Share

7. Manusia Tak Sempurna

Una menjatuhkan kumpulan tas belanjaannya karena kehadiran sosok pria berekspresi datar. Heru. Agak mengherankan bagi Una sebab pria itu seakan angin yang tiba-tiba muncul tanpa suara. Terutama karena Heru memakai tongkat kruk yang notabene harusnya berbunyi.

“S-siapa, ya?”

“Nama saya Heru. Saya teman kerjanya Reza, Mbak.”

Mendengar nama suaminya disebut, Una pun memberi tatapan sinis. “Mau apa?”

“Saya lihat berita kalau Reza jadi teroris. Saya cuma mau memastikan kebenarannya. Soalnya ... justru Reza yang menolong ketika saya ditembak orang tak dikenal.”

Una terbeliak. “Ditembak?!”

“Iya. Saya masih sempat melihat Reza dikejar seseorang. Kondisi saya begini juga pasti gara-gara tembakannya salah sasaran.”

Sempat ada simpati melihat keadaan Heru. Namun, mereka sedang membicarakan Reza. Kurang dari tiga detik, ekspresi Una kembali sinis, membuang wajah ke pintu. “Wajar, sih. Dia teroris. Paling juga polisi yang menembak.”

Wajah Heru tetap datar, tapi ada desakan dari nada bicaranya. “Jadi, Reza di mana sekarang? Ini apartemennya, ‘kan? Mbak istrinya Reza, ‘kan?”

“Dia gak di sini lagi.” Una memutar kunci, membuka pintu dan kembali ke ketenangan.

Si pria berwajah datar hanya bisa pasrah kala wanita cantik itu membanting pintu. Heru menghela napas. Meski begitu, niat membantu masih belum pudar, apalagi ketika Heru memandang lantai koridor.

“Mbak, belanjaannya ketinggalan di luar.”

Una mengambil semuanya, lalu kembali membanting pintu.

Cerita tak lantas berakhir ketika Una sampai di dalam. Kondisi ruang apartemennya tidak jauh berbeda daripada setelah mencampakkan Reza kemarin. Sepi. Lucunya, Una yang mengharapkan kondisi itu, tapi merasa ada yang kurang di saat bersamaan.

Pintu kamar di buka. Gelap. Setelah menyalakan lampu, tak sengaja jemari kaki Una tersandung sebuah kado di lantai. Ia berjongkok, memungut dan membuka kado itu. Sebuah boneka sapi berwarna biru tersenyum imut menatap Una.

Seakan boneka itu hidup, Una terus melakukan kontak mata. Ia membawanya ke ranjang. Empuk, tapi sunyi. Tatapan sang boneka seakan membawa Una ke dalam lorong waktu.

***

Dua bulan sebelumnya ....

Sudut lain Kota Jurajura terlihat lebih tenang. Sebuah rumah batu bergaya era 80-an tampak asri dengan pohon jambu. Siang yang sejuk. Reza duduk di teras bersama Una, saling menggenggam tangan sambil menikmati semilir angin.

Mesra. Hanya itu kata yang bisa mendeskripsikan mereka berdua. Sesekali mereka saling melempar canda. Una tertunduk tersipu ketika Reza melontar gombalan maut.

“Ahem ....” Wanita berwajah sedikit keriput datang menginterupsi. “Reza, minta tolong ke toko listrik, dong. Lampu dapurnya putus.”

Reza yang baik hati tentulah tersenyum ramah menuruti permintaan sang mertua. Jalan kaki keluar pagar. Tak ada dialog hingga lelaki itu menghilang.

Tinggallah Una bersama sang mama di teras itu. Mama Una mendekat. Si wanita paruh baya memasang wajah datar meski semilir angin menerpa rambut sebahu berubannya. Sementara sang putri menatap heran menunggu pembicaraan terjadi.

“Udah hampir dua tahun nikah, tapi kayaknya hidup kalian gini-gini aja,” ucap mama Una. “Mana mobil kalian? Mana emas buat mama yang dia janjikan dulu?”

Kening Una mengerut. Ia berusaha menjaga nada bicaranya. “Tapi, Ma, bukannya Reza sudah cukup memenuhi kebutuhan Mama? Dia tiap hari banting tulang, loh.”

“Itu memang kewajiban dia! Gak ada gunanya mantu yang gak bisa bikin mertua senang.”

“Mama kenapa, sih? Kayaknya dari awal aku nikah sama Reza, Mama sekali gak mendukung.”

