Setelah meletakkan piring bekas makanku dan Naya ke westafel, aku kembali ke kamar. Selera makanku tiba-tiba hilang begitu saja. Duduk terlalu lama bersama mereka akan membuatku semakin tidak berselera.
"Nak Jihan, tunggu sebentar!" Ibu berlari menghampiriku."Iya, Bu. Kenapa?""Maksud Nak Jihan sudah tahu itu, apa?""Tahu apa ya, Bu?" tanyaku sekedar mengulang kembali ingatan di otak."Barusan Nak Jihan bilang sudah tahu, tahu apa? Trus, bilang kami menyembunyikan sesuatu, maksudmu kami sembunyikan apa?"Aku tak tahu kenapa dia tiba-tiba terlihat sangat gelisah seperti ini. Sehingga dia berlari untuk menghampiriku dan hanya ingin tahu apa yang telah aku ketahui."Oh, itu .... Anak kecil bernama Dita apakah ada hubungannya dengan Mas Adnan?" tanyaku ke Ibu dengan nada sedikit menyelidik.Seketika ibu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin aku mengetahui gelagatnya yang mencurigakan.Mungkin dia tidak menyangka bagaimana aku tahu nama anak kecil itu. Namun semakin dia menoleh, semakin aku menaruh curiga padanya."Oh, Dita! Dia anak Mba Salsa, sepupuku." Lisa ikut menyahut dan mendekat."Mba Salsa yang mana, ya, Mba?""Kalau aku jelaskan, kamu gak bakal tahu juga. Lagian kalian belum pernah saling bertemu. Mba Salsa itu keponakan bapak.""Mba Salsa? Waktu kami nikah, semua keponakan bapak hadir, loh, Mba. Dan nama Mba Salsa, gak ada." Aku mencoba menelaah jawabannya."Kan, sudah saya bilang, Mba Jihan gak bakal tahu. Dia tidak hadir waktu kalian menikah," tutur Mba Lisa kesal dan Nadanya terkesan mengejek."Suaminya siapa, ya, Mba?""Itu ... Ma-s Farhan."Wanita ini. Dia cukup pandai beralibi!Aku semakin yakin dengan kebohongannya.Padahal anak kecil itu jelas sekali menyebut nama Mas Adnan, papanya. Kenapa mereka harus menyembunyikan dariku?Berulang kali pun aku akan jelaskan tentang Dita-anak kecil itu, dia pasti punya jawaban lain. Dia merasa bisa membohongiku karena aku tidak melihat sendiri di depan mereka.Selain itu, karena aku tidak tahu banyak hal yang mereka sembunyikan.Lama-lama, aku muak juga dengan sandiwara mereka. Aku memutuskan ke kamar dan hendak mengunci pintu, tetapi dicegat lagi."Mba Jihan, kami menyembunyikan yang mana? Jangan sembarang nuduh." Ibu tidak terima dengan ucapanku dan sepertinya belum puas dengan jawabanku."Iya, Mba. Tidak baik berprasangka buruk seperti itu. Apalagi sama mertua sendiri." Mba Lisa ikut menimpali. "Sebaiknya Mba instrospeksi diri agar tidak suudzon kayak gitu.""Aku tidak berprasangka buruk, Mba. Aku mendengar sendiri kok, kalian sedang membahas Mas Adnan. Aku tidak tuli, loh, Mba. Tapi, tak apalah kalau kalian masih ingin menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi ingat, ya, Mba, kalau aku menemukan sendiri, kalian akan menerima sendiri akibatnya," ucapku dengan sedikit penekanan.Aku sudah tidak tahan dengan sindiran Mba Lisa. Dia ini dari dulu selalu saja ucapannya pedas. Sejak pertama kali kami tinggal bersama mereka. Sikap dan ucapannya itu selalu menyakitkan."Loh, Mba Jihan mengancam ipar sendiri