Share

4. Pohon Keluarga

Washington DC, Amerika Serikat, 12.44 waktu setempat

Si pria gundul berkeriput kembali memberi kode. Pelayan datang. Kali ini benda yang diminta sang majikan adalah ponsel lain, dan itu yang muncul. Setelah pria gundul mengambil ponsel, pelayan pun pergi.

Kesenangan kecil berlanjut. Jus jeruk disesap. Pria gundul menekan nomor pada alat komunikasi. Ia hanya tersenyum ketika sang cucu melambai dari kolam renang, lalu lanjut menempelkan ponsel ke telinga.

Jurajura, Indonesia, 23.44 waktu Indonesia

Kamar hotel itu remang, hanya diterangi lampu tidur. Sunyi. Kacanya menampakkan langit gelap berhiaskan gemerlap kota. Dua insan telanjang di balik selimut saling berpelukan setelah bergumul melepas nafsu.

Ponsel di meja lampu berdering. Pria berwajah kotak itu bangun untuk mengangkatnya. “Hello, it’s Mario .... Oh, Tuan Anderson! Senang mendengar kabar Anda.”

Percakapan terus berlangsung. Namun, seiring waktu telepon, wajah Mario berubah serius dan sesekali mengangguk. “Tentu, tentu, akan kulaksanakan .... Okay, enjoy your vacation, Sir.”

Telepon ditutup. Mario kembali berbaring memeluk pasangannya yang juga terbangun akibat dering barusan. Tak lain wanita itu adalah Una.

“Ada apa, Mario?” tanya Una dengan suara mengantuk.

“Investor perusahaanku menelepon. Katanya, ada saingan bisnis yang harus disingkirkan.”

Una masih terpejam. “Kedengarannya kejam banget.”

“Una, my love, semuanya sah-sah saja dalam persaingan bisnis. Menjadi peran jahat di dalam kisah orang lain pun bukan masalah.”

“Apa kamu bisa melakukannya?”

Mario terkekeh. “Kalau mendapatkanmu saja bisa kulakukan, apalagi menyingkirkan semut kecil. It’s piece of cake. Kamu akan melihat kalau aku jauh lebih berkuasa dari suamimu.”

Keduanya tersenyum, lalu saling memberi ciuman. Una kemudian membenamkan kepalanya dalam dekapan dada bidang Mario. Hangat. Namun, Mario tidak tahu ekspresi murung yang sedang tampak di wajah Una.

***

Hunian megah berbentuk layaknya benteng berdiri kokoh di atas padang rumput. Dindingnya putih mulus. Ada bendera biru bergambar perisai segi enam. Lantainya marmer. Sepanjang koridor menuju aula, berjejer lukisan indah dari era renaisans.

Kantuk Reza setelah perjalanan panjang seakan hilang. Ia tercengang. Pemandangan di depan matanya seakan lembar buku cerita dongeng yang ditarik ke dunia nyata. Namun, ada satu kejanggalan. Tempat itu sepi.

Reza mengernyit. “Umm ... Felix? Ini istana, ‘kan? Mana pelayan lainnya?”

Felix terus berjalan mendampingi Reza. “Mereka mengundurkan diri setelah malam pembantaian itu, Tuan. Kini hanya ada saya.”

Demikianlah percakapan antara Reza dan Felix setelah 17 jam perjalanan dari Indonesia ke Jerman. Felix bergerak cepat. Ia mempersiapkan tempat tidur di kamar paling atas, lalu mempersilakan Reza melepas lelah.

Reza mendengkur enam jam lamanya. Hidungnya mengembang. Matanya lantas terbuka perlahan ketika aroma wangi daging panggang menyambangi. Ia pun bangkit dan menemukan Felix sudah masuk ke kamarnya, berpakaian layaknya pelayan istana dan membawa meja hidangan.

“Tempat ini sunyi sekali. Kamu yakin tidak ada vampirnya?” Reza tertawa.

“Kalau ada vampir, sudah pasti keluarga Hazerstein runtuh lebih awal, Tuan.” Felix tersenyum seraya menghidangkan makanan pada Reza.

“Ah, mumpung kamu membahasnya, Felix. Saya—” Reza menyipitkan mata. “Maaf, rasanya formal banget. Boleh saya gunakan ‘aku kamu’?”

“Terserah Anda, Tuan Reza. Saya sendiri akan tetap memanggil Anda dengan sopan.”

“Baiklah. Kalau gitu, aku mau tahu. Sebenarnya siapa keluarga Hazerstein?”

