“Tuan Reza!”
Felix segera berlari menarik tubuh majikannya. Tepat waktu. Untung saja pelayan itu berinisiatif membawakan makanan penambah mood. Jika tidak, Reza pasti sudah tewas akibat terjun dari ketinggian 30 meter. “Lepaskan aku, Felix!” Reza meronta layaknya anak kecil. “Hidup tanpa Una tidak ada gunanya!” “Anda ini keturunan orang yang membuat kekacauan ekonomi di Asia dua dekade lalu! Kenapa harus bersedih hanya karena satu wanita?!” “Perkataanmu gak ada bagus-bagusnya, terutama bagian kekacauan ekonomi Asia!” Dan menangislah Reza seperti bocah kehilangan mainan. Agak sulit, tapi akhirnya sang pelayan berhasil menjauhkan majikannya dari jendela. Felix terengah. Sementara Reza meringkuk di samping ranjang, masih menangis. Melihat kondisi itu, lagi-lagi Felix hanya bisa menghela napas. “Tuan Reza, suka atau tidak, meneruskan dinasti keluarga ini adalah takdir Anda. Makanya, Anda harus tegar.” Reza masih tersedu. “Kamu pelayan setia yang kerjanya mengabdi pada keluarga ini. Mana mengerti rasanya kehilangan mimpi yang dibangun bersama pasangan?” Ada perasaan jengkel yang tampak di wajah Felix ketika mendengar itu. Namun, si pelayan bermata bulat tak ingin terbawa emosi. Felix tenang. Ia lalu berjongkok memegang pundak kiri Reza. “Anda mungkin kehilangan mimpi di sana. Tapi dengan hadirnya Anda di sini untuk membangun kembali kekuasaan Hazerstein, mimpi itu akan terwujud dengan sendirinya. Bahkan lebih indah dari yang Tuan bayangkan!” Kini giliran Reza yang berubah suasana hati setelah mendengar itu. Jadi lebih tenang. Pria berwajah oval itu perlahan menoleh ke pelayannya seraya mengusap air mata. “Terima kasih, Felix.” Reza masih terisak. “Ngomong-ngomong, kamu hebat juga.” “Kenapa begitu, Tuan?” “Aku baru lihat bule Jerman bisa jongkok.” Barulah Felix ikut cengengesan. “Sepertinya suasana hati Anda sudah sedikit membaik. Untuk menambahnya, mau jalan-jalan keluar?” Lalu dimulailah perjalanan keluar istana. Berjalan di bawah langit cerah memang cocok untuk memperbaiki suasana hati. Bau masakan khas Jerman, meskipun tak setajam rempah Indonesia, tapi tetap membuat Reza penasaran. Felix tersenyum. Melihat majikannya menikmati suasana di keramaian adalah pertanda bagus. Ada satu momen di mana Reza sempat khawatir orang jahat akan mengejarnya lagi seperti waktu itu. Namun, Felix menenangkan. Sejauh ini, identitas Reza sebagai keturunan Hazerstein belum terungkap ke publik. Sayangnya, Reza adalah orang yang kagetan dengan budaya negara lain. Di beberapa tempat, ia benar-benar bertingkah seperti orang Indonesia kalangan bawah. Dan ini membuat Felix kembali menghela napas. *** Ada dua jenis suara yang memenuhi kamar hotel itu. Pertama, televisi yang memberitakan ledakan di penginapan. Kedua, suara Una yang kewalahan mengatasi percakapan telepon. Sama-sama berisik. Sementara Mario masih ada di sana, tapi sama bingungnya. “Iya, iya, Ma. Aku juga lagi nonton beritanya sekarang.” Una memijat kepalanya. “Mungkin cuma mirip.” “Pemirsa, polisi telah mengantongi identitas terduga pelaku. Reza H. Martadinata, 32 tahun ....” Una makin gelagapan. “Tidak, kok, Ma! Mana mungkin dia melakukannya gara-gara aku!” “Menurut keterangan beberapa sumber, Reza sempat mengalami tekanan akibat dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja.” “Tuh, kan?” Una tersenyum. “Juga menurut teman-teman kantor, Reza sedang mengalami masalah rumah tangga.” “Bukaaaan!” teriak Una pada ponselnya. “Lagian kalau itu memang Reza, Mama harusnya bersyukur, dong! Soalnya aku gak sama dia lagi.” Masih terjadi beberapa baris percakapan sebelum akhirnya Una menutup telepon. Ia mendengkus. Una lantas mematikan televisi, lalu menengok kesal pada sang kekasih gelap. Mario hanya membalas dengan tatapan sok polos. “Paling tidak, bantu aku cari solusi,” rajuk