Share

8. Menggantikan dan Meneruskan

Mata Una mendadak terbuka. Ia menemukan boneka sapi biru masih setia tersenyum. Cahaya putih juga mulai menyeruak lewat jendela. Sudah pagi. Ternyata sedikit kilas itu tanpa sengaja membawa Una terlelap melangkahi malam.

 

Una meregangkan badan. Mood bangun paginya yang kosong lantas terisi gelisah ketika kembali mengarahkan pandangannya ke boneka sapi. Wajahnya menyiratkan pertentangan hati dan otak, memperdebatkan apakah keputusannya sudah benar.

 

Lalu Una bangun. Ia membiarkan boneka sapi tergeletak di kasur. Ketimbang terbawa lamunan, sebaiknya bergerak membuat sarapan. Una memasak, kali ini untuk dirinya sendiri. Santap paginya ditemani satu kursi kosong di meja makan.

 

Bel berbunyi, dan entah mengapa membuat Una antusias. Una bergegas. Ia masih semringah ketika membuka pintu. Namun, senyum itu hilang kala menemukan kehadiran pria yang sama sekali tidak ia kenal.

 

“Una Martadinata?” Pria itu menunjukkan lencana. “Ikut kami ke kantor, kami punya beberapa pertanyaan.”

 

***

 

Matahari bersinar cerah membawa keceriaan bagi manusia penghuni istana keluarga Hazerstein. Setidaknya untuk Felix. Sementara sang tuan lagi-lagi harus dilanda penasaran akibat mata yang ditutup sembari didorong berjalan.

 

“Aduh, Felix, kamu mau membawaku ke kandang buaya lagi, ya?”

 

“Tidak, Tuan. Tenang saja.”

 

“Terus kita mau ke mana?”

 

Felix tak memberi jawaban. Pria mancung itu hanya tersenyum sambil terus mendorong pelan majikannya menuju aula istana. Reza yang tak tahu apa pun hanya bisa pasrah ketika Felix kemudian memintanya berhenti.

 

Kain penutup mata Reza kemudian dibuka. Butuh beberapa detik bagi pria berwajah oval itu untuk beradaptasi dengan cahaya. Ia lantas terkesima. Tujuh orang wanita kewarganegaraan Jerman dengan berbagai tampilan berjejer tersenyum menawan.

 

“Felix, kamu membawa aku ke kantor marketing baru, ya?”

 

Sang pelayan hanya bisa tersenyum, kemudian melangkah mendekati para wanita cantik di depan Reza.

 

“Bukan, Tuan. Mereka adalah para wanita yang sudah masuk daftar seleksi untuk menjadi istri Anda.”

 

“Hah?!” Reza terbeliak.

 

“Ayolah, Tuan Reza. Anda tentu ingat dengan tugas utama Anda, bukan? Tentang meneruskan dinasti?”

 

Reza menggaruk belakang lehernya. “Buset, benar juga. Tapi apa benar-benar harus sekarang?”

 

Si pelayan bermata bulat menghela napas. “Tuan, jika ini tentang istri Anda di Indonesia, sebaiknya Anda melupakannya. Sudah saatnya menempuh hidup baru.”

 

Pil nasihat yang pahit, tapi Reza harus menelannya. Hidup terus berlanjut. Daripada bersedih, Reza memilih duduk di singgasananya, memasang senyum dan mempersilakan sang pelayan memulai acara audisi jodoh.

 

Lima kulit putih, dua kulit gelap, ada yang pirang, ada juga yang berambut hitam terurai. Gaya mereka necis dan tampak berada. Semuanya langsing. Semuanya sama memancarkan pesona. Satu per satu wanita itu maju memperkenalkan diri dan apa keunggulan mereka.

 

Sepanjang perkenalan, Reza manggut-manggut dengan wajah serius. Felix juga terlihat cukup percaya diri melihat tuannya bersungguh-sungguh dalam menilai calon istri. Lima belas menit, dan para wanita itu kembali ke posisi berdiri mereka.

 

Felix mendekat, membungkuk pada sang majikan. “Bagaimana, Tuan?”

 

Reza mengangguk, masih dengan tatapan serius. “Cukup sulit.”

 

“Pilihannya?”

 

“Bahasanya.” Reza melotot. “Aku gak ngerti mereka ngomong apa, Felix!”

 

“Mereka semua bicara bahasa Jerman, Tuan.”

 

“Ya siapa bilang itu bahasa Minang?! Sebenarnya aku malah bingung kenapa bahasa Indonesia kamu yang fasih.”

 

“Pelayan keluarga elite global dituntut untuk menguasai delapan belas bahasa agar bisa berkomunikasi dengan keturunan atau mitra di negara lain, Tuan.”

