Share

6. Ujian Kelayakan

“Feeeliiix!” teriak Reza ketakutan seraya menggedor-gedor jeruji.

 

Sementara Felix berdiri sekitar sepuluh meter dari pintu. Wajahnya tenang melihat sang majikan yang pucat. “Sebaiknya Anda mulai bertindak, Tuan.”

 

Bersamaan dengan saran itu, terdengar suara air meluap. Reza menoleh. Seekor buaya sudah keluar dari kolam dan perlahan merayap di tepian. Kian ketar-ketirlah si pria berwajah oval.

 

“Hei, Felix! Kamu bodoh, ya? Bukannya aku dikirim ke sini untuk meneruskan takhta Hazerstein? Lalu kenapa aku harus melakukan aksi mematikan ini?! Lagi pula apa yang sebenarnya harus kulakukan?!”

 

Felix pura-pura tersipu. “Ah, maafkan saya, Tuan Reza. Saya lupa memberitahu. Tugas Tuan adalah berenang ke dasar kolam untuk mencari kunci cadangan dan membuka pintu ini. Jika berhasil, maka Tuan Reza sudah resmi menjadi penerus keluarga Hazerstein.”

 

Reza ingin melanjutkan aksi protesnya. Namun, reptil yang melata keluar dari air kini bertambah jadi tiga ekor. Waktunya sempit. Sepertinya Reza tidak punya pilihan selain menjalankan permainan hidup mati dari sang pelayan.

 

Maka Reza pun beranjak dari jeruji. Tak ada suara dari buaya, hanya terus merayap.

 

“Saya punya saran, Tuan. Sebaiknya kurangi berteriak, dan jangan berenang tergesa-gesa. Buaya itu hewan yang sangat sensitif.”

 

Baru dua langkah yang Reza ambil. Buaya menyentak. Hewan itu bergerak perlahan, menyapa dengan mulut menganga. Reza berusaha agar tetap tak terpojok. Sedikit bungkuk si pria berwajah oval sambil menunjukkan gestur stop.

 

Reza berpikir keras. Setiap langkah menyamping yang diambilnya hanya menghasilkan langkah baru sang buaya. Tangan Reza mengepal, antara stres dan ingin menghajar Felix. Lima lawan satu. Percikan air di kaki Reza seakan membawa rangsang kematian.

 

Tunggu. Buaya hewan yang sangat sensitif. Tips kecil dari Felix itu menghadirkan sebuah ide.

 

“Heeeeeeeiii!” teriak Reza.

 

Tak hanya berseru, Reza juga menendang-nendang air di kolam. Buaya terusik. Dua reptil yang tersisa pun bergerak ke sumber percikan. Reza terus berteriak sambil melangkah cepat kembali menuju jeruji.

 

Berhasil. Kelima ekor buaya sudah hadir di daratan. Reza mengambil kesempatannya yang sempit untuk mencebur ke kolam.

 

Airnya jernih. Kunci yang dimaksud Felix bisa terlihat di dasar. Reza lanjut menyelam. Kedalaman kolam tak seberapa, membuat Reza cukup mudah menjangkau kuncinya.

 

Lalu masalah muncul. Seekor buaya kembali ke kolam. Binatang itu dengan cepat berenang menyusul Reza yang baru saja berbalik. Waktu kian sempit dan ruang gerak Reza terbatas. Kepanikan semakin mengundang insting alami buaya.

 

“Ayo, Tuan Reza ...,” ujar Felix dalam bahasa Jerman. “Nasib saya sebagai pelayan keluarga ini tergantung kelulusan Anda.”

 

Sayangnya, Reza panik. Ia kesulitan berpikir jernih kala melihat moncong besar sang reptil semakin dekat. Gelagat yang membuat Reza kehabisan napas, keluar ke permukaan dan memukul-mukul air.

 

“Tuan Reza ...,” ucap Felix mulai khawatir.

 

Benar saja. Kepanikan Reza akhirnya mengundang empat buaya lain masuk ke kolam. Maut benar-benar sedang membayangi keturunan terakhir Hazerstein.

 

“Fueh ... Ffelix!”

 

Sesaat setelahnya, tubuh Reza kembali ke dalam air. Kali ini tak kembali. Buaya mulai bergerak liar di kolam. Felix membeliak memegang terali besi, memanggil sang majikan. Percuma. Tak ada jawaban.

 

Hampir 30 detik kemudian, buaya-buaya juga kembali tenang, membuat Felix kian putus asa. Pria bermata bulat itu kini terduduk lemas di depan pintu besi, menyesali perbuatan konyol atas nama tradisi yang baru saja ia lakukan.

 

“Maafkan saya, Tuan Hazerstein.”

