanita ini. Dia cukup pandai beralibi!

Aku semakin yakin dengan kebohongannya.

Padahal anak kecil itu jelas sekali menyebut nama Mas Adnan, papanya. Kenapa mereka harus menyembunyikan dariku?

Berulang kali pun aku akan jelaskan tentang Dita-anak kecil itu, dia pasti punya jawaban lain. Dia merasa bisa membohongiku karena aku tidak melihat sendiri di depan mereka.

Selain itu, karena aku tidak tahu banyak hal yang mereka sembunyikan.

Lama-lama, aku muak juga dengan sandiwara mereka. Aku memutuskan ke kamar dan hendak mengunci pintu, tetapi dicegat lagi.

"Mba Jihan, kami menyembunyikan yang mana? Jangan sembarang nuduh." Ibu tidak terima dengan ucapanku dan sepertinya belum puas dengan jawabanku.

"Iya, Mba. Tidak baik berprasangka buruk seperti itu. Apalagi sama mertua sendiri." Mba Lisa ikut menimpali. "Sebaiknya Mba instrospeksi diri agar tidak suudzon kayak gitu."

"Aku tidak berprasangka buruk, Mba. Aku mendengar sendiri kok, kalian sedang membahas Mas Adnan. Aku tidak tuli, loh, Mba. Tapi, tak apalah kalau kalian masih ingin menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi ingat, ya, Mba, kalau aku menemukan sendiri, kalian akan menerima sendiri akibatnya," ucapku dengan sedikit penekanan.

Aku sudah tidak tahan dengan sindiran Mba Lisa. Dia ini dari dulu selalu saja ucapannya pedas. Sejak pertama kali kami tinggal bersama mereka. Sikap dan ucapannya itu selalu menyakitkan.

"Loh, Mba Jihan mengancam ipar sendiri dan juga mertuamu? Ya Allah, Mba, lancang sekali!"

Aku lelah berdebat dengan Mba Lisa. Dia pasti punya seribu jawaban dan alasan. Sebaiknya aku tidak perlu melanjutkan lagi pembicaraan ini. Perdebatan kami tidak akan ada ujungnya.

"Huhu ... Ibu tidak pernah menyangka Mba Jihan berbicara seperti itu." Ibu terisak.

Aku merasa bersalah dan tidak tahu apakah ibu benar-benar sakit hati mendengar ucapanku tadi atau tidak. Atau mungkin hanya bersandiwara, aku juga tidak tahu.

"Sudahlah, Bu. Ibu tidak perlu ambil hati ucapan anak mantumu itu," Mba Lisa menenangkan sambil melirik ke arahku.

"Mba Lisa! Sudah, hentikan! Kau bawa ibu ke kamarnya!" Bapak menghampiri kami setelah dari toilet. "Kamu itu seharusnya bersikap dengan baik kepada iparmu. Tutur katamu juga. Dia istri kakakmu."

"Seperti apa tutur kata dan sikap saya yang tidak baik, Pak?"

"Sudah ... sudah ... Pergi temani ibu!" bentak Bapak.

"Bapak, dari dulu selalu membela anak mantunya. Sebenarnya, anak bapak itu yang mana, Mba Jihan atau Lisa?" ucap Mba Lisa kesal dan berlalu dari kami.

"Huh! Anak itu tidak pernah bisa bersikap sedikit lebih baik dengan ucapannya terhadap yang tua. Pantas saja anak laki orang masih enggan melamarnya." Bapak mengembuskan napas sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

"Nak Jihan. Maafkan Ibu dan Lisa, ya." Pak Hasan, mertuaku mendatangiku.

"Jihan sudah memaafkan, Pak. Jihan pamit ke kamar sebentar!" ucapku kemudian berlalu.

Bapak masih berdiri sambil menatapku yang mulai menjauh. Tatapannya sangat iba padaku. Ia ingin sekali mengucapkan sesuatu, tapi entah seperti tertahan.