 

Reza lantas mendongak dan memijat kening. “Minimal terjemahkan mereka tadi ngomong apa.”

 

Dan itulah yang Felix lakukan. Durasi acara pun bertambah panjang seiring alih bahasa dari si pria mancung. Namun, hasilnya sama. Pipi Reza tetap saja menggembung mengembuskan napas isyarat pusing memilih.

 

“Felix, boleh kita jalan-jalan keluar?”

 

***

 

Burung besi menerjang langit, menerobos awan menuju perjalanan panjang. Cuacanya bagus. Aroma makan siang ala penerbangan tak sebanding dengan masakan istana Hazerstein, tapi cukup untuk mengisi kekosongan.

 

Giliran Felix yang menempelkan hidung mancungnya pada jendela. Ia menghela napas. Kemudian pelayan setia itu menengok pada sang majikan yang bersandar rileks di kursi sambil menikmati kunyahan makan siang.

 

“Jalan-jalan keluar, sih, jalan-jalan keluar, Tuan. Tapi tidak sampai berangkat ke Swiss juga.”

 

“Ya mau bagaimana lagi, Felix? Acara cari jodoh di istana juga bikin pusing. Lagian di darat, pasti satu dua orang mengenali wajahku dari berita.”

 

Felix menghela napas lagi. “Untung saja saya sudah mengatur semuanya agar Anda bisa lolos ke penerbangan ini. Jadi, kenapa Swiss?”

 

Tangan Reza berhenti bergerak di atas santapan. Senyumnya simpul. “Itu tempat janji cinta yang kubuat bersama Una.”

 

“Anda mau ke sana untuk mengobati rasa rindu?”

 

Reza menggeleng. “Cintaku sudah mencampakkanku, Felix. Seperti katamu, saatnya mulai hidup baru. Aku mau ke sana untuk membuang sisa-sisa mimpiku.”

 

Gemuruh mesin menggema di angkasa, menjadi tunggangan sang pria patah hati.

 

***

 

Ruang interogasi itu berukuran dua kali tiga meter. Pengap dan didominasi warna putih kusam. Ada tiga polisi. Una gusar. Meski begitu, Una masih bisa bersikap tenang dan menjawab berondongan pertanyaan polisi dengan lancar.

 

Hampir 20 menit Una berurusan dengan persoalan terorisme suaminya, hingga ia puyeng. Pintu diketuk. Satu polisi lain muncul dan berbisik pada pria di meja interogasi.

 

“Bu Una boleh pulang,” kata polisi.

 

Ternyata bukan tanpa alasan wanita berambut pendek itu dibiarkan lolos. Ada Mario yang sudah menunggu di luar pintu ruang interogasi. Sudah jelas pria bertubuh atletis itu membayar uang jaminan agar sang kekasih bebas dari tuduhan.

 

Keduanya terus berjalan. Wajah cemberut Una awet hingga bokong mereka menyentuh kursi mobil. Kini hanya tersisa mereka berdua, dilingkupi kesunyian suara teredam, kendaraan belum menyala.

 

Una mendengkus. “Baru bangun dijemput polisi, ditanya soal suami yang terduga teroris, dibebaskan sama selingkuhan.”

 

“Okay, stop it.” Mario meletakkan tangannya di setir.

 

“Apa?”

 

“Bisa gak, kamu berhenti panggil aku selingkuhan? Setelah apa yang aku lakukan sampai tiga menit lalu, kesannya kamu masih menganggap aku tidak berharga!”

 

Seketika Una tertegun. Nada Mario yang tak sengaja meninggi membuat mata Una berkaca-kaca. Mario yang akhirnya merasa bersalah akhirnya mendekap kepala Una dan melayangkan ciuman di ubun-ubun.

 

“Mario ....” Una terisak. “Apa aku membuat keputusan yang salah dengan mencampakkan Reza?”

 

Mario terkekeh. Ia menatap ke depan, lalu menyorot mata kekasihnya. “Una, aku berani membuat janji ke kamu karena aku tahu bisa menepatinya. Tidak, keputusanmu membuang Reza tidak salah.”

 

“Aku takut kamu hanya membual seperti laki-laki itu.” Air mata Una menitik membasahi pipi.

 

“Baiklah kalau begitu, sebut saja kamu mau apa atau ke mana sekarang? Pasti akan kuturuti.”

 

Mendengar itu, Una memberi tatapan penuh arti pada wajah tampan pacarnya. Mulutnya rapat sesaat, takut akan salah mengucap. Namun, mata Mario terus mendesak.

 

“Aku mau ke Swiss.”

 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status