dan juga mertuamu? Ya Allah, Mba, lancang sekali!"Aku lelah berdebat dengan Mba Lisa. Dia pasti punya seribu jawaban dan alasan. Sebaiknya aku tidak perlu melanjutkan lagi pembicaraan ini. Perdebatan kami tidak akan ada ujungnya."Huhu ... Ibu tidak pernah menyangka Mba Jihan berbicara seperti itu." Ibu terisak.Aku merasa bersalah dan tidak tahu apakah ibu benar-benar sakit hati mendengar ucapanku tadi atau tidak. Atau mungkin hanya bersandiwara, aku juga tidak tahu."Sudahlah, Bu. Ibu tidak perlu ambil hati ucapan anak mantumu itu," Mba Lisa menenangkan sambil melirik ke arahku."Mba Lisa! Sudah, hentikan! Kau bawa ibu ke kamarnya!" Bapak menghampiri kami setelah dari toilet. "Kamu itu seharusnya bersikap dengan baik kepada iparmu. Tutur katamu juga. Dia istri kakakmu.""Seperti apa tutur kata dan sikap saya yang tidak baik, Pak?""Sudah ... sudah ... Pergi temani ibu!" bentak Bapak."Bapak, dari dulu selalu membela anak mantunya. Sebenarnya, anak bapak itu yang mana, Mba Jihan atau Lisa?" ucap Mba Lisa kesal dan berlalu dari kami."Huh! Anak itu tidak pernah bisa bersikap sedikit lebih baik dengan ucapannya terhadap yang tua. Pantas saja anak laki orang masih enggan melamarnya." Bapak mengembuskan napas sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Nak Jihan. Maafkan Ibu dan Lisa, ya." Pak Hasan, mertuaku mendatangiku."Jihan sudah memaafkan, Pak. Jihan pamit ke kamar sebentar!" ucapku kemudian berlalu.Bapak masih berdiri sambil menatapku yang mulai menjauh. Tatapannya sangat iba padaku. Ia ingin sekali mengucapkan sesuatu, tapi entah seperti tertahan.Aku membuka pintu kamar kemudian membantu Naya ke tempat tidur. Hari pun sudah malam. Saatnya untuk Naya tidur dan juga aku.Kuusap kepala putriku berulang kali sampai ia tertidur. Pikiranku melayang, masih memikirkan percakapan mereka barusan, hingga akhirnya aku pun bisa tertidur.Cahaya matahari menyinari pagi ini dengan sangat cerah. Aku sudah berkemas-kemas dari semalam untuk pulang bersama putriku.Sebelumnya, pagi ini aku menyempatkan diri berkeliling di sekitar kompleks rumah untuk merenggangkan otot, sambil sesekali menyapa tetangga yang kebetulan berpapasan denganku."Assalamualaikum, Mba Jihan, makin cantik aja!" Seseorang menyapaku kemudian aku berbalik dan menyapanya."Waalaikumsalam, Mba Rani. Sudah lama tidak jumpa." Aku sangat senang melihat teman yang sudah lama tidak bertemu."Iya, nih. Eh, dua atau tiga hari yang lalu, aku negur-negur seorang wanita di depan rumah Mas Adnan. Aku kira itu kamu. Ternyata, bukan.""Oh, ya! Ciri-cirinya?""Berhijab. Tingginya sama sepertimu. Kulitnya kuning langsat. Da-n ....""Dan apa?""Membawa seorang anak." Dahinya berkerut. Ia seperti menahan sesuatu sambil menatapku, menunggu reaksiku.Aku merenung sejenak, kemudian berkata, "Yang rambutnya dikucir bukan?""Ya, betul. Bagaimana kau tahu? Anak Mba Jihan?" Ia terlihat bingung."Bukan....""Oh, gitu! Kami pikir selama ini, anak kecil itu, anak Mba Jihan dan Mas Adnan. Ternyata bukan?""Iya, bukan. Anak saya namanya Naya.""Mba