Una. Mario mengernyit. “Soal apa? Soal bekas suami kamu yang jadi teroris? Toh kita sudah tidak melihat wajahnya, kenapa harus pusing?” “Mamaku menelepon, banyak tanya. Tetangga di apartemen gak terlalu peduli, tapi pasti nanti bakal heboh juga pas aku pulang. Belum lagi kalau polisi datang buat interogasi. Bantu aku soal itu, dong!” “I will, okay? Setidaknya biarkan aku berurusan dulu dengan si botak Amerika itu, baru kita urus soal Reza.” Una tak terima. Wanita berambut pendek itu langsung memberi ultimatum meninggalkan Mario jika keinginannya tak dituruti. Mario mengalah. Sang pria kaya langsung mengajak kekasihnya pergi dari kamar hotel. Ketika di luar pun, Una masih menuntut. Bukannya membiarkan Mario memegang kendali, wanita itu meminta diantar ke sebuah restoran. Mario hanya bisa pasrah. Namun, sang pria kaya tak heran sebab sepanjang pernikahan Una, Reza memang jarang memanjakan. Akhirnya, Mario luluh. Ke mana Una hendak pergi, pria itu memenuhi. Jalan-jalan, belanja, menonton film, semua kegiatan yang bisa membuat Mario membuktikan bahwa dirinya lebih layak dibanding Reza untuk mendapatkan hati Una. *** “Adededeh!” pekik Reza ketika Felix meluruskan punggungnya. “Anda harus tahan, Tuan. Seperti inilah cara konglomerat bersikap di meja makan, apalagi jika nanti bersama tamu penting.” Dimulailah pelajaran menjadi bangsawan dari Felix untuk Reza. Tak lagi di kamar, melainkan berkeliling kediaman Hazerstein yang luas. Kadang pelajaran itu benar-benar membuat Reza bosan, sebab hanya ada dirinya dan Felix. Felix juga cukup kerepotan. Meskipun di Indonesia Reza memiliki ekonomi yang tidak jelek-jelek amat, tapi perbedaan budaya membuatnya harus beradaptasi dengan dasar-dasar etika konglomerat elit global. Di sinilah tugas Felix. Sebagai pelayan setia, ia penuh dedikasi mengajari Reza. Aturan berpakaian, aturan berjalan, aturan bicara, aturan memegang alat makan dan urutan melahap makanan. Dalam pelajaran itu, Felix tak segan menggunakan cambuk rotan jika Reza salah. Hingga setelah hampir seminggu belajar, Felix menganggap majikannya sudah bisa bersikap layaknya seorang Hazerstein. Kecuali satu hal. Dan sekarang, Felix membawa Reza ke suatu tempat di bawah lantai kediaman untuk satu hal itu. Keduanya melangkah dengan hati-hati. Mereka menuruni tangga. Bagi Felix, jalur yang mereka tempuh sama sekali tidak gelap karena lampu berjejer sepanjang jalan sempit. Sementara Reza harus berpegangan pada pundak sang pelayan karena matanya ditutup kain. “Hei, Felix, apa dinasti Hazerstein suka melakukan kejutan pada anggota keluarga mereka? Kok mataku pakai ditutup segala?” “Bisa dibilang begitu. Ini adalah tradisi turun temurun keluarga Hazerstein. Semacam tantangan untuk membuktikan bahwa anggota keluarga itu sudah layak untuk mengemban tugas atau menerima warisan takhta.” “Wah, kedengarannya hebat. Tantangan apa itu?” Terdengar derit pintu besi dibuka. Menggema. Lalu langkah mereka berdua kini diiringi bunyi percikan air. Reza mengernyit. Setelah berjalan cukup lama di atas bidang tak rata, penutup mata Reza pun dibuka oleh Felix. Setelah beradaptasi dengan cahaya, mata Reza pun membulat. Ia berharap salah lihat. Namun, di depannya jelas adalah sebuah kolam besar berisi makhluk mirip batang kayu. Sedangkan Felix keluar, lalu mengunci tuannya di dalam. Felix lalu menyilangkan tangan. “Tantangan meloloskan diri dari lima ekor buaya.” ***“Feeeliiix!” teriak Reza ketakutan seraya menggedor-gedor jeruji.Sementara Felix berdiri sekitar sepuluh meter dari pintu. Wajahnya tenang melihat sang majikan yang pucat. “Sebaiknya Anda mulai bertindak, Tuan.”Bersamaan dengan saran itu, terdengar suara air meluap. Reza menoleh. Seekor buaya sudah keluar dari kolam dan perlahan merayap di tepian. Kian ketar-ketirlah si pria berwajah oval.