Share

5. Tangisan Seorang Pria

“Tuan Reza!”

 

Felix segera berlari menarik tubuh majikannya. Tepat waktu. Untung saja pelayan itu berinisiatif membawakan makanan penambah mood. Jika tidak, Reza pasti sudah tewas akibat terjun dari ketinggian 30 meter.

 

“Lepaskan aku, Felix!” Reza meronta layaknya anak kecil. “Hidup tanpa Una tidak ada gunanya!”

 

“Anda ini keturunan orang yang membuat kekacauan ekonomi di Asia dua dekade lalu! Kenapa harus bersedih hanya karena satu wanita?!”

 

“Perkataanmu gak ada bagus-bagusnya, terutama bagian kekacauan ekonomi Asia!” Dan menangislah Reza seperti bocah kehilangan mainan.

 

Agak sulit, tapi akhirnya sang pelayan berhasil menjauhkan majikannya dari jendela. Felix terengah. Sementara Reza meringkuk di samping ranjang, masih menangis. Melihat kondisi itu, lagi-lagi Felix hanya bisa menghela napas.

 

“Tuan Reza, suka atau tidak, meneruskan dinasti keluarga ini adalah takdir Anda. Makanya, Anda harus tegar.”

 

Reza masih tersedu. “Kamu pelayan setia yang kerjanya mengabdi pada keluarga ini. Mana mengerti rasanya kehilangan mimpi yang dibangun bersama pasangan?”

 

Ada perasaan jengkel yang tampak di wajah Felix ketika mendengar itu. Namun, si pelayan bermata bulat tak ingin terbawa emosi. Felix tenang. Ia lalu berjongkok memegang pundak kiri Reza.

 

“Anda mungkin kehilangan mimpi di sana. Tapi dengan hadirnya Anda di sini untuk membangun kembali kekuasaan Hazerstein, mimpi itu akan terwujud dengan sendirinya. Bahkan lebih indah dari yang Tuan bayangkan!”

 

Kini giliran Reza yang berubah suasana hati setelah mendengar itu. Jadi lebih tenang. Pria berwajah oval itu perlahan menoleh ke pelayannya seraya mengusap air mata.

 

“Terima kasih, Felix.” Reza masih terisak. “Ngomong-ngomong, kamu hebat juga.”

 

“Kenapa begitu, Tuan?”

 

“Aku baru lihat bule Jerman bisa jongkok.”

 

Barulah Felix ikut cengengesan. “Sepertinya suasana hati Anda sudah sedikit membaik. Untuk menambahnya, mau jalan-jalan keluar?”

 

Lalu dimulailah perjalanan keluar istana.

 

Berjalan di bawah langit cerah memang cocok untuk memperbaiki suasana hati. Bau masakan khas Jerman, meskipun tak setajam rempah Indonesia, tapi tetap membuat Reza penasaran. Felix tersenyum. Melihat majikannya menikmati suasana di keramaian adalah pertanda bagus.

 

Ada satu momen di mana Reza sempat khawatir orang jahat akan mengejarnya lagi seperti waktu itu. Namun, Felix menenangkan. Sejauh ini, identitas Reza sebagai keturunan Hazerstein belum terungkap ke publik.

 

Sayangnya, Reza adalah orang yang kagetan dengan budaya negara lain. Di beberapa tempat, ia benar-benar bertingkah seperti orang Indonesia kalangan bawah. Dan ini membuat Felix kembali menghela napas.

 

***

 

Ada dua jenis suara yang memenuhi kamar hotel itu. Pertama, televisi yang memberitakan ledakan di penginapan. Kedua, suara Una yang kewalahan mengatasi percakapan telepon. Sama-sama berisik. Sementara Mario masih ada di sana, tapi sama bingungnya.

 

“Iya, iya, Ma. Aku juga lagi nonton beritanya sekarang.” Una memijat kepalanya. “Mungkin cuma mirip.”

 

“Pemirsa, polisi telah mengantongi identitas terduga pelaku. Reza H. Martadinata, 32 tahun ....”

 

Una makin gelagapan. “Tidak, kok, Ma! Mana mungkin dia melakukannya gara-gara aku!”

 

“Menurut keterangan beberapa sumber, Reza sempat mengalami tekanan akibat dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja.”

 

“Tuh, kan?” Una tersenyum.

 

“Juga menurut teman-teman kantor, Reza sedang mengalami masalah rumah tangga.”

 

“Bukaaaan!” teriak Una pada ponselnya. “Lagian kalau itu memang Reza, Mama harusnya bersyukur, dong! Soalnya aku gak sama dia lagi.”