Lisa bilang, Dita anak Mba Jihan. Jadi, yang benar yang mana?""Mba Lisa bilang begitu?""Hu-u." Mba Rani hanya mengangguk sambil menatapku, seakan banyak tanda tanya besar di kepalanya."Mungkin dia khilaf, Mba," sambungku. "Mba Rani tahu sendiri 'kan Mba Lisa seperti apa.""Iya, juga, sih. Eh, putrimu mana? Aku mau ketemu, dong.""Lagi di kamar. Dia tidak enak badan.""Semoga Naya cepat sembuh, ya.""Aamiin, makasih. Emang wanita itu sering ke rumah ini?" tanyaku lagi."Wanita? Oh, iya. Bisa dibilang gitu. Tapi, tiap kami tanya siapa wanita itu, mereka bilang sepupu dari jauh."Aku ingin menanyakan apakah Mas Adnan sering ke rumah ini juga atau tidak, tapi kuurungkan. Aku khawatir mereka tahu keadaan kami. Aku tidak ingin tetangga mengetahui kondisi rumah tanggaku."Terima kasih ya, infonya.""Sama-sama, Mba. Eh, kapan-kapan kita hangout bareng yuk!""Mmm, bagus juga! Okay, ntar aku WA, ya. Masih save nomorku kan?""Masih, kok. Aku pamit dulu, ya.""Oke, bye-bye."Ada manfaatnya juga berjalan kaki di pagi hari. Selain menyehatkan juga mendapatkan informasi yang sangat aku perlukan.Setelah berjalan beberapa menit mengitari daerah kediaman mertuaku, aku memutuskan kembali ke rumah.Matahari sudah mulai terik menyinari. Keringat mengucur deras di punggung."Mba Jihan ... Assalamualaikum!" Aku menoleh ke sumber suara yang menyapa."Waalaikumsalam, Bu Sumi ....""Abis jalan pagi?""Iya, nih. Lumayan keringatan!""Aku pikir udah pulang!""Belum. Sebentar lagi, kami pulang. Mungkin sekitar jam sembilan.""Oh, gitu! Dita, putri Mba Jihan di mana, kok aku gak lihat?""Dita bukan putri saya, Bu. Putri saya, namanya Naya." Aku memutuskan untuk jujur saja daripada ikut berbohong dan akibatnya aku akan kena imbas dari kepura-puraan keluarga suamiku juga. "Loh, Mba Jihan gimana, sih! Kok, saya jadi bingung. Trus, Dita itu anak siapa?""Aku juga gak ngerti, Bu. Aku baru tahu kemarin dari Bu Sumi sendiri kalau ada anakku di rumah Bu Sari.""Tapi, aku dengar sendiri dari Mba Lisa, katanya Dita anak Mas Adnan. Itu berarti anak Mba Jihan juga.""Anak kami, namanya Naya. Aku jug
POV Lisa"Lisa! Apakah Mba Jihan sudah tahu kalau Mas Adnan sudah nikah?""Gak mungkin lah, Mak. Kenapa Mama terlihat sangat khawatir seperti ini? Aku yakin seratus persen dia gak tau. Kalau dia tau, pasti Mas Adnan akan dimintai untuk cerai. Atau setidaknya dia ke sini untuk mengurus surat cerainya, tapi tidak 'kan. Dia hanya datang menanyakan kabar suaminya."Ibu mengangguk, mungkin mulai mengerti dengan penjelasanku. Aku mendekatinya kemudian menjelaskan kembali lebih detail agar ia makin tidak salah paham. Sekitar dua jam kami bercerita dan membahas yang lain entah apapun itu.Meskipun sudah beberapa kali aku jelaskan, ia masih terlihat khawatir. "Mereka sudah pulang belum, Lis?""Kayaknya belum, Mak. Tadi dia berjalan ke luar rumah saat Lisa keluar dari kamar.""Oh, gitu! Sebaiknya, kamu hubungi Mas Adnan agar tidak menitipkan anak kecil itu untuk saat ini ke rumah. Ntar, Mba Jihan curiga lagi." Ibu mendesakku agar segera memberitahu Mas Adnan."Iya, ntar Lisa beritahu Mas Adnan