“Hei, Felix! Kamu bodoh, ya? Bukannya aku dikirim ke sini untuk meneruskan takhta Hazerstein? Lalu kenapa aku harus melakukan aksi mematikan ini?! Lagi pula apa yang sebenarnya harus kulakukan?!”Felix pura-pura tersipu. “Ah, maafkan saya, Tuan Reza. Saya lupa memberitahu. Tugas Tuan adalah berenang ke dasar kolam untuk mencari kunci cadangan dan membuka pintu ini. Jika berhasil, maka Tuan Reza sudah resmi menjadi penerus keluarga Hazerstein.”Reza ingin melanjutkan aksi protesnya. Namun, reptil yang melata keluar dari air kini bertambah jadi tiga ekor. Waktunya sempit. Sepertinya Reza tidak punya
Una menjatuhkan kumpulan tas belanjaannya karena kehadiran sosok pria berekspresi datar. Heru. Agak mengherankan bagi Una sebab pria itu seakan angin yang tiba-tiba muncul tanpa suara. Terutama karena Heru memakai tongkat kruk yang notabene harusnya berbunyi.“S-siapa, ya?”“Nama saya Heru. Saya teman kerjanya Reza, Mbak.”Mendengar nama suaminya disebut, Una pun memberi tatapan sinis. “Mau apa?”“Saya lihat berita kalau Reza jadi teroris. Saya cuma mau memastikan kebenarannya. Soalnya ... justru Reza yang menolong ketika saya ditembak orang tak dikenal.”Una terbeliak. “Ditembak?!” “Iya. Saya masih sempat melihat Reza dikejar seseorang. Kondisi saya begini juga pasti gara-gara tembakannya salah sasaran.”Sempat ada simpati melihat keadaan Heru. Namun, mereka sedang membicarakan Reza. Kurang dari tiga detik, ekspresi Una kembali sinis, membuang wajah ke pintu. “Wajar, sih. Dia teroris. Paling juga polisi yang menembak.”Wajah Heru tetap datar, tapi ada desakan dari nada bicaranya. “J
Mata Una mendadak terbuka. Ia menemukan boneka sapi biru masih setia tersenyum. Cahaya putih juga mulai menyeruak lewat jendela. Sudah pagi. Ternyata sedikit kilas itu tanpa sengaja membawa Una terlelap melangkahi malam.Una meregangkan badan. Mood bangun paginya yang kosong lantas terisi gelisah ketika kembali mengarahkan pandangannya ke boneka sapi. Wajahnya menyiratkan pertentangan hati dan otak, memperdebatkan apakah keputusannya sudah benar.Lalu Una bangun. Ia membiarkan boneka sapi tergeletak di kasur. Ketimbang terbawa lamunan, sebaiknya bergerak membuat sarapan. Una memasak, kali ini untuk dirinya sendiri. Santap paginya ditemani satu kursi kosong di meja makan.Bel berbunyi, dan entah mengapa membuat Una antusias. Una bergegas. Ia masih semringah ketika membuka pintu. Namun, senyum itu hilang kala menemukan kehadiran pria yang sama sekali tidak ia kenal.“Una Martadinata?” Pria itu menunjukkan lencana. “Ikut kami ke kantor, kami punya beberapa pertanyaan.”*** Matahari bers
Karet roda raksasa akhirnya menyentuh landasan bandara Kota Zurich, Swiss. Sudah petang. Perjalanan delapan belas jam tanpa transit menyisakan lelah meski para penumpang hanya bersandar di kursi.Lampu kabin menyala. Tampaklah wajah seluruh penumpang, termasuk Una yang menyandarkan kepala di bahu Mario. Dari bandara, mereka menuju hotel dan menghabiskan malam dengan saling memberi kasih.Lalu lagi-lagi dering ponsel yang memecah dekap dini hari dua sejoli itu. Mario mengangkatnya.“What the hell are you doing?” cecar suara dari ujung telepon.“Excuse me?”“Aku menyuruhmu mencari lalu menyingkirkan bocah Hazerstein, tapi kau malah berlibur ke Swiss dengan pacarmu?!”Seketika mata Mario kembali segar. “A-aku sedang mengusahakannya, Mister Anderson. Aku ke sini juga untuk sekalian memeriksa jejak Hazerstein dari aset-asetnya.”“Sebaiknya kau tidak main-main, Mario. Aku bisa tahu ke mana kau pergi, dan bisa meruntuhkan perusahaanmu kapan saja.”Telepon berakhir. Hanya gerutu yang keluar da