 

Masih terjadi beberapa baris percakapan sebelum akhirnya Una menutup telepon. Ia mendengkus. Una lantas mematikan televisi, lalu menengok kesal pada sang kekasih gelap. Mario hanya membalas dengan tatapan sok polos.

 

“Paling tidak, bantu aku cari solusi,” rajuk Una.

 

Mario mengernyit. “Soal apa? Soal bekas suami kamu yang jadi teroris? Toh kita sudah tidak melihat wajahnya, kenapa harus pusing?”

 

“Mamaku menelepon, banyak tanya. Tetangga di apartemen gak terlalu peduli, tapi pasti nanti bakal heboh juga pas aku pulang. Belum lagi kalau polisi datang buat interogasi. Bantu aku soal itu, dong!”

 

“I will, okay? Setidaknya biarkan aku berurusan dulu dengan si botak Amerika itu, baru kita urus soal Reza.”

 

Una tak terima. Wanita berambut pendek itu langsung memberi ultimatum meninggalkan Mario jika keinginannya tak dituruti. Mario mengalah. Sang pria kaya langsung mengajak kekasihnya pergi dari kamar hotel.

 

Ketika di luar pun, Una masih menuntut. Bukannya membiarkan Mario memegang kendali, wanita itu meminta diantar ke sebuah restoran. Mario hanya bisa pasrah. Namun, sang pria kaya tak heran sebab sepanjang pernikahan Una, Reza memang jarang memanjakan.

 

Akhirnya, Mario luluh. Ke mana Una hendak pergi, pria itu memenuhi. Jalan-jalan, belanja, menonton film, semua kegiatan yang bisa membuat Mario membuktikan bahwa dirinya lebih layak dibanding Reza untuk mendapatkan hati Una.

 

***

 

“Adededeh!” pekik Reza ketika Felix meluruskan punggungnya.

 

“Anda harus tahan, Tuan. Seperti inilah cara konglomerat bersikap di meja makan, apalagi jika nanti bersama tamu penting.”

 

Dimulailah pelajaran menjadi bangsawan dari Felix untuk Reza. Tak lagi di kamar, melainkan berkeliling kediaman Hazerstein yang luas. Kadang pelajaran itu benar-benar membuat Reza bosan, sebab hanya ada dirinya dan Felix.

 

Felix juga cukup kerepotan. Meskipun di Indonesia Reza memiliki ekonomi yang tidak jelek-jelek amat, tapi perbedaan budaya membuatnya harus beradaptasi dengan dasar-dasar etika konglomerat elit global.

 

Di sinilah tugas Felix. Sebagai pelayan setia, ia penuh dedikasi mengajari Reza. Aturan berpakaian, aturan berjalan, aturan bicara, aturan memegang alat makan dan urutan melahap makanan. Dalam pelajaran itu, Felix tak segan menggunakan cambuk rotan jika Reza salah.

 

Hingga setelah hampir seminggu belajar, Felix menganggap majikannya sudah bisa bersikap layaknya seorang Hazerstein. Kecuali satu hal. Dan sekarang, Felix membawa Reza ke suatu tempat di bawah lantai kediaman untuk satu hal itu.

 

Keduanya melangkah dengan hati-hati. Mereka menuruni tangga. Bagi Felix, jalur yang mereka tempuh sama sekali tidak gelap karena lampu berjejer sepanjang jalan sempit. Sementara Reza harus berpegangan pada pundak sang pelayan karena matanya ditutup kain.

 

“Hei, Felix, apa dinasti Hazerstein suka melakukan kejutan pada anggota keluarga mereka? Kok mataku pakai ditutup segala?”

 

“Bisa dibilang begitu. Ini adalah tradisi turun temurun keluarga Hazerstein. Semacam tantangan untuk membuktikan bahwa anggota keluarga itu sudah layak untuk mengemban tugas atau menerima warisan takhta.”

 

“Wah, kedengarannya hebat. Tantangan apa itu?”

 

Terdengar derit pintu besi dibuka. Menggema. Lalu langkah mereka berdua kini diiringi bunyi percikan air. Reza mengernyit. Setelah berjalan cukup lama di atas bidang tak rata, penutup mata Reza pun dibuka oleh Felix.

 

Setelah beradaptasi dengan cahaya, mata Reza pun membulat. Ia berharap salah lihat. Namun, di depannya jelas adalah sebuah kolam besar berisi makhluk mirip batang kayu.

 

Sedangkan Felix keluar, lalu mengunci tuannya di dalam.

 

Felix lalu menyilangkan tangan. “Tantangan meloloskan diri dari lima ekor buaya.”

 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status