POV LisaKedua bola mataku memutar dengan malas, "Ih, Mama cerewet amat! Lagian Lisa baru minggu ini.""Kata siapa? Dari dulu, sejak kamu masih sekolah, Mama yang beresin kamarmu. Coba kalau kamu bantuin Mama, mungkin Mama tidak akan kecapekan terus setiap hari.""Kenapa sih, Mak, akhir-akhir ini bawel banget!""Kamu tuh diberitahu malah marah balik. Cepat ke dapur bantuin Mama!""Ogah, ah. Kita mesan aja, Ma, lewat online. Tadi, Lisa lihat status di aplikasi ijo ada yang lagi post ketoprak. Ketoprak Mas Siswo selalu habis kalau kita tidak mesan segera. Minggu lalu Mas Adnan udah ngirimin duit 'kan?""Lisa! Sampai kapan kamu gini terus? Kemarin kamu sudah mesan. Kamu itu harus membiasakan diri untuk memasak dan menyiapkan makanan. Kalau kamu nikah, gimana mau nyiapin makanan untuk suami dan anak-anakmu nanti.""Aduh, Mak. Itu perkara gampang! Lisa tinggal mesan lewat online. Ribet amat! Lagian Lisa bisa belajar nanti. Udah, ah, mana duitnya Lisa udah mesan. Makanannya udah mau tiba."
"Naya gak mau pulang. Maunya ketemu ayah dulu!" ucap Naya cemberut diikuti dengan bibirnya membentuk cekung."Mama pasti kabari Naya, kalau ayah sudah tiba. Kita harus balik sekarang. Minggu depan kita akan ke sini lagi, Ok?" Aku berusaha membujuknya terus agar mau mengikuti saranku. Hingga akhirnya, dia pun mau meskipun dengan berat hati mengikutiku berjalan menuju pintu kamar. Aku membuka pintu dan menuntun Naya keluar. "Mba Jihan mau pulang?" Lisa, iparku mendekati kami sambil menyunggingkan senyum."Iya, tolong sampaikan ke Ibu dan bapak, kami mau pamit.""Iya, nanti Lisa sampaikan." Dia terlihat sangat ramah hari ini. Entah apa yang terjadi dengannya hari ini.Entah kenapa, melihatnya tersenyum sambil menjawab ucapanku terasa ada yang pilu di hati ini. "Naya, semoga cepat sehat, ya, Nak!" ucapnya sambil membungkuk ke Naya kemudian berdiri kembali."Telima kasih, Tante.""Mau aku panggilkan taksi?" Wanita yang masih dengan piyama itu menawarkan bantuan ke kami."Tidak perlu, Li
"Semoga bisa bertemu, ya, Bu. Ibu harus kuat dan tabah kalau kenyataannya sesuai dengan dugaan beberapa hari ini.""Terima kasih, Mba."Mba Tina–tetanggaku di kampung. Ia aku ajak ke sini untuk bekerja bersamaku. Ia sudah aku anggap seperti sahabat dan juga adik sendiri, meskipun usia kami terpaut satu atau dua tahun. kepadanya tempat aku bercerita segala sesuatu."Bagaimana dengan pemesanan katering?" tanyaku."Alhamdulillah berjalan lancar, Bu.""Alhamdulillah, baguslah, senang mendengarnya! Aku percayakan semuanya ke Mba Tina." "Baik, Bu." Ia mengangguk. Aku mulai meraih tas dan berjalan keluar kemudian langsung menuju taksi yang telah menunggu di luar. Aku tidak ingin menunggu lagi untuk segera ke rumah Mas Adnan. Setelah menunjukkan alamat yang aku maksud, taksi driver membawaku ke alamat tujuan. Aku sangat was-was bila alamat yang aku tuju adalah benar alamat Mas Adnan. Pikiranku banyak dihinggapi praduga yang tidak menentu. Aku sudah memutuskan untuk memperjelas masalah ini