Tak langsung ada dialog. Mata Una dan Reza masih saling terkunci dengan ekspresi serupa. Sempat ada ragu di benak Una, akan tetapi selain penampilan, ciri fisik pria di meja makan benar-benar milik suami yang ia campakkan.Sedangkan Mario memberi reaksi berbeda. “Reza? Sedang apa kamu di sini?”Tetap tak ada jawaban dari sang keturunan Hazerstein. Reza melirik Felix. Dari situasinya, si pelayan Hazerstein sudah paham harus berbuat apa. “Was schaust du an?” cecar Felix dalam bahasa Jerman. “Kümmern Sie sich um lher eigenen Sachen!”Reza yang panik coba mengimbangi. “J-ja! Waswes sisik kumsisasen!”Lalu Felix bangkit, beranjak menuju juru masak untuk meminta sendok baru.“Umm ... kayaknya kita salah orang, Sayang,” kata Una pada Mario, membuat Reza mengepal. “Lagian teroris mana mungkin liburan ke Swiss?”Mario terkekeh. “Ternyata memang benar manusia memiliki tujuh kembaran di dunia ini. Sayang, bagaimana kalau kita bermain lagi setelah dinner?”Una tersenyum, berkedip manja mendekap
Puluhan manusia di lobi rumah sakit terus bergerak sebagai figuran. Mata Heru dan si wanita asing masih saling terkunci. Tatapan Heru datar. Namun, aura curiga jelas terpancar dari bidikan mata pria itu.“Apa maksud Mbak bilang begitu?”Si wanita asing memperlebar senyumnya. “Ini topik yang sensitif. Mau bicara di luar, Pak Heri?”“Nama saya Heru,” jawab Heru masih dengan tatapan datar. “Di sini aja, saya capek.”Wanita blasteran itu kembali tegak. “Saya berani jamin, Anda tidak terlalu tahu tentang Reza Martadinata. Bukan begitu, Pak Haru?”“Saya Heru. Yang lebih tahu soal Reza itu sudah pasti istrinya. Dari jenis kelamin, sudah jelas kalau saya tidak nikah sama Reza.”“Anda pernah dengar tentang elite global? Tentang segelintir orang kaya yang menguasai hal dan momen besar di muka bumi ini? Banyak uang, bisa pergi ke mana saja dan melakukan apa saja. Anda percaya kalau Reza salah satunya?”Heru diam sejenak, menatap datar pada sang wanita asing yang seakan bicara melantur. “Sebenarn
Lagu penutup acara TV terlalu ceria untuk suasana serius kamar itu. Felix mengambil remote. Dimatikannya televisi, lalu mereka berdua pun terkunci dalam kesunyian. Sedangkan Reza meletakkan ponsel di dekat kaki.“Jadi, bagaimana, Tuan?”Reza menggaruk ubun-ubunnya. “Yaelah, Felix. Aku juga baru mau minta saran ke kamu.”“Sejak awal, Anda yang bilang kalau Pak Heru adalah teman yang baik. Tapi jujur saja, saya tidak mengerti kenapa dia mengirim pesan seperti ini.”“Yang bagian mana? Cewek cantik atau sablengnya?”Felix menghela napas. “Bagian jebakannya, Tuan.”Sekali lagi Reza larut dalam pikirannya. Pelik. Butuh hampir dua menit bagi pria berwajah oval itu untuk menimbang, sebelum akhirnya ia memecah keheningan dengan sekali tepuk tangan.“Baiklah, aku sudah membuat keputusan. Sebaiknya kita tidak menemui Heru. Aku akan membalas emailnya dengan berkata kalau aku baik-baik saja.”“Wah, sangat bijak.” Felix manggut-manggut. “Pasti Anda menghindari kemungkinan jebakan ganda. Bukan begit
Ban taksi menggesek aspal seiring perhentiannya di depan hotel mewah. Isabelle keluar dari mobil, dan menatap pintu masuk hotel dengan senyum percaya diri. Klakson berbunyi. Sopir menegur karena Isabelle belum bayar.Setelah transaksi selesai, wanita blasteran itu pun melenggang masuk. Terus menuju meja resepsionis. Wajah cantiknya berbasa-basi, tapi isi kepalanya mengatur strategi. Alasannya satu. Reza terlacak berada di hotel yang sama.Administrasi, serah terima kunci, lalu Isabelle masuk ke lift bersama seorang roomboy yang membawakan barangnya. Pintu lift tertutup. Sementara di tangga, Reza dan Felix melangkah turun dengan santainya.“Yah ... tapi untung aja kali ini kamu tidak meledakkan hotelnya,” kata Reza.“Anda yang lempar granat waktu itu, Tuan,” timpal Felix, “makanya sampai masuk berita.”“Iya juga, sih.”Setelah Felix melakukan check out, mereka pun keluar tanpa dicurigai.“Eh, terus dua orang itu bagaimana? Kamu pede banget berantem di dalam lift, pasti kelihatan di CCT