Share

Tentang Kepastian

"Baru tahu, kalau laki-laki sepintar dirimu harus berbelanja sendiri." 

Aku tersenyum tipis, mungkin saja Mu'in tidak pernah melihatku belanja sebelumnya. Untuk itu dia berkata seperti itu. 

"Bagaimana kabar anak kecilmu?" 

Aku teringat saja, anak yang digendongnya saat melakukan pemakaman istrinya itu. Aku mengira, itu adalah adik kecilnya. Tetapi anak kecil itu, bukanlah seorang adik untuknya. Melainkan anak kecil itu adalah anak kandung dari istri yang waktu itu harus pergi meninggalkannya karena panggilan sang pencipta. 

"Alhamdulillah sehat. Lalu samean kapan jadinya?" 

Mungkin Gus Mu'in sempat dengar, kalau aku sedang menjalani persahabatan yang menjadi cinta dengan Mafayzah. 

Menceritakan tentang Mafayzah adalah hal yang begitu langkah untuk aku perbincangkan dengan seseorang. Bukan maksud aku tak menginginkan Mafayzah masuk ke dalam kehidupanku. Akan tetapi, aku belum mampu saja kapan harus memberikan sebuah kepastian untuk Mafayzah. Dan yang aku inginkan, biarkanlah waktu saja yang menjawab kapan kepastian itu akan aku sampaikan. 

Memang kepastian sepertihalnya seringan angin, namun kenyataannya seperti mencari sesuatu di antara bongkahan batu. Entahlah, aku tak mampu menjawab tentang pertanyaan yang sama itu. Siapa lelaki yang tak mau memberikan kepastian? 

"Aku mohon doanya saja, aku pun tidak dapat menjawab." 

"Baiklah."

***

Neng Lia

"Dik, tahu laptop ku ada di mana? Di kamar tidak ada, apa lagi kamu pakai?"

Lekas dari dapur, aku menuju ruang tamu. 

Aku masih ingat benar, aku menaruh laptopku di meja kamar. Karena sebelum aku tidur, aku sempat nengahin laptopku yang posisinya begitu menepi. Bahkan kalau tersenggol sedikit saja, laptopku sudah jatuh.

Beberapa hari ini, aku sedang disibukkan dengan kerjaan novelku yang memang sudah aku tarjetkan untuk tamat pada tahun ini.

Namun sampai sekarang, aku masih belum saja menemukan bagian akhir cerita yang tepat. Bahkan di pertengahan cerita, konflik yang aku buat seolah banyak karakter yang tidak begitu hidup. Dan berasa cerita itu seperti halnya mengalir begitu saja.

Belum lagi banyaknya revisi yang harus aku tangani hampir di setiap bab novel. Sampai aku lupa memberikan tanda, di mana yang sudah di revisi dan mana yang belum direvisi. 

"Tidak itu, neng. Papi mungkin yang menyimpan, memangnya laptopnya mau buat apa?"

Adikku Tika langsung menghentikan makanan yang hampir saja masuk ke dalam mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku. 

"Menyelesaikan tugas, dik. Seperti biasanya itu!"

Rasanya agak kesal ketika yang aku butuhkan tidak ada. Aku memang terkadang sering lupa kalau menaruh sesuatu, tetapi kali ini aku tidak mungkin lupa menaruh. 

"Mengerjakan novel lagi, neng?"

Adikku Tika ini, masih sempatnya tanya yang sudah biasa untuk menjadi jawaban. Seharusnya aku tidak akan pernah biarkan dia tahu tentang apa saja yang aku lakukan mengenai laptop. 

Tetapi kalau tidak aku bilangin, biasanya suka salah paham. Bahkan aku pernah dituduh lihat film atau lagi ngegame, padahal aku sangat alergi dengan dua hal itu.

"Iya, dik. Papi di mana?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status