"Jihan! Aku bisa jelaskan semuanya padamu. Aku akan ke rumah besok, Ok!" Mas Adnan mendekatiku, hendak meraih lenganku. Namun aku menepisnya."Jangan menyentuhku, Mas!" Tangannya mengambang di udara. "Sekarang sudah jelas bagiku. Aku tidak butuh penjelasanmu lagi, Mas. Tunggu saja kabar dariku besok." "Oh, ya! Ini kunci mobil milikku 'kan? Aku ingin mengambilnya." Kebetulan mataku melihat sebuah kunci yang tergantung. Aku meraih kunci mobil tersebut di tangannya. Kunci mobil yang kini telah berpindah ke tanganku merupakan kunci mobil truk pemberian ayahku sebagai modal kami. Hanya karena ini membuatnya tidak pernah ada di rumah kami dan menjadikan alasannya agar tidak pernah ke rumah.Gegas aku berlalu dari mereka. Aku tidak kuat berdiri lama di depan mereka sambil menahan sembilu yang menyayat hati. Air mata yang hendak melompat dari netraku tidak terjadi. Air mata ini tidak sudi menangisi kemalangan jalan hidupku. Mas Adnan tidak berani mengejarku karena masih ada Mba Raisya di
"Iya, Bu. Hati-hati, ya. Semoga selamat sampai tujuan.""Panggilan saya sudahi dulu, ya. Nanti ibu hubungi kalian lagi.""Baik, Bu."Mereka akan ke sini secara tiba-tiba. Biasanya kami yang mengunjungi mereka. Aku menyandarkan kembali kepala ini ke sofa. Kuletakkan gawai di sampingku begitu saja. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. "Silakan makan, Bu. Makanan sudah saya sajikan di atas meja." Mba Tina menghampiriku yang sedang berpikir."Terima kasih, ya! Tak perlu repot-repot seperti ini, Mba.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah biasa, kok. Lagian rumah Bu Jihan sudah seperti rumah kedua saya.""Kita makan bersama, ya," ajakku."Aku baru saja selesai makan bersama Naya. Alhamdulillah, Naya sangat lahap hari ini. Dia sedikit bersemangat.""Alhamdulillah!""Ma, Mama sudah pulang?" Naya menghampiriku.Mataku menatapnya lamat-lamat. Seakan melihat Naya yang berbeda. "Iya, Nak. Naya sudah lama bangun?""Iya, Mak, sudah lama. Tadi, Mba Tina temanin main di kamal," jawab Naya
"Mari Pak, Bu, silakan!" Aku meletakkan sebuah mangkuk sup yang baru saja aku tambahkan dari panci. Beberapa piring juga sudah ditempatkan di atas meja. "Bapak sehat?" tanyaku lagi. Karena semenjak dia tiba, aku belum mendengar suaranya."Alhamdulillah, sehat!" "Sini, Pak, Jihan tambahin sup-nya, bagus untuk cuaca sore seperti ini.""Naya bagaimana kabar? Nenek dan kakek sangat merindukan Naya. Hampir sebulan ini Naya tidak ke rumah nenek lagi.""Naya baik, Nek. Nanti kalau libul panjang, Naya dan Mama pasti ke lumah nenek lagi."Ibu memeluk Naya. Aku tersenyum melihat kedekatan mereka. Sesak yang sempat melanda tadi mulai terasa ringan."Ayahmu gimana kabar?" "Uhuk ...." Aku hampir tersedak oleh air yang sedang kuteguk. Wajahku seketika pias, berubah panik. Naya kembali lesu. Air matanya menetes dari netranya. "Kenapa, Sayang?" Ibu merangkulnya. "Ayah belum kembali. Ayah jahat, tidak sayang lagi sama Naya!"Aku terdiam, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut ini seakan kaku.