Share

3. Orang asing

Naluri pertahanan diri Reza kembali memuncak. Ia mundur. Sadar bahwa di belakangnya hanya ada tembok, Reza lantas mengambil sebuah balok kayu yang kebetulan ada di sana. Sementara sang sosok misterius kian mendekat perlahan.

 

“Jangan mendekat!” pekik Reza sambil mengacungkan balok.

 

Sosok itu memakai jas hujan hitam, sehingga wajahnya tak terlalu kelihatan. Wajar jika Reza takut. Melihat balok terayun di bawah hujan, sang sosok misterius pun menghiraukan peringatan Reza dan berhenti melangkah.

 

“Tenang, Tuan Hazerstein,” kata sosok itu, “saya tidak akan menyakiti Anda.”

 

Kening Reza mengerut. Sang sosok misterius membuka tudung jas hujannya, menampakkan pria berwajah lonjong dihias rambut pirang klimis, serta mata bulat dan hidung mancung.

 

“Siapa?” tanya Reza sambil menyipitkan mata.

 

Sosok itu menunduk, memegangi dada. “Saya Felix Nacht, pelayan setia—”

 

“Bukan, bukan!” Reza menunjuk. “Maksudku, kamu tadi ngomong sama siapa?”

 

Pria mancung itu berkedip, lalu cengengesan. Ia kembali melangkah mendekati Reza. “Saya bicara dengan Anda, Tuan Hazerstein. Saya mengerti kebingungan Anda saat ini. Tapi percayalah, saya hanya ....”

 

“Bule sotoy.” Reza meninggalkan pria berambut pirang itu dengan santai.

 

Reza terus berjalan. Ia masa bodo dengan pria asing di belakangnya. Sementara Felix kembali serius, lalu mulai menarik napas panjang.

 

“Reza H. Martadinata,” panggil si pria mancung, membuat Reza terhenti di mulut gang. “Itu nama Anda, bukan?”

 

“Siapa kamu?” tanya Reza setelah berbalik.

 

“Saya adalah pelayan setia keluarga Hazerstein.” Felix mengulurkan tangannya. “Saya ke sini untuk menjemput Anda, Tuan Reza.”

 

Si pria berwajah oval masih berdiri di bawah hujan. “Untuk apa?”

 

“Seluruh anggota keluarga Hazerstein di Jerman telah dibantai. Anda adalah keturunan terakhir yang diharapkan mampu membangun kembali dinasti itu.”

 

Hujan kian deras. Dua pria berlainan etnis itu masih bertatapan cukup lama. Kedua tangan Reza mengepal dan wajahnya terlihat penuh keteguhan. Sedangkan Felix memperlihatkan wajah penuh harap.

 

“Saya gak kenal keluarga Hazerstein!”

 

Felix menepuk jidat. “Kematiannya diumumkan di radio pagi ini! Anda tidak dengar?”

 

“Saya habis menghujat ramalan cuaca di radio, habis itu kena pecat. Mana sempat menyimak berita soal keluarga bule Jerman?!”

 

Felix memasang tatapan tajam, merogoh ke dalam jas hujannya, lalu mengeluarkan sesuatu. Pistol. Pria bermata bulat itu lantas mengarahkan senjatanya ke Reza.

 

Sontak Reza menunduk. Tembakan dilepaskan. Terdengar teriakan membuat Reza menengok mengintip. Ternyata si pemain biola sudah menungging di jalan luar gang, memegangi lengan yang terkena tembak.

 

Felix langsung menarik tangan Reza keluar dari gang. Mereka lari. Si pemain biola dibiarkan begitu saja, membuat Reza kebingungan.

 

“Kenapa kamu tidak menghabisinya?”

 

“Saya terikat sumpah! Kita bisa bicarakan itu nanti.”

 

Mereka terus berlari. Kali ini mereka menjangkau pusat Kota Jurajura, tempat yang amat ramai dengan manusia. Perhatian Felix tertuju pada sebuah penginapan lima lantai di tepi jalan. Pria mancung itu segera mengajak Reza ke sana.

 

“Heh, jangan!” Reza menepis tangan Felix. “Saya tahu kamu ingin membangun dinasti Hazerstein, tapi saya masih normal!”

 

Felix mendesis. “Saya hanya ingin Anda mengeringkan badan, Tuan Reza! Setelah itu baru kita bisa ke bandara.”

 

Reza pun menurut. Jas hujan digantung. Mereka berdua ke kamar di lantai empat. Ternyata Felix sudah menginap di sana selama tiga hari. Seperti kata Felix, Reza di sana untuk mengeringkan badan. Si pria mancung memberi satu set pakaian baru pada Reza.