Reza mulai memotong daging steik, dan langsung terpana dengan tampilan dalamnya. Ia menggigit sambil menunggu penjelasan dari sang pelayan. Sementara Felix masih berdiri tegap dan memberi anggukan sopan.

“Keluarga Hazerstein adalah konglomerat Jerman yang sudah berdiri sejak abad 19. Kalian menguasai banyak sektor bisnis di penjuru bumi. Otomotif, minyak, emas, investasi alutsista, dan banyak lagi. Kalau dalam istilah orang biasa ... keluarga Hazerstein bisa disebut sebagai elit global.”

Seketika Reza tersedak. Felix buru-buru menyodorkan gelas jus jeruk.

“Ada apa, Tuan? Apa dagingnya terlalu keras?”

“Gundulmu! Kamu bilang, keluarga ini elit global? Berarti keluarga ini bertanggung jawab atas tiga perempat masalah di muka bumi!”

“Untuk sekarang, Tuan Reza tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Fokus saja membangun kembali keluarga ini.” Felix berdehem. “Kecuali Tuan ingin kembali ke Indonesia, dan tetap kehilangan segalanya.”

Mendengar itu, Reza perlahan tertunduk murung. Mulutnya rapat. Reza dilanda bimbang. Pandangannya tertuju pada steik hangat yang sama-sama menunggu nasib apakah akan lanjut dimakan.

***

Mobil silver nan mewah Mario melaju di jalanan kota Jurajura. Langit cerah. Namun, sangat kontras dengan suasana hati Mario saat ini. Sang sopir hanya bisa diam melihat wajah gelisah majikannya lewat kaca spion.

Bukan tanpa alasan Mario berekspresi demikian. Mobilnya sudah berkeliling. Ada tujuh gedung perusahaan besar di Jurajura yang dipegang sahamnya oleh sanak famili Hazerstein, tapi semuanya tak mengindikasikan komunikasi dengan keluarga konglomerat itu.

Harusnya itu bagus. Itu pertanda bahwa tidak ada yang perlu disingkirkan. Sayangnya, pria gundul Washington memberi dua patah kalimat lewat telepon yang membuat Mario ketar-ketir.

“Kaukira aku melantur karena usiaku? Cepat cari dia, atau kariermu berakhir!”

Bayangan gedung-gedung kota bergantian menerpa wajah gelisah Mario. Ia mendecak. Dalam hati menggerutu, mengejek si gundul. Satu-satunya yang bisa menghibur hati Mario saat ini tentu bertemu sang wanita hasil rampasan.

Kamar hotel diketuk. Una membukakan. Wanita itu muncul dengan senyum manis menggoda di wajah cantiknya, tapi terkesan simpul. Mario masuk, menutup pintu lalu mendaratkan ciuman, kemudian sadar ada yang salah.

“Ada apa, Sayang?”

Una menunduk. Tangannya saling menggenggam ketika Mario merangkulnya ke ranjang. “Tidak .... Aku hanya kepikiran, mungkin caraku mengusir Reza kemarin terlalu kejam.”

“Come on, Una. Kamu pantas bahagia! Lagi pula separah apa, sih, Reza setelah dicampakkan olehmu?” Mario menyalakan televisi.

“.... Setidaknya lima orang tewas dalam kasus penembakan dan ledakan di Grand Jurajura Hotel. Berikut wajah terduga pelaku dari tangkapan gambar rekaman CCTV.”

Terpampang wajah Reza. Una dan Mario sama-sama terperangah.

***

Segarnya udara pagi menyambut Reza ketika membuka jendela. Tetap sunyi. Sudah tiga hari sejak Reza menghuni kediaman megah Hazerstein, dan suasana hatinya belum bisa lepas dari sendu. Pagi itu terlalu indah untuk Reza yang memiliki segudang beban pikiran.

Felix datang membawakan sarapan. Namun, aroma kopi dan peanut butter toast tidak juga menggugah selera makan Reza. Sang pelayan pun hanya bisa menghela napas.

“Ada apa lagi, Tuan? Masih mengkhawatirkan kekacauan dunia yang disebabkan keluarga Anda?”

Reza tak berpaling dari jendela. “Itu juga, sih. Tapi sekarang, aku juga memikirkan istriku. boleh aku minta waktu sendirian, Felix?”

Felix tak membantah. Setelah meja hidangan sudah rapi, pria mancung itu pun meninggalkan kamar. Kini tinggallah Reza memandangi pekarangan istana Hazerstein. Lalu muncullah pikiran aneh ketika Reza menunduk melihat bebatuan di bawah.

Sedetik kemudian, Reza memanjat jendela.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status