“Bukan cuma Mama,” sosok lain hadir menyela. Seorang laki-laki tegap berkepala plontos muncul dari pintu. “Andai kamu gak nangis-nangis waktu itu, aku gak sudi menjadi wali nikah kamu.”

“Kakak kok ngomongnya gitu?”

“Terus, apa katanya? Dia mau bawa kamu ke Swiss?” Mama Una terkekeh. “Finansial keluarga belum cukup, sok-sok mau main ke luar negeri.”

Kakak Una bersandar di tembok, menyilangkan tangan. “Aku potong kuping kalau dia bisa membuat mimpi kalian itu jadi nyata. Laki tolol.”

Dua lawan satu. Adu argumen yang akhirnya tidak bisa dimenangkan Una. Istri Reza itu pun tertunduk sedih karena merasa terpojok oleh dua darah dagingnya sendiri. Untungnya, mama dan kakak Una masih punya simpati.

Mama Una lantas memegang pundak sang putri. “Una, Mama hanya gak mau lihat kamu hidup sengsara. Dan Mama harus jujur, kamu sudah salah pilih suami.”

“Apa ini cuma tentang kepuasan Mama?” Una menitikkan air mata. “Kenapa bukan Kakak yang kasih uang?”

“Karena aku juga punya keluarga, Una,” jawab sang Kakak. “Aku punya dua anak dan keuanganku juga lagi susah. Beda sama kamu. Mengerti dikit, dong!”

Ingin Una kembali melayangkan protes. Namun, sang mama buru-buru mengeluarkan lidah iblis, membisik pada Una dengan kalimat lembut. Una terbius. Susunan kata sang mama merasuk ke otak membuatnya terdengar masuk akal.

“Kalau kamu dapat pengganti yang lebih kaya, Mama akan berhenti ganggu kamu seperti ini. Sampai saat itu, kita perah aja Reza. Bagaimana?”

Seakan pikirannya kosong, Una hanya mengangguk. “Iya, Ma.”

Tiba-tiba yang dibicarakan muncul. Untung saja pembicaraan mereka sudah berhenti dan air maga Una sudah diseka.

“Lampunya mana?”

Reza cengengesan. “Itu dia, Ma. Aku lupa nanya Mama maunya lampu model apa.”

***

Satu setengah bulan sebelumnya ....

“Aku berangkat kerja dulu, cintaku.” Reza mendaratkan ciuman di pipi istrinya, lalu melesat berbekal semangat.

Una hanya tersenyum. Sampai suaminya menghilang di balik pintu, wanita itu masih memandang dengan penuh arti. Lalu ekspresinya perlahan berubah murung ketika kesendirian mulai berkuasa. Ruang apartemen menyaksikan keresahan Una.

Wanita itu lantas berganti pakaian. Sebuah dress cokelat berenda putih, dan sendal hak berwarna kekuningan. Wajahnya dirias. Rambut pendeknya dibiarkan terurai. Sebuah penampilan yang membuat Una merasa kembali lajang, meskipun masa itu belum lama berlalu.

Tanpa izin suami, Una berlenggok meninggalkan apartemen. Tujuannya? Tidak jelas. Ia hanya mengikuti naluri yang timbul akibat bisikan maut sang mama. Naluri kewanitaan untuk mencari pejantan baru.

Tibalah Una di sebuah kafe di salah satu mal. Ramai. Masih pagi, tapi sudah banyak pasangan mengisi meja dan melempar canda. Una memesan espresso yang mulai dingin karena terlalu lama diaduk. Ternyata mandat dari sang mama tak segampang itu.

“Excuse me, kursinya penuh. Boleh saya duduk di sini?”

Una perlahan mengangkat wajah. Ia terkesima dengan sumber suara yang berdiri di hadapannya. Pria berwajah kotak dengan setelan hitam, tampak seperti konglomerat di layar kaca. Mario. Saat itulah Una menyadari harus mulai mengambil langkah.

“Silakan,” kata Una. “Toh tidak akan ada yang sudi duduk bersama saya.”

Mario terkekeh. “Why not? Hanya orang bodoh yang menolak kesempatan duduk bersama wanita secantik Anda.”

Una melirik cangkirnya, lalu menatap tajam ke Mario. “Nasib saya seperti espresso ini. Terlalu banyak diaduk, sehingga rasa sejatinya hilang bersama suhu.”

Sang pria berwajah kotak memperbaiki posisi duduknya. Ia membalas tatapan tajam Una dengan senyum menawan. “Itu perumpamaan yang menarik. Care to share?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status