 

Mengeringkan badan sudah. Saatnya makan. Felix menelepon bagian pelayanan, lalu memesan burger. Sedangkan Reza hanya meminta teh dengan perasan jeruk. Sekitar lima menit kemudian, pesanan mereka datang.

 

“Hei, kenapa ini semua bisa terjadi?” tanya Reza setelah menyeruput teh.

 

“Apa Anda bertanya soal pembantaian keluarga Hazerstein?” Felix melahap burger.

 

“Iya, itu juga. Tapi saya lebih ingin tahu kenapa nasib saya jadi tragis begini.” Reza terbeliak, lalu menatap Felix. “Tunggu, bagaimana dengan Heru?”

 

“Teman Anda yang tertembak tadi? Saya lihat ambulans menjemputnya. Tapi dia bukan prioritas kita saat ini.”

 

“Jangan bercanda! Heru adalah orang pertama yang hadir ketika saya susah. Dia teman yang baik.”

 

“Maaf, Tuan.” Felix tertunduk malu.

 

Obrolan mereka terhenti ketika mendengar teriakan samar. Suaranya datang dari lantai bawah. Terdengar letusan. Felix menyiapkan pistolnya. Pria mancung itu membuka dan mengintip dari sela pintu, memastikan keadaan.

 

Teriak dan letusan masih terdengar beberapa saat, sebelum akhirnya hening. Felix menunggu. Begitu juga Reza yang siaga dengan cangkir teh. Hilangnya suara di lantai bawah tentu mengundang kecurigaan mereka berdua.

 

DOR!

 

Cangkir teh pecah. Reza terlonjak. Ternyata tembakan itu datang dari kamar di bawahnya. Lantai bolong, menampakkan si pemain biola yang sudah membidik. Segera Reza menghindar. Tepat waktu sebelum letusan kedua menembus lantai.

 

“Apa tidak ada cara mengakhiri ini?” Reza panik. “Granat atau apa gitu?”

 

“Oh, saya punya granat,” kata Felix.

 

“Kenapa tidak bilang?! Berikan padaku!”

 

Granat diterima. Pin dilepas. Satu lemparan ke lubang lantai, dan ledakan terjadi. Tak ada lagi tembakan, menandakan Reza dan Felix memenangkan pertempuran. Buru-buru mereka berdua kabur.

 

***

 

Sinar matahari menyibak awan hitam. Bandara sibuk. Pengumuman keberangkatan terdengar, Reza dan Felix menuju pesawat. Lepas landas berlangsung aman. Perjalanan hidup baru Reza pun dimulai.

 

Di saat yang sama, Heru membuka mata. Ia mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Heru meringis. Sakit masih terasa meski lukanya sudah diobati. Perhatian Heru lantas tertuju pada kantongan hitam dan secarik kertas di atas meja.

 

Ini hadiah kecil. Keripik jeruk nipis, siapa tahu ekspresi datarmu berubah. Terima kasih telah menjadi temanku.

 

Setelah membacanya, Heru diam beberapa saat. Reza salah. Kini di wajah datar Heru tersungging senyum kecil, tanpa perlu memakan keripik hadiah itu. Sebab di sebelah kantong ada selembar kertas lagi, nota lunas rumah sakit.

 

***

 

Sebuah penthouse mewah menjulang menembus langit cerah. Atapnya kolam renang. Seorang pria gundul berbaring santai di atas kursi dekat kolam, melapisi wajah keriputnya dengan kacamata hitam, dan menikmati jus jeruk.

 

Pelayan datang membawa ponsel. Pria gundul itu menyuruh cucu-cucunya yang di kolam agar tak terlalu berisik. Telepon diangkat. Sambil terus menyesap jus, si pria keriput manggut-manggut mendengar informasi.

 

“Begitu, ya? Keluarga Hazerstein masih punya satu penerus terakhir?”

 

Pria itu melambai, memberi kode pada pelayan lain. Pelayan itu pergi. Tak lama kemudian, sang pelayan kembali dengan sebuah map. Si pria keriput mengambil map itu dan cengengesan melihat isinya.

 

“Tapi aku tidak khawatir. Kau pasti sudah tahu tugasmu. Soalnya ... kita sudah punya orang yang tepat untuk mengatasi itu, ‘kan?”

 

Telepon ditutup. Si pria tua masih tersenyum percaya diri melihat isi map. Tampak berkas menunjukkan foto Una dan Mario yang sedang bergandengan tangan.

 

***

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status