Aku membuka pintu kamar kemudian membantu Naya ke tempat tidur. Hari pun sudah malam. Saatnya untuk Naya tidur dan juga aku.

Kuusap kepala putriku berulang kali sampai ia tertidur. Pikiranku melayang, masih memikirkan percakapan mereka barusan, hingga akhirnya aku pun bisa tertidur.

Cahaya matahari menyinari pagi ini dengan sangat cerah. Aku sudah berkemas-kemas dari semalam untuk pulang bersama putriku.

Sebelumnya, pagi ini aku menyempatkan diri berkeliling di sekitar kompleks rumah untuk merenggangkan otot, sambil sesekali menyapa tetangga yang kebetulan berpapasan denganku.

"Assalamualaikum, Mba Jihan, makin cantik aja!" Seseorang menyapaku kemudian aku berbalik dan menyapanya.

"Waalaikumsalam, Mba Rani. Sudah lama tidak jumpa." Aku sangat senang melihat teman yang sudah lama tidak bertemu.

"Iya, nih. Eh, dua atau tiga hari yang lalu, aku negur-negur seorang wanita di depan rumah Mas Adnan. Aku kira itu kamu. Ternyata, bukan."

"Oh, ya! Ciri-cirinya?"

"Berhijab. Tingginya sama sepertimu. Kulitnya kuning langsat. Da-n ...."

"Dan apa?"

"Membawa seorang anak." Dahinya berkerut. Ia seperti menahan sesuatu sambil menatapku, menunggu reaksiku.

Aku merenung sejenak, kemudian berkata, "Yang rambutnya dikucir bukan?"

"Ya, betul. Bagaimana kau tahu? Anak Mba Jihan?" Ia terlihat bingung.

"Bukan...."

"Oh, gitu! Kami pikir selama ini, anak kecil itu, anak Mba Jihan dan Mas Adnan. Ternyata bukan?"

"Iya, bukan. Anak saya namanya Naya."

"Mba Lisa bilang, Dita anak Mba Jihan. Jadi, yang benar yang mana?"

"Mba Lisa bilang begitu?"

"Hu-u." Mba Rani hanya mengangguk sambil menatapku, seakan banyak tanda tanya besar di kepalanya.

"Mungkin dia khilaf, Mba," sambungku. "Mba Rani tahu sendiri 'kan Mba Lisa seperti apa."

"Iya, juga, sih. Eh, putrimu mana? Aku mau ketemu, dong."

"Lagi di kamar. Dia tidak enak badan."

"Semoga Naya cepat sembuh, ya."

"Aamiin, makasih. Emang wanita itu sering ke rumah ini?" tanyaku lagi.

"Wanita? Oh, iya. Bisa dibilang gitu. Tapi, tiap kami tanya siapa wanita itu, mereka bilang sepupu dari jauh."

Aku ingin menanyakan apakah Mas Adnan sering ke rumah ini juga atau tidak, tapi kuurungkan. Aku khawatir mereka tahu keadaan kami. Aku tidak ingin tetangga mengetahui kondisi rumah tanggaku.

"Terima kasih ya, infonya."

"Sama-sama, Mba. Eh, kapan-kapan kita hangout bareng yuk!"

"Mmm, bagus juga! Okay, ntar aku WA, ya. Masih save nomorku kan?"

"Masih, kok. Aku pamit dulu, ya."

"Oke, bye-bye."

Ada manfaatnya juga berjalan kaki di pagi hari. Selain menyehatkan juga mendapatkan informasi yang sangat aku perlukan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
terlalu banyak drama kau sebagai istri sah. tolol,dungu dan g bisa menggunakan otak mu buat berpikir. utk apa kau keliling komplek klu g ada hasil. pantas diselingkuhi krn ketololan mu .utk apa berbelit2 klu kau udah tau nyet. g petlu drama ssmpah mu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status