 

Suara objek keluar dari air membuat Felix kembali mengangkat wajah. Sebuah tangan. Lalu tangan satunya muncul memegang kunci. Ternyata Reza berhasil. Pria berwajah oval itu terengah naik ke tepi kolam, lalu merangkak membuka pintu.

 

Basah, capek, kedinginan. Tak sedikit pun Reza menunjukkan wajah ingin merayakan kemenangan. Ia hanya menungging, membiarkan air dari pakaiannya membasahi lantai.

 

Sementara Felix mengganti posisinya jadi berjongkok, lalu memegang pundak majikannya dengan bangga. “Selamat. Anda terbukti pantas menjadi penerus keluarga Hazerstein.”

 

Reza mengatur napasnya, lalu manggut-manggut menyengir. “Terima kasih, Felix. Sekarang, berhubung aku sudah resmi jadi majikanmu, aku ingin memberi perintah padamu.”

 

Felix menunduk menghamba. “Apa saja untuk Anda, Tuan.”

 

“Bagus. Berdirilah membelakangiku.”

 

Sang pelayan menuruti perintah tanpa banyak tanya. Reza berdiri. Senyum di wajah oval Reza seketika berganti kekesalan memuncak. Ia lantas memberi satu tendangan ke pantat Felix, lalu mencekik ala kartun.

 

***

 

Malam tenang di kediaman Hazerstein. Felix sudah berpakaian rapi sebagaimana seorang pelayan, menahan rasa sakit untuk upacara penting. Sepi. Hanya ada dia dan sang majikan yang bersetelan hitam di singgasana ruang utama.

 

Berdua, tapi ini adalah acara resmi. Felix merendah. Bertumpu pada satu lutut, menunduk menyodorkan emblem perisai biru putih bersiluet buaya.

 

“Ujian tadi bukan hal random. Buaya adalah simbol keluarga ini. Ganas, hidup di dua alam, dan berumur panjang. Semoga sepak terjang Anda mampu membawa keluarga ini kembali menjadi bagian dari dominasi dunia.”

 

Reza tak berkata apa pun, hanya mengambil pelan emblem itu dan memasangnya pada bagian dada kanan jas. Wajahnya serius. Matanya penuh keyakinan bahwa ia akan mampu mengemban tanggung jawab.

 

“Mulai hari ini, nama Anda tidak akan lagi disingkat. Anda adalah Reza Hazerstein Martadinata.”

 

Setelah resmi dinobatkan, Reza pun resmi menyatakan lapar. Reza beranjak ke kamar. Felix bergerak menyiapkan makan malam untuk sang majikan baru. Kalkun panggang. Reza melahap hidangan itu dengan nikmat.

 

Reza menelan kunyahannya. “Tekstur, bumbu, sisi-sisi hangusnya .... Enak banget, Felix.”

 

“Saya senang Anda menikmatinya, Tuan.” Felix membungkuk, tapi rasa sakit di punggung menahannya lebih rendah.

 

Namun, makan malam di kamar itu terasa ada yang kurang. Terlalu sepi. Si pria berwajah oval juga sudah kehabisan bahan obrolan. Reza kemudian meminta Felix untuk menyalakan televisi yang terpajang di dinding.

 

Televisi menyala. Kebetulan sekali saluran yang muncul adalah acara berita dalam bahasa Jerman. Tentu Reza tidak mengerti kecuali kata ‘terrorist’ dan ‘Indonesia’.

 

“Bentar ....” Reza menjeda santap malamnya. “Itu hotel yang kita ledakkan kemarin.”

 

Felix tidak terlalu heran ketika berita itu dibahas. Masalah baru muncul ketika wajah Reza terpampang dan dianggap sebagai pelaku utama. Reza termangu. Tanpa mengerti bahasanya, majikan Felix mengerti bahwa dirinya sedang dalam masalah serius.

 

“Sepertinya saya tahu istilah dalam Bahasa Indonesia untuk situasi seperti ini, Tuan.”

 

“Apa?”

 

“Wuaduh ....”

 

***

 

Mobil berhenti di depan bangunan apartemen. Mario mendaratkan ciuman, lalu membiarkan Una turun membawa banyak tas belanjaan. Kemudian mobil melesat.

 

Kini Una kembali dalam kesendirian. Setidaknya itu yang ia rasakan sampai keluar dari lift. Kala ia berjalan di koridor remang menuju pintu apartemennya, ia merasa terus diawasi, dan itu bukan tetangga.

 

Mata Una awas. Beban belanjaan membuatnya kerepotan mengambil kunci pintu. Semakin lama, ia semakin gelisah karena hawa orang asing kian dekat. Lalu saat Una menoleh ke sebelah kiri, ia